Bab 7. Malam Panas
Arthur menatap tak berkedip pada Lintang, yang berdiri di ambang pintu dengan pakaian tidur tipis. Dan, entah kesialan atau anugerah baginya, karena angin berhembus membuat lekukan tubuh gadis itu semakin jelas dimatanya.
Itu mengganggu jiwa kelelakiannya.
Tapi Arthur masih cukup waras untuk mengerjap dan memalingkan pandangannya ke arah lain. Dan mengatur nafas.
"Nona, tolong kembali ke dalam, angin malam tidak bagus untuk kesehatan!" pintanya.
"Tidak bagus untuk kesehatan, apa tidak baik untuk jantungmu?"
Arthur terpaku mendengar perkataan Lintang. Dengan memberanikan diri, ia pun menoleh melihat ke arah gadis itu. Dan alisnya pun terangkat tinggi saat melihat Lintang tengah mendongak, menenggak minuman langsung dari botolnya.
Sontak saja Arthur melangkah lebar ke arah Lintang dan merebut botol itu dari tangannya.
"Kembalikan! Jangan dibuang!" pekik Lintang meninggi saat melihat Arthur menuangkan semua isi botol ke dalam pot tanaman, lalu menjauhkan botol itu ke sudut balkon.
"Apa yang kamu lakukan?!" teriak Lintang marah seolah baru saja kehilangan mainan berharganya.
"Itu tidak baik untuk kesehatan, Nona," kata Arthur menatap tegas pada Lintang.
"Tahu apa kamu soal kesehatanku?!" teriak Lintang marah, "Mereka juga tidak peduli padaku! Pada perasaanku!" Lintang menunjuk dadanya sendiri.
Arthur diam. Membiarkan Lintang menumpahkan emosinya. Gadis itu menangis menyurai rambut panjangnya dengan penuh frustasi.
"Nona ...,"
"Berhenti memanggilku seperti itu, Arthur!" teriak Lintang, dia lalu memburu pada Arthur.
"Tolong, bawa aku dari sini! Aku ingin bersamamu saja!" ratapnya memegang wajah Arthur, matanya menatap penuh harapan.
Arthur memegang tangan Lintang di wajahnya, menatap dalam ke dalam mata gadis itu.
Betapa ia ingin sekali melakukannya. Ingin sekali ia memeluk Lintang dan mengatakan semua akan baik-baik saja.
Dan mengungkapkan betapa dia mencintai Lintang.
"Aku mohon, Arthur! Kamu tahu aku nggak bisa menerima semua ini," ucap Lintang terisak, "Aku menginginkanmu, Arthur!"
Lintang mengangkat tumitnya, menjangkau bibir Arthur. Menciumnya.
Laki-laki itu seketika membeku, pertahanannya pun runtuh.
Tangan Arthur menarik pinggang Lintang merapat, memeluknya dan memperdalam ciuman mereka. Lintang melenguh saat merasakan tangan Arthur merayap lembut di punggungnya, meninggalkan jejak panas menembus kain tipis yang menghalangi.
Namun itu juga yang membuat Arthur tersadar. Seolah tersengat lebah, Arthur melepas pagutan mereka dan mundur menjauh.
"Maafkan saya, Nona!" Arthur menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Lintang yang terkejut juga merasa kecewa.
"Apa kau menolakku?" ucapnya dengan sorot mata terluka, "Apa aku memang tak menarik bagimu, Arthur?"
Arthur sontak mengangkat kepalanya mendengar itu, lalu menggeleng cepat.
"Lalu kenapa?" tanya Lintang lagi, "Kita berdua tahu perasaan kita masing-masing satu sama lain, kenapa masih menahan diri?"
"Nona-" Arthur ingin membantah tapi, dia lalu memejamkan mata, membenarkan perkataan Lintang.
"Maafkan saya," ucap Arthur lirih, "Anda tidak tahu betapa ini semua juga sulit bagi saya," ungkapnya.
"Tapi saya menyadari posisi saya tak memungkinkan, hidup Anda akan lebih bahagia dengan dia-"
"Siapa yang bisa menjamin itu semua, Arthur?" potong Lintang menatap laki-laki itu dengan sedih.
Arthur terdiam menatap Lintang. Gadis itu lalu mendekat, menyentuh wajah Arthur.
"Aku mungkin menerima ini semua, tapi bisakah kamu yang menjadi orang pertama bagiku?" ucapnya.
"Nona!" Arthur melotot mendengar perkataan Lintang. Dipegangnya tangan Gayatri di wajahnya.
Mata Lintang meredup, "Aku mohon, Arthur," pintanya dengan air mata meleleh di pipinya, "aku ingin menyerahkan semuanya pada laki-laki yang aku cintai dan mencintaiku," lanjutnya lirih.
Lintang mengunci pandangan, menatap kedua bola mata Arthur dengan lekat.
"Katakan kamu mencintaiku, Arthur! Katakan!" tegasnya.
Arthur terpaku.
Sebagai seorang prajurit dia ingin membantah, tapi sebagai seorang laki-laki, hati kecilnya memberontak dan ingin sekali memeluk gadis itu dan mengatakan jika dia adalah satu-satunya gadis yang ada di dalam hatinya.
"Aku mohon," bisik Lintang.
Arthur menatap Lintang, mencari keyakinannya sendiri. Hingga pada akhirnya pendiriannya pun kalah.
Disentuhnya wajah Lintang, menelusuri setiap incinya dengan jarinya. Lintang memejamkan mata merasakan sentuhan Arthur, menahan nafas merasakan percikan gairah yang mulai naik.
Arthur mengikuti gerakan tangannya menyusuri garis rahang Lintang, matanya meneliti wajah gadis itu. Mengagumi kecantikan dan keindahan yang akhir-akhir ini membuat setiap malam yang dia lalui selalu gelisah.
"Aku mencintaimu, Nona, sungguh!" bisik Arthur.
Lintang membuka mata, "Kalau begitu apa lagi yang kamu tunggu, lakukan apa yang kamu inginkan!" ucapnya seolah menantang.
Arthur terdiam.
Lintang menyentuh dada Arthur, dan tak membiarkan pandangan mereka terputus. Tangannya bergerak membuka dasi di leher Arthur, membuka kancing kemejanya satu persatu. Sampai tangannya mencapai kancing paling bawah, Lintang menyentuh sabuk di pinggang laki-laki itu. Namun Arthur menghentikan tangannya.
Lintang terkejut, ditatapnya Arthur penuh tanya. Tapi saat mulutnya hendak bertanya, gerakan Arthur selanjutnya membuatnya memekik kaget.
Arthur mengangkat tubuh Lintang, membuat gadis itu reflek mengalungkan tangannya ke leher laki-laki itu. Saat ia melihat Arthur, laki-laki itu kini tengah menatapnya dengan mata penuh rindu. Lintang pun tersenyum.
Arthur melangkah memasuki kamar, membawa tubuh mungil Lintang ke tempat tidur. Lalu membaringkannya dengan lembut di atasnya. Ketika hendak menegakkan kembali badannya, Lintang menahan lehernya. Wajah mereka pun hanya berjarak beberapa senti.
"Aku akan sangat bahagia melalui malam ini bersamamu," bisik Lintang tersenyum menatap Arthur penuh damba.
Arthur pun tersenyum. Perlahan wajahnya pun turun, dan mendaratkan sebuah ciuman lembut di bibir Lintang. Namun gadis itu semakin menariknya merapat dan memperdalam ciuman mereka.
Malam merayap lambat, bintang-bintang bertaburan di langit kelam. Mengintip kedua insan yang tengah memadu kasih melepaskan kerinduan, mempertemukan cinta terlarang mereka dalam sebuah penyatuan yang membara.
Lintang sepenuhnya pasrah pada Arthur, membiarkan laki-laki itu menjelajahi semua yang ada di dalam dirinya. Menyanjung dan memuja membuat dirinya merasa bahagia sebagai satu-satunya wanita paling cantik dan diinginkan. Terbuai dengan semua kelembutan yang Arthur berikan, membuka diri sepenuhnya dan memberikan seluruh hatinya padanya.
Suara-suara bisikan dan ungkapan cinta memenuhi seluruh ruangan. Meningkatkan suhu dan membakar oksigen membuat mereka terengah dan saling memacu satu sama lain. Arthur meraup tubuh Lintang, tak memberikan jarak satu senti pun di antara mereka. Mereka seolah menyatu dalam satu tarikan nafas.
"Arthur ...."
Lintang menancapkan kuku tangannya di punggung Arthur, mulutnya terbuka dan bernafas terengah. Begitu juga Arthur, ia tak membiarkan Lintang kehilangan nafas begitu saja. Mereka sama-sama terengah menuju puncak gairah yang sebentar lagi sampai.
Bersamaan dengan suara dentang jam besar di kota sana, menandakan jika malam sudah merayap setengahnya. Arthur dan Lintang terhempas bersamaan. Saling merangkul dan memeluk, merasakan sisa keindahan yang memenuhi pikiran mereka.
Lintang memejamkan mata, dadanya turun naik dengan nafas terengah-engah. Kemudian perlahan senyum tersungging di bibirnya. Ia menoleh pada Arthur yang juga terbaring mengatur nafas di sebelahnya.
Arthur juga menoleh padanya.
"Terimakasih," bisik Lintang memeluk Arthur, membiarkan tubuh mereka kembali merapat tanpa terhalang suatu apapun.
Arthur tersenyum, ia lalu meraih selimut dan menutup tubuh polos mereka. Ia meraih Lintang ke dalam pelukannya, membiarkan gadis itu tