Pustaka
Bahasa Indonesia

Syifa

44.0K · Tamat
Aliaput
41
Bab
730
View
9.0
Rating

Ringkasan

Pertengkaran yang terjadi antara ia dan sang papa, membuat Syifa si bocah malang takut. Ia akhirnya memutuskan kabur dari rumah. Selama bertahun-tahun, keluarga Syifa mencoba menemukan keberadaannya tanpa henti. Suatu hari, Keenan—suruhan keluarga Syifa bertemu dengan Moli si wanita penghibur. Ia meminta Moli membantunya mencari dan membujuk pulang Syifa yang tak lain adalah teman sekamarnya. Namun, semua tidak semudah yang dibayangkan. Syifa yang tidak peduli bahkan menganggap kedua orang tuanya telah tiada, membuat Keenan harus mencaritahu seluk beluk wanita itu lebih lanjut. Langkahnya semakin sulit tatkala Gerald, pria yang mencintai Moli selalu ikut campur ketika Keenan menemui Moli.Akankah Keenan dan Moli berhasil meyakinkan Syifa? Lantas, apa yang sebenarnya terjadi dengan Moli, kenapa kondisinya semakin hari semakin lemah?

BaperPresdirSalah PahamAnak KecilRomansaTuan MudaDewasaWanita CantikKeluargaMenyedihkan

Prolog

Sepulang dari kantor, aku memesan ojol lalu memintanya mengantarkanku ke daerah pinggiran Jakarta Selatan. Ia menurunkanku tepat di sebuah persimpangan. Kemudian, kususuri jalan setapak sunyi tak asing ini dengan tas berisi laptop yang kujinjing.

Pikiran lalu berkelana ke peristiwa beberapa tahun silam. Di tempat ini aku selalu menunggu seseorang menjemput. Hampir di setiap malam akan selalu ada sebuah mobil berbeda-beda berhenti tepat di hadapanku. Kalau sudah begitu, sang pengendara mobil akan keluar menghampiri lalu membukakan pintu. Mempersilakan aku duduk di kursi depan di sampingnya. Atau kadang, aku malah dipersilakan duduk di kursi belakang seolah-olah aku adalah seorang penumpang yang akan diantar ke suatu tempat. Tempat yang bernama lembah hitam.

Meski mengingat semua hal itu membuatku tersenyum masam, tetapi rasa rindu tetap saja muncul dalam benakku. Bukan rindu akan aktivitas di sini, tetapi rindu akan segala perjalanan panjangnya. Entah aku harus berterima kasih atau memaki pada masa-masa itu, masa penuh kepalsuan yang membawaku sampai ke tahap ini. Segala kejadian, hanya ada kata buruk, buruk, dan buruk saja sebagai penyertanya. Tiada hari yang dihiasi kebaikan. Semua orang di sekitar, selalu mengambil keuntungan dari ketidakberdayaanku.

Aku sempat membenci. Tak mengenali siapa diri ini sebenarnya, membuat aku makin terjebak ke jurang yang paling dalam. Sempat merasa putus asa, tetapi akhirnya aku berdamai dengan keadaan. Menikmati hidup di dalam lembah kelam nan suram, menumpuk dosa perlahan-lahan.

Aku tersenyum mengingat perihal-perihal memilukan itu. Langkah ini masih belum berhenti. Dinginnya angin malam merasuki raga. Aku sampai mengusap-usap lengan berulang kali berharap ada sedikit kehangatan yang muncul di sana. Jalanan yang kian lengang hanya menyisakan suara dari ketukan heels hitam 10 senti dan aspal yang saling bertautan. Juga suara deru angin dari kendaraan yang sesekali berlalu lalang.

Sampai pada sebuah rumah besar bercat putih yang tampak kusam, kaki ini bergeming. Kupandangi bangunan tua yang tak berpenghuni itu. Besi pagar yang penuh dengan karat serta tumbuhan liar, dari semak hingga membelukar cukup menjelaskan kalau sudah begitu lama rumah itu tidak dikunjungi oleh si empunya.

Rumah itu merupakan tempatku dibesarkan oleh seorang wanita paruh baya yang juga sebatang kara. Rumah yang tadinya hanya dihuni oleh aku dan dia, akhirnya disulap menjadi tempat persinggahan para manusia pemupuk dosa.

Sembari terus mengamati bangunan itu, aku mencoba mengingat kembali hari-hari di mana aku bertemu hingga hidup bersamanya. Wanita yang menyayangiku tanpa jeda dan satu-satunya orang yang memeluk diriku yang kala itu dilanda papa.

Ada perasaan hampa ketika mengingatnya. Iya, aku juga sangat merindukannya. Meski sempat tak terima karena pada akhirnya aku tahu kalau ia yang aku percaya sepenuhnya, ternyata juga memperdaya. Namun, benar adanya bahwa rasa sayangku begitu besar padanya.

