Bab 7 Baju Seragam
*Jadikan akhirat di hatimu, dunia di tanganmu, dan kematian di pelupuk matamu.* - Imam Syafi’i
***
Emak mengenakan gamis putihnya, lengkap dengan jilbab instan dengan warna senada, pakaian hari raya Idul Fitri tiga tahun yang lalu, katanya. Baju yang aku dan bang Ilham beli dan kirimkan ke emak dikampung.
Ada senyum yang selalu melekat di wajahnya, senyum yang sulit diartikan. Begitupun bapak, sejak siang tadi ia selalu berdiri di depan pintu, pun menggunakan pakaian warna senada dengan emak. Kopiahnya pun tak pernah terlepas sejak tadi.
Taufik tidak terlihat, kata bapak, ia akan sibuk untuk sementara waktu. Aku duduk di sudut ruangan tamu ini, memeluk lutut seraya terus memperhatikan jam dinding berputar.
Ah, padahal katanya, paling lama tiga jam lagi ia akan sampai, tapi, rindu ini sudah tidak bisa kutahan. Jam pun seakan enggan untuk berputar.
***
"Nia, ayo sholat ashar dulu," ucapan Intan membuatku memalingkan wajah kepadanya.
"Intan? Kamu kok disini?" tatapan iba terlihat jelas di matanya ketika melihatku.
"Ayo, sebentar lagi udah mau sampe," ujarnya, aku bangkit perlahan. Intan memapahku ke dapur. Entah mengapa kaki ini tak kuat untuk terus berjalan. Kulihat bapak masih tegak berdiri.
"Bapak udah shalat?" entah dengan siapa ku ajukan pertanyaan ini.
“Emak dan bapak, sudah sholat sedari tadi,” mbok Inah menjawab pertanyaanku, ketika aku melaluinya.
Mengapa mereka semua ada disini?
Kesadaranku seketika pulih, ketika basuhan air pertama membasahi wajahku.
“Abaanngg!” teriakku. Badanku luruh kelantai, tak kuhiraukan lantai kamar mandi yang basah.
“Ya Allah, Nia. Sadar, jangan begini,” Intan menerobos masuk, air matanya ikut serta turun ketika ia memelukku.
“Ngucap, Nia,” diusapnya air mataku. Dengan dibantu Intan, akhirnya aku bisa berwudhu.
Badanku bergetar ketika sujud terakhir kulakukan, kuserahkan semuanya kepada Allah, do’a kupanjatkan. Tepat ketika kuakhiri sholat dengan salam, suara sirene ambulance terdengar memasuki halaman rumah.
Tamu yang selalu diharapkan pulang oleh emak dan bapak, canda dan senyum yang selama ini kurindukan telah datang. Bapak berlari, emak ikut serta bangkit dari duduknya.
Entah siapa yang memulai, suara tangisan semakin keras terdengar ditelingaku. Aku tak sanggup berdiri, hanya mampu melihat kerumunan orang keluar dari rumahku.
Bapak masuk dengan beberapa pria, dengan mengangkat sebuah tubuh manusia yang sudah terbungkus rapi oleh kain batik, mata bapak memerah, tangisnya jatuh tanpa ada seoang pun yang bisa mengusapnya.
“Engkau pulang, Bang,” ucapku lirih.
Bapak meletakkan jenazah bang Ilham, di tempat yang telah disiapkan oleh warga sekitar, emak tepat duduk di samping jenazah.
“Le, kamu pulang, le,” tanpa tangis, emak mengusap lembut bagian tubuh bang Ilham.
Terdengar beberapa warga mulai membaca ayat suci Al-qur’an. Kudekati emak, duduk disampingnya, melihat jenazah bang Ilham tangisku pun pecah.
“Bang, kenapa tinggalin Nia? Bapak dan emak masih rindu, Abang udah janji kan, akan pulang hari raya tahun ini. Kenapa Abang pulang sekarang? Bang, bangun,” racauku.
Lelaki cinta pertamaku memelukku, badannya bergetar.
“Pak, bang Ilham sudah pulang, Bapak kenapa menangis?” ucapku yang membuat bapak makin terisak.
“Sadar, nduk. Istighfar, nyebut gusti Allah,” diciumnya pucuk kepalaku yang masih menggunakan mukena.
Kupandangi tubuh yang kaku di depanku, apakah ini pertanda ucapanmu kemarin bang? Untuk menjaga bapak dan emak, apakah karena kau akan meninggalkan kami?
“Ham, lihat. Akhirnya kita pakai seragam yang sama, kan? Emak, bapak dan adikmu, Nia, pakai pakaian sama berwarna putih, nanti Taufik emak suruh pakai juga, ya. Ini keinginanmu kan, le? Emak ikhlas, emak ridho,” ujar emak.
Seketika emak pingsan disebalahku. Beberapa warga mengangkat tubuh emak ke kamar, aku pun mengikuti, mbok Inah mengusap minyak kayu putih ke hidung emak.
Setelah musyawarah dengan bebapa warga, jenazah bang Ilham segera dimakamkan, sebelumnya dishalatkan lagi di masjid kampung. Bapak membawa keranda paling depan sebelah kanan, Taufik berada disebelah kiri. Sepertinya ia baru selesai dari menggali kubur, terlihat dari sandal yang ia gunakan, tanah tebal yang masih menempel.
***
Malam beranjak, setelah tahlilan pertama selesai, warga pun pulang. Emak sudah beberapa kali pingsan, selama proses pemakaman jenazah bang Ilham. Sekarang, ia masih duduk melafalkan ayat al-qur’an, matanya masih meneteskan air mata. Bapak menggulung tikar yang ada dihalaman, alhamdulillah, tahlilan pertama banyak warga yang datang, sehingga harus duduk diluar rumah.
Taufik membereskan sisa piring yang ada di ruang tamu, turut serta Intan ikut membantu.
‘Malam ini, aku nginap ya,’ ucapnya, ketika kami berjalan meninggalkan pemakaman kampung.
Bang, kami rindu.
Teringat kembali, ketika menerima kabar, bahwa bang Ilham kecelakaan dijalan ketika ia hendak menuju tempat kerjanya. Motornya ditabrak oleh bus yang mengalami rem blong. Setelah diskusi dengan mertua bang Ilham dan Bela, jenazah bang Ilham dikuburkan di kampung. Jenazah bang Ilham disana juga telah selesai dimandikan, dikafani dan di sholati, sebelum diberangkatkan ke kampung. Bela tak ikut serta, kondisi lemah menyebabkan ia harus tetap tinggal. Ia hanya berpesan kepada bapak, kakeknya, akan segera menyusul setelah kondisinya membaik.
***
Tujuh hari telah terlewati, semalam tahlilan ketujuh bang Ilham telah dilaksanakan. Emak sepertinya sudah ikhlas, tak terlihat lagi air matanya. Kini ia sudah mulai tersenyum, walau tidak banyak kata yang keluar dari mulutnya.
“Kak, besok aku mau ke kabupaten, mungkin nginap,” Taufik menyerahkan selembar kertas padaku.
‘Formulir Pendaftaran Kampus N”
Kubaca dengan teliti, syarat-syarat yang harus dilengkapi.
“Fik, Kakak belum mengerti tentang surat rekomendasi dari camat? Untuk apa? Bukankah itu tidak perlu? Disini juga tidak ada tertulis untuk melampirkan surat itu?” tanyaku beruntun. Aku berjalan melewati pintu dapur, melihat kebun yang sudah tujuh hari ini tidak terurus. Taufik mengikutiku dari belakang.
Ditariknya nafas dalam dan menghebuskannya perlahan.
“Ceritanya panjang, kak,”
“Apa?” tanyaku penasaran.
Gubraakk … terdengar suara benda terjatuh dari arah samping rumah.
@@@
Apalagi ini? ada yang jatuh? sengaja atau ga ya, mak?
tunjuk tangan donk mak yang bacanya susah karena terhalang airmata. ?
