Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

8 Kita Berteman Saja

Rani memandang Byanz dengan sorot mata berbeda dibandingkan dengan pertemuan terakhir mereka.

“Aku ... yah, aku Cuma mau minta maaf ...” kata Rani terbata-bata. “Aku tahu ucapan aku yang dulu sangat jahat ....”

Byanz menarik napas panjang.

“Ya sudahlah,” katanya. “Aku lagi nggak mau bahas soal dulu-dulu.”

Rani kelihatan salah tingkah saat Byanz berjalan melewatinya begitu saja.

“Lancar, Yanz?” sambut Sari yang baru kembali dari dapur.

“Lancar Bu,” jawab Byanz sambil mengangguk. “Oh ya, Rani sudah sejak kapan ada di sini?”

“Rani sudah sejak tadi di rumah nungguin kamu saat dia tahu kalau kamu naik jabatan,” jawab Sari. “Dia kelihatannya ikut senang mendengar berita ini.”

Byanz hanya menganggukkan kepalanya dan berlalu pergi ke kamar.

Rani masih duduk terpekur di kursinya ketika Byanz muncul tanpa ekspresi yang berarti.

“Belum pulang kamu?” tanya Byanz dengan nada datar.

Rani tergeragap menoleh ke arah Byanz.

“Kamu ... udah maafin aku belum?” tanya Rani memberanikan diri.

“Soal apa?” tanya Byanz balik dengan tetap berdiri di depan cewek itu.

Rani tidak segera menjawab, dia ragu tentang pertanyaan yang dilontarkan Byanz kepadanya.

“Soal aku yang sudah menjelekkan pekerjaan kamu yang dulu,” jawab Rani pelan. “Mungkin aku ... keterlaluan sama kamu.”

“Kira-kira apa yang bikin kamu sadar kalau itu salah?” tanya Byanz lagi.

Rani terdiam sambil berpikir keras.

“Apa karena aku sudah ganti kerjaan sekarang?” tebak Byanz tepat sasaran.

Rani tersenyum dengan agak terpaksa.

“Aku dengar kamu sudah dapat jabatan yang lebih baik,” sahut Rani lambat-lambat.

“Terus?” Byanz mengangkat dagunya.

“Ya aku ... aku mau ucapkan selamat buat kamu,” ucap Rani sambil berdiri.

Byanz tidak berkata apa-apa.

“Kamu nggak marah sama aku kan, Byanz?” tanya Rani dengan wajah tidak enak.

“Menurut kamu?” tanya Byanz balik. “Marah sih enggak, karena memang saat itu aku hanyalah tukang bersih-bersih saja. Tapi seenggaknya aku tahu kalau kamu nggak bisa nerima aku ...”

“Byanz, bukan begitu!” elak Rani buru-buru. “Aku minta maaf karena sudah bilang yang enggak-enggak sama kamu.”

Byanz yang tidak ingin memperpanjang masalah ini buru-buru menganggukkan kepala.

“Nggak usah kamu bahas lagi,” katanya datar.

“Jadi ... kamu maafin aku?” tanya Rani ingin tahu dengan wajah berharap.

Byanz memandangnya selama beberapa detik sebelum akhirnya menjawab.

“Iya,” katanya pendek, membuat Rani mengembuskan napas lega.

“Terima kasih ya, aku senang kamu mau maafin aku?” ucap Rani dengan mata berbinar. “Orang tua aku pasti juga ikut senang karena kamu sudah dapat jabatan bagus sekarang ....”

“Sekali lagi terima kasih,” potong Byanz sambil menatap datar Rani. “Tapi aku harap kamu nggak lupa kalau hubungan kita sudah berakhir.”

Rani terpaku di hadapan Byanz.

“Aku ... aku tahu, tapi ... aku menyesal, Byanz ...” ungkapnya sungguh-sungguh.

“Menyesal telah menghina pekerjaan aku sebagai office boy atau menyesal karena kamu sudah putus sama aku?” tanya Byanz memastikan.

Rani tidak segera menjawab, dia bisa merasakan bagaimana nada suara Byanz kini tak lagi seperti biasanya: datar dan tidak bersahabat.

“Aku rasa dua-duanya,” jawab Rani dengan nada berat. “Nggak bisakah kamu beri aku kesempatan buat ....”

“Enggak,” potong Byanz tegas sebelum Rani menyelesaikan ucapannya. “Kamu lupa kalau kamu malu punya pacar yang kerjanya jadi tukang bersih-bersih? Sekalipun sekarang aku sudah jadi CEO, tapi ayah aku tetap kerja di sana sebagai petugas bersih-bersih. Dan aku ragu kamu akan menghormati ayahku karena pekerjaannya itu.”

