Pustaka
Bahasa Indonesia

Suami Telanjang Dada

87.0K · Tamat
Romansa Universe
80
Bab
2.0K
View
8.0
Rating

Ringkasan

Saat musim panas adalah saat orang-orang berdatangan ke pantai untuk mencari hal baru. Salimar, gadis pantai yang dibatasi hidupnya menemukan pemuda terdampar, bertelanjang dada. Setelah pria itu sadar, dia meminta Salimar menikahinya untuk suatu alasan yang tidak jelas.

Metropolitan

Bab 1 Bertemu Rosalinda

Bab 1 Bertemu Rosalinda

"Salimar! Hei Salimar, cepat bantu angkat dan bawa rumput ini ke tepi untuk dijemur," panggil seorang wanita baya pada seorang gadis muda.

Salimar, gadis berkulit putih itu menoleh ke arah sang wanita.

"Baik, Bu," jawab gadis itu.

Salimar mengangkat keranjang berisi rumput laut basah. Membawanya ke tepi pantai, dimana beberapa wanita lain sedang menjemur rumput-rumput yang masih basah itu.

Ini adalah keseharian Salimar. Gadis kecil yang hidup di kampung nelayan dekat pantai. Membantu mengangkat dan menjemur rumput laut yang baru dipanen untuk menyambung hidup. Seperti kebanyakan anak muda di kampungnya.

Namun Salimar mempunyai mimpi terpendam. Dia ingin pergi dari kampung itu. Dia tak ingin, jika harus menghabiskan seluruh hidupnya sebagai gadis nelayan yang hidup diantara kemiskinan. Dia ingin bekerja di kota, seperti salah satu temannya yang sudah berhasil di sana. Hanya menunggu kesempatan itu datang.

"Salimar, bawa ke sini rumputnya. Kita jemur bersama agar cepat selesai," kata Nina, gadis manis berkulit coklat.

"Oke."

Memang kebanyakan orang di kampung Salimar memiliki warna kulit coklat atau bahkan hitam. Semua itu akibat sinar matahari yang tak bisa dipisahkan dari keseharian mereka. Warga di kampung Salimar sudah bersahabat dengan terik matahari sejak jaman dulu.

Mereka bahkan cenderung mendewakan sinar matahari. Juga karena hidup mereka bergantung dari laut, jadi perpaduan antara air laut yang asin dengan sinar matahari yang terik, membuat kulit mereka berwarna gelap. Namun berbeda dengan Salimar yang memiliki kulit lebih cerah dari orang lainnya di sana.

"Oh ya, Salimar. Aku dengar dari ibuku, katanya Marina akan segera menikah dengan Lian. Apa kau sudah tahu?" tanya Nina membuka obrolan diantara mereka.

Mengangkat bahunya acuh, Salimar lebih memilih menumpahkan semua rumput laut basah itu ke atas terpal. Menyisirnya agar merata di atas terpal yang terbentang di sepanjang pantai. Sebelum nanti dipindahkan ke atas prancak gantung dari bambu.

"Salimar, kenapa kau diam saja?" tegur Nina sedikit kesal.

Salimar menoleh ke arah Nina. Menatap gadis manis itu dengan alis terangkat sebelah. Memberikan isyarat pada apa yang sedang dia kerjakan, kepada gadis tersebut lewat tatapan matanya yang merunduk ke bawah.

"Apa kau melihatku hanya diam saja? Kau tak lihat, apa yang sedang aku kerjakan ini, Nina?" sungut Salimar kesal.

Nina meringis tanpa dosa.

"Hehehe."

"Lagipula, Nina. Menurutku ... lebih baik kau cepat selesaikan pekerjaanmu itu. Atau kau akan pulang dengan tangan kosong," tegur Salimar acuh pada temannya itu.

"Iya, iya. Cerewet sekali sih. Padahal berita tentang Marina itu sedang hangat-hangatnya," gerutu Nina merenggut kesal.

Kedua gadis itu segera menyelesaikan pekerjaan mereka. Matahari semakin tinggi, panasnya semakin terik menimpa kulit Salimar yang putih. Warna kulit yang lebih terang dari sang ayah, tapi lebih gelap dari ibunya yang putih bersih.

Kulitnya yang berbeda, sering kali membuat Salimar bertanya-tanya pada kedua orang tuanya. Namun mereka hanya bilang itu karena Salimar disayang oleh Tuhan. Salimar tahu, ada yang janggal di sini, tapi dia hanya diam.

"Hei, Salimar! Cepat kita kembali ke tepi pantai. Para nelayan sudah datang. Ayah kamu juga pasti sudah pulang!" seru Nina menarik tangan Salimar.

Salimar mengangguk. Kedua gadis itu berlari dengan ceria ke arah pantai. Mereka berdua adalah gambaran dari gadis muda yang hidup di kampung nelayan di tepi pantai.

Sembari menunggu kapal ayahnya menepi, Salimar dan Nina duduk di atas pasir pantai. Melepas lelah dan penat usai bekerja tadi. Hingga sesosok gadis menghampiri keduanya.

"Salimar ... Nina," panggil gadis itu pada keduanya.

Sontak, kedua gadis itu menoleh ke arah sang pendatang baru. Seketika senyum Nina melebar. Melambaikan tangan pada gadis yang berjalan mendekati mereka berdua. Namun Salimar hanya diam, menatap kedatangannya.

"Rosalinda! Hei, apa kabarmu?!" seru Nina riang.

Rosalinda tersenyum lebar. Membalas lambaian tangan Nina, gadis itu menjatuhkan tubuhnya di sebelah Salimar.

"Aku baik. Lalu kabar kalian?" kata Rosalinda balik bertanya.

"Kami juga baik. Sejak kapan kau balik ke kampung ini?" Nina bertanya dengan semangat.

Gadis itu memang penuh semangat dalam hal apapun. Selalu berpikir positif tentang semua orang dan hal yang terjadi dalam hidupnya. Itu membuat Nina menjadi gadis yang ceria. Kadang membuat Salimar iri dengan cara pandang Nina yang sederhana.

"Baru tadi malam. Oh iya, kalian tidak bekerja?" Rosalinda menatap dua gadis itu dengan pandangan bertanya.

"Kami baru saja selesai. Sekarang kami sedang menunggu kapal ayah Salimar bersandar." Nina menunjuk ke arah kapal yang mulai mendekati pantai.

Rosalinda mengangguk. Tatapannya mengikuti arah yang ditunjuk oleh Nina. Kemudian dia kembali menoleh ke arah keduanya. Terutama Salimar, yang sejak tadi hanya diam membisu di sisinya.

"Salimar, apa kau sakit? Kenapa kau diam saja?" tanya Rosalinda khawatir.

Salimar menggeleng pelan.

"Tidak. Aku baik-baik saja. Lagipula, dia sudah menjawabnya sejak tadi. Jadi aku tak perlu mengulangi lagi." Suara Salimar terdengar sinis, sembari menunjuk ke arah Nina.

Yang ditunjuk hanya cengengesan tanpa dosa.

"Hehehe ... maaf. Aku terlalu bersemangat karena baru bertemu dengan Rosalinda lagi," kata Nina menyesal.

Rosalinda tertawa kecil. Menggelengkan kepala, melihat tingkah kedua teman kecilnya.

"Oh ya, Linda. Aku dengar kau sudah bertunangan dengan pengusaha elektronik di kota. Apa itu benar?" Nina kembali bertanya.

Rosalinda mengangguk mantap. Senyum kebahagiaan tersemat di bibir gadis manis itu.

"Ya, benar. Itu sebabnya aku pulang ke rumah. Untuk mengenalkan kedua keluarga kami," jawab Rosalinda.

"Waah ... keren. Kau benar-benar hebat, Linda. Bekerja di kota, lalu sekarang kau juga mendapatkan suami dari kota. Apalagi dia seorang pengusaha kaya. Keren!" seru Nina kagum.

Rosalinda tertawa kecil, menanggapi reaksi Nina yang heboh. Sementara Salimar semakin lekat menatap teman kecilnya itu dengan pandangan penuh minat.

"Apakah enak, kerja di kota, Linda?" tanya Salimar penasaran.

Rosalinda menghentikan tawanya. Menatap ke arah Salimar yang akhirnya buka suara. Dia tersenyum kecil.

"Itu bergantung dari penilaian masing-masing. Namun aku suka bekerja di sana. Daripada terkurung di kampung seperti ini," kata Linda menatap jauh ke tengah laut.

Nina hendak membuka suara lagi. Namun sebuah panggilan membuat dirinya urung untuk mengatakan hal lainnya.

"Nina! Cepat ke sini. Bantu Pamanmu membawa pulang ikan-ikan ini," seru seorang wanita memanggil Nina dari kejauhan.

Nina menoleh ke arah wanita itu.

"Iya Bibi. Aku segera ke sana!" teriak Nina membalas Bibinya.

Berpaling kembali ke arah kedua temannya, Nina berpamitan untuk pulang.

"Bibi dan Pamanku sudah menunggu. Jadi aku minta maaf, aku pamit pulang dulu. Bye!" Nina berdiri lalu beranjak pergi dengan berlari kecil ke arah Paman dan Bibinya.

Rosalinda dan Salimar melihat kepergian gadis itu dengan pandangan berbeda. Kemudian mereka berdua melanjutkan pembicaraan yang tadi.

"Apa masih ada lowongan untuk bekerja di tempatmu, Linda? Aku ingin bekerja di sana juga," ujar Salimar berharap.

"Aku tidak tahu, tapi jika kau berminat aku bisa membantumu."

Kedua mata Salimar berbinar-binar.

"Benarkah? Bantu aku untuk bekerja di sana, Linda. Aku ingin pergi dan bekerja di kota. Aku bosan terus berada di sini," ucap Salimar memelas.

"Boleh, tapi bagaimana dengan ayahmu? Apa tidak masalah, jika beliau tahu?" Rosalinda takut dengan reaksi dari ayah Salimar.

Lelaki itu terkenal dengan sikap tegasnya yang menakutkan bagi anak-anak muda di kampung ini. Itu sebabnya, banyak yang tak berani melawan ayah Salimar di kampung ini.

"Tenang saja. Itu–"

Belum selesai Salimar berkata,sebuah suara tajam dan dalam memanggil namanya.

"Salimar! Salimar!" panggil seorang lelaki paruh baya dari kerumunan di pinggir pantai.

Lelaki itu adalah ayah Salimar. Dia baru saja turun dari perahu dan menyeret satu basket penuh berisi ikan. Hasil dia melaut selama tiga hari di lautan luas itu.

Salimar melihat ke arah sang ayah, yang melambaikan tangan di sana. Berdiri, dia berpamitan pada Rosalinda. Sebelum meninggalkan gadis itu sendirian di sana.

"Ayahku sudah kembali. Jadi aku harus segera ke sana untuk membantunya. Nanti kita bahas lagi tentang pekerja itu, Linda. Sampai nanti," ujar Salimar berpamitan.

"Apa kau bersungguh-sungguh, Salimar?" tanya Rosalinda berteriak keras.

"Tentu saja. Aku sudah menginginkan hal itu sejak dulu!" seru Salimar menjawab pertanyaan Rosalinda tersebut.

Melambaikan tangan pada Rosalinda, Salimar berlari menuju ke tempat ayahnya.