Setelah begitu lama aku berdiri termangu, sebuah cahaya dari lampu mobil tiba-tiba menyoroti tubuhku. Perlahan laju kendaraan roda 4 berwarna abu metalik itu mendekat dan berhenti tepat di depanku. Dari dalam sana, seorang pria berkemeja hitam melemparkan senyuman hangat setelah kacanya terbuka.

"Hei, ayo masuk," pintanya.

Aku melangkah membuka pintu dan masuk ke dalam mobil.

"Maaf, menunggu lama. Ada rapat mendadak yang harus gue selesaikan," katanya lagi setelah kami duduk berdampingan.

Aku menaruh tas berisi laptop ke atas dashboard. Membetulkan posisi duduk terlebih dahulu hingga nyaman sebelum kemudian menatapnya, memperlihatkan senyuman paling teduh. "It's ok. Karena artinya lu udah kasih gue kesempatan buat bernostalgia."

"Nostalgia? Perlukah itu dilakukan sekarang?" sembari memutar stir. “Lu bela-belain malam-malam datang ke sini cuma untuk hal itu doang?”

"Harusnya, sih, enggak. Tapi mau gimana lagi."

"Maksud lu?" Alisnya mengernyit tak paham.

Aku membuang pandangan sekilas ke samping jalan, kemudian menjawab, "Gue kangen sama dia."

Pria itu langsung mengikik heran. Malah terkesan seperti sedang mengejek.

"Ada yang salah dengan kalimat gue barusan?"

Ia menggeleng cepat tanpa memandangku.

"Lalu? Kenapa lu ketawa?"

Jujur, sedikit tak terima dengan reaksinya pada ucapanku. Kuamati lekat-lekat wajah yang amat rupawan di sampingku. Pria inilah yang tersisa. Ia satu-satunya yang tak pernah menipuku. Ia yang akan selalu hadir kapan pun aku membutuhkannya. Bahkan tak pernah menuntut balasan apa pun. Padahal aku selalu terang-terangan dalam menyakiti hatinya.

"Gue cuma heran sama lu. Setelah semua hal yang udah terjadi waktu itu, lu masih bisa aja bilang kangen?” ungkapnya setelah selesai tertawa.

"Emang kenapa? Salah ya perasaan gue ini?"

"Entahlah. Tanyakan itu pada hati lu."

Ia beralih fokus kembali menyetir. Jalanan yang terlalu sunyi membuat deru mobil yang kami naiki terdengar begitu kentara. Sesekali memang ada satu dua kendaraan lain yang melaju mendahului kami. Namun, itu tidak berhasil membuat rasa sepi beranjak pergi.

"Dia pernah hubungin elu?" tanyanya kembali memecah bisu.

"Enggak sama sekali."

Aku mengeratkan lipatan pada kedua lengan. Betis indahku yang tak berbalut kain pun kini ikut kesejukan. Meski sudah berada di dalam mobil, dinginnya udara malam ternyata tak juga berkurang. Padahal AC mobil tidak menyala. Namun, tetap saja badanku menggigil sedemikian rupa.

Aku berusaha menenangkan diri agar ia tak melihat gelagat kedinginanku. Namun, tiba-tiba mobil menepi lalu berhenti.

"Ada apa?" tanyaku heran.

Pria itu membalikkan badan, lalu mengambil sesuatu dari jok belakang.

"Harusnya elu bilang kalau kedinginan,” katanya mendekat sembari memakaikan sebuah jas abu-abu pada tubuhku. Jas miliknya yang kebesaran untukku dan lebih layak disebut jubah mandi setelah aku mengenakannya.

Aku lagi-lagi tersenyum. Untuk apa aku bilang jika tanpa bicara saja ia selalu mengerti apa yang sedang kurasakan.

"Thank's.”

Kalimatku selesai, tetapi ia tak jua beranjak. Netra kami yang tanpa sengaja beradu pandang, membuat kami sejenak terperangkap dalam kebisuan. Lalu untuk pertama kalinya, dalam jarak yang amat rapat aku bisa melihat ke dalam manik cokelatnya yang tajam. Ada satu hal yang baru saja aku temukan di sana dan belum juga berubah. Pria di hadapanku ini masih terus mencintaiku dan masih tetap begitu.

Tanpa sadar, kedua ujung bibir ini tertarik ke atas. Mungkin saja menimbulkan semu merah di pipi.

“Jangan senyum!” serunya kemudian.

Mataku mengedip seketika. Kali ini, apa lagi kesalahanku? “Kenapa lagi?”

Ia menjauhkan tubuh, kembali ke posisi duduk semula dan beralih pandang ke arah depan. “Karena senyum itu bakal buat gue enggak kuat untuk enggak nyium lu.”

Aku semakin tersenyum mendengar ucapan frontalnya itu. Ia benar-benar tak pernah berubah. Mobil pun akhirnya kembali melaju perlahan membelah jalanan. Sekali lagi, sebuah kejadian berulang. Seseorang menjemputku dalam larutnya malam. Kali ini tidak untuk mengiyakan keburukan. Namun, menuju suatu hal baik bernama perubahan.

***