Rani terperangah mendengar ucapan panjang lebar Byanz.

“Kamu salah paham, aku nggak mungkin menghina ayah kamu!” geleng Rani cepat-cepat.

Byanz tentu saja sudah tidak percaya dengan apa yang Rani ucapkan kepadanya.

“Sejak kamu bilang kalau kamu malu punya pacar office boy, itu sama saja kamu malu sama ayah aku juga.” Byanz menyimpulkan.

Rani sudah kehabisan stok kata-kata sekarang.

“Aku minta maaf,” lirihnya kemudian.

“Oke, aku maafkan kamu.” Byanz menganggukkan kepalanya. “tapi jangan berpikir kalau aku mau hubungan kita kembali seperti semula.”

Rani bergeming di depan Byanz dengan hati yang retak di semua sisinya.

“Kenapa, Byanz?” tanya Rani sesak. “Kamu sudah nggak cinta sama aku?”

“Harusnya kamu tanyakan itu sama diri kamu sendiri,” tukas Byanz. “Saat kamu bilang kalau kamu malu punya pacar office boy, kamu cinta sama aku apa nggak?”

Rani memandang Byanz dengan mata berkaca-kaca.

“Kita berteman saja, Ran. Aku akan lebih mudah buat maafin kamu,” kata Byanz dengan nada menutup pembicaraan.

***

Sisty melebarkan matanya saat mendengar cerita Yolla tentang Byanz yang kini menjabat sebagai CEO di perusahaan ayahnya.

“Si Baby yang kamu hina-hina dulu ...?” ucap Susty antara percaya dan tidak. “Kok bisa?”

Yolla mendengus dengan tidak senang.

“Apa pun bisa terjadi kalau di perusahaan papaku,” sungutnya. “Padahal si Babangs itu Cuma tamatan SMP, kan lucu tiba-tiba dia bis menjabat setinggi itu di sini. Perusahaan lain mana mau?”

Sisty mengangguk-angguk paham.

“Ya kalau ayah kamu sampai memberinya jabatan bergengsi itu, artinya dia memiliki kemampuan.” Dia berpendapat.

Yolla justru berdecih.

“Kelebihan apaan? Bersih-bersih lantai?” komentarnya meremehkan.

“Permisi ...” Tepat saat itu Byanz melangkah memasuki ruangan Yolla.

Sisty menoleh dan tanpa sadar mulutnya ternganga saat Byanz muncul di area penglihatannya dengan penampilan yang begitu berbeda.

Rambut hitam Byanz yang lebat disisir rapi, sementara dirinya mengenakan setelan jas lengkap dan dasi yang serasi.

“Astaga ...” Sisty jelas terpesona, sedikit tak percaya jika Byanz yang sekarang adalah office boy yang pernah dia lihat dulu.

“Ada urusan apa?” tanya Yolla dengan nada tidak ramah.

“Saya mau minta tolong Ibu periksa ulang dokumen ini,” ujar Byanz sambil mengulurkan satu map yang dia bawa. “Bu Yolla bisa memeriksanya nanti saat senggang.”

Yolla menerima map dari tangan Byanz sambil melengos.

“Nanti saya periksa,” katanya ketus.

“Kalau begitu saya permisi, mari ...” Byanz pamit undur diri, tak lupa dia mengangguk sopan ke arah Sisty yang dengan bersemangat membalas anggukannya.

“Apaan sih kamu Sis, norak banget!” sengit Yolla sambil melirik sahabatnya yang masih terpesona memandangi kepergian Byanz.

“Dia kelihatan beda banget, Yol!” pekik Sisty tertahan. “Masa kamu nggak bisa bedain sih?”

Yolla mendengus.

“Buatku, dia sama menyebalkannya seperti sebelum-sebelumnya.” Dia berkomentar.

“Itu karena mata kamu sudah tertutup sama kebencian sih,” ucap Sisty tidak habis pikir. “Makanya kamu nggak pernah bisa lihat sisi baik yang ada pada Baby ... eh, Byanz maksudnya. Aku lihat dia sangat sopan sama kamu tadi.”

“Cuma pencitraan,” komentar Yolla tak terkesan. “Dia kan dapat jabatan mentereng dari papa aku, ya sudah sepantasnya dia tahu diri dengan sopan sama aku.”

Sisty tidak berkata apa-apa lagi.

Sementara itu Byanz lebih memilih menyibukkan diri dengan setumpuk kewajibannya sebagai CEO yang ternyata tidak bisa dianggap remeh.

Bersambung—

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel