SMP • 07
"NAMA lengkapnya Aryiella Garcia, umurnya sekitar 22 tahun, status jomlo, masih perawan, anak rumahan yang hampir nggak pernah keluar rumah kalau nggak ada kepentingan."
Raffa mengernyit sambil memandangi kertas yang disodorkan Nayla padanya. Di situ tertuliskan alamat Riri lengkap beserta nomor teleponnya. Raffa memandangi Nayla sekali lagi, lalu mengulangi kata-kata wanita itu barusan padanya.
"Aryiella Garcia?"
Nayla mengangguk. "Namanya cakep, sih, tapi orangnya kelihatan biasa aja." Nayla mengangkat bahunya tak acuh. "Itu menurut pengelihatan gue, kalau aslinya, ya, gue nggak tahu. Apalagi sifatnya yang agak absurd, lo serius mau ngelamar dia? Ini lamaran, lho, Raf, jangan lo ajak dia buat main-main doang!"
Raffa mendengkus. "Padahal, lo sebelumnya ngedukung gue banget buat ngelamar dia, Nay."
Nayla menghela napas kasar. "Iya, sih, daripada dia ngejomlo sampai kiamat, kasihan juga anaknya."
Raffa tersenyum miring. "Anaknya nggak minta dikasihanin."
"Yang satu itu mana mungkin, dia paling nggak suka dikasihanin dari dulu." Nayla mendesah lagi. "Tapi, kalau lo ngelamar Riri ... gimana sama Riza? Bukannya lo sama dia-"
"Gue nggak ada apa-apa sama Riza." Raffa menggertakkan gigi-giginya saat mendengar nama itu dibawa-bawa. "Dia juga udah punya pacar. Kenapa dia nggak ngejar-ngejar pacarnya aja, bukannya ngejar-ngejar gue kayak cewek nggak tahu diri gini? Gue itu playboy, Nay, gue suka ngejar, tapi paling nggak suka dikejar-kejar."
"Terserah lo, deh, menurut gue antara Riri sama Riza sama-sama baik, masih virgin juga, itu kan yang lo cari waktu ngedeketin Riza?"
Raffa hanya menutup mulutnya rapat-rapat. Nayla belum mengetahui seperti apa Riza yang sebenarnya. Tidak ada yang tahu siapa sosok sebenarnya yang ada di balik tubuh polos dan malu-malu itu.
"Dan kalau Riza ngejar-ngejar lo sampai segininya, gue cuma punya dua jawaban yang paling masuk akal."
Raffa mengernyit. "Apa?"
"Pacarnya nggak sekaya lo dan keluarga lo atau lo udah pernah nidurin dia, makanya dia ngejar-ngejar lo sampai segitunya. Lo udah merawanin dia, iya?"
Raffa menutup mulutnya rapat-rapat. Dia paling tidak suka membahas masalah ranjang dengan orang lain. Oke, kalau cuma bilang dia pernah tidur sama siapa saja nggak masalah, tapi kalau sudah menyangkut masih 'virgin' atau tidaknya seseorang, yang ada dia bisa disleding karena dia nggak punya bukti.
Kalau Raffa bilang, Riza sudah tidak perawan saat dia menidurinya. Mana mungkin Nayla percaya, cewek sok polos bangsat seperti itu! Raffa bisa tahulah, mana virgin dan mana yang bukan, dan jelas-jelas Riza nggak masuk di dalamnya. Walau ada yang bilang, virgin nggak harus berdarah di malam pertama, tapi mana mungkin Riza masih virgin kalau ... sudahlah.
"Kenapa diam? Jangan bilang kalau lo udah-"
"Jangan ngurusin masalah ranjang orang, urusin masalah ranjang lo sendiri aja." Raffa berdiri dan menatap Nayla sekilas sebelum dia berbalik hendak pergi.
"Gue nggak mau ngurusin masalah ranjang lo, lo juga udah dikenal playboy di mana-mana, tapi, kalau lo cuma ngelamar Riri buat permainan semata, gue nggak bakal tinggal diam walaupun sekarang kita saudara."
Raffa menoleh ke belakang seraya memamerkan senyuman tipis. "Cowok berengsek kayak gue masih nyari cewek baik-baik buat dijadiin istri. Kalau Riri menurut pengamatan lo baik, kenapa enggak gue coba aja daripada gue dijodoh-jodohin sama cewek nggak baik? Gue nggak ada niat mainin Riri, nggak sekalipun, gue cuma mau lari dari kejar-kejaran Mama yang nyuruh gue cepet nikah, dan juga ..." kejar-kejaran si Riza gila!
"Dan juga?"
"Makasih udah nganggap gue sebagai saudara," kata Raffa dengan senyuman manis yang membuat Nayla semakin mengernyitkan dahinya.
***
"Jadi, ini yang namanya Riri?" pertanyaan itu membuat Riri tersenyum miring.
"Iya, Tante, saya nggak cantik, kok, biasa saja," balas Riri seperti biasa. Entahlah, dia merasakan firasat buruk saat mamanya bilang kalau ada temannya ikut nyalon di sini.
Ayolah, dia bukan wanita bodoh dan naif. Ia sangat yakin, kalau mamanya sengaja mengajaknya ke salon ini agar ia bisa bertemu dengan Tante yang tiba-tiba sok akrab dengannya. Dia penulis novel, kisah seperti ini terlalu mainstream, jangankan tahu, dia bahkan sampai hafal bukan main dengan alur cerita sejenis ini.
"Biasa aja gimana, kamu cantik pakai banget," pujian itu membuat Riri menahan ledakan tawa di kepalanya.
"Mana mungkin saya cantik, Tan, orang kulit saya pucat begini, kantung mata sampai kembaran sama panda, belum lagi noda hitam di wajah saya pasti bikin ilfeel siapa aja yang ngelihatnya. Mama saja sampai bilang, mana ada cowok yang mau ngelirik saya dengan penampilan mengenaskan begini?"
Arlin yang mendengar namanya dibawa-bawa terpaksa berdeham. Dia menatap Rossaline dengan tatapan memohon maaf, tapi Rosa terlihat santai saja menanggapi omongan Riri yang terlalu cerewet.
"Anak Tante mungkin mau ngelirik kamu, kalau kamu mau ketemu sama dia dulu."
Rosa tersenyum misterius. Dia memang mendengar selentingan kabar mengenai putri Arlin dan Arya yang ajaib dan dia berniat menjodohkannya dengan putranya yang playboy bukan main. Raffa terlalu pemilih, dia tidak tahu kriteria wanita seperti apa yang diinginkan putranya, tapi dia berharap besar, jika Riri bisa memikat Raffa agar putranya mau segera menikah.
Arlin dan Arya tentu saja setuju, apalagi Riri selalu bilang, tidak mau menikah, mau jadi perawan tua, dan mau jomlo saja sampai kiamat. Bahkan, Rosa yang mendengarnya pertama kali sampai dibuat ikut frustrasi jika dia memiliki putri seperti Riri.
Walaupun Raffa susah disuruh serius, apalagi menikah, tapi setidaknya dia masih punya banyak pacar yang menandakan jika pria itu masih normal, tapi Riri kebalikannya. Dia mau jadi perawan tua.
Astaga! Wanita normal biasa saja menolak menjadi perawan tua, tapi anak ini ... benar-benar ajaib!
Riri tiba-tiba menoleh ke arah ibunya. "Ma, yang tadi katanya mau ngelamar itu siapa? Yang katanya, anaknya naksir sama Riri?"
Rosa menatap Arlin meminta penjelasan, sedang wanita itu menghela napas kasar. "Iya, itu anaknya Tante Rosa, Mama bohongin kamulah, biar kamu mau ketemu sama anaknya dulu. Kata kamu, mukanya nggak kelihatan, jadi Mama mau ngenalin kalian dulu gitu, biar mukanya kelihatan di mata kamu."
"Oh, jadi anaknya Tante Rosa belum naksir sama Riri?" Riri tiba-tiba tersenyum misterius. Kalau begini kasusnya akan menjadi mudah, dia bisa menakit-nakuti cowok itu supaya mereka tidak jadi dijodohkan. Gampang, kalah urusan bohong-membohongi pria yang mau mendekatinya, mah, kecil.
"Kamu nggak kecewa, kan? Tante ada fotonya kalau kamu mau lihat mukanya kayak gimana. Ganteng, kok, Ri. Udah banyak yang bilang."
Promosi dari Tante Rosa sukses membuat Riri mengernyitkan dahi. "Masa?" Kok bisa sombong banget ini emak-emak?
"Iya, namanya Julian Raffa Gunawan, kamu pasti kenal dong sama dia?"
Riri menatap mamanya meminta bantuan. Siapa? tanyanya tanpa suara. Mamanya hanya bisa mendesah kasar sambil menepuk jidatnya. Riri kembali lagi menatap Rosa. Julian Raffa Gunawan, nama Gunawan membuatnya teringat akan suami kakak tingkatnya.
"Saya nggak kenal sama anak Tante, tapi kalau nama Gunawan ini ... pikiran saya keinget sama Ethan, Abang Duda yang menikah sama kakak tingkat saya dulu."
"Nayla maksud kamu?"
Pertanyaan itu membuat Riri mengangguk-angguk antusias. "Iya, Kak Nayla, suaminya, kan, Duda Ganteng itu!"
"Kalau Ethan ini keponakan Tante, dia sama Raffa gedenya bareng, tapi masih gantengan Raffa ke mana-mana."
Riri mengernyitkan dahi. "Masa iya? Perasaan Abang Duda udah yang paling ganteng di seluruh dunia, deh."
Arlin berdeham. "Ri, dia udah menikah, ya, kamu jangan macam-macam begitu!"
"Kan cuma ngomong kalau dia ganteng, Ma, masa nggak boleh? Riri nggak bilang sesuatu yang salah, kan, kan emang kenyataannya Abang Duda itu ganteng."
Rosa yang mendengarnya malah dibuat tertawa. Jika putranya mendengar kalimat Riri barusan, sudah pasti harga dirinya sebagai playboy tersentil habis-habisan.
Telepon Rosa berbunyi, dia meminta pamit ke belakang untuk mengangkat telepon dari putranya. "Halo!"
"Ma, siapin lamaran buat Raffa."
"Tunggu dulu," Rosa mengernyitkan dahi sembari mencerna kalimat putranya di seberang sana, "maksud kamu gimana? Lamaran buat siapa? Buat wanita yang kata kamu sudah punya calon suami itu? Kamu belum gila, kan, Raffa?"
Rosa tidak menduga, jika Raffa malah tertawa di seberang sana. "Mama tenang saja, dia belum punya calon suami, calon pacar saja enggak punya. Raffa kirimin alamatnya ke ponsel Mama. Mama langsung siapin segala tetek-bengeknya biar Raffa bisa ngelamar dia besok malam juga."
Telepon terputus, Rosa memandangi layar ponselnya yang kini menampilkan sederet alamat yang sukses membuatnya mengernyit.
"Ini kan alamat rumahnya ...."
____
Alamat palsu Tante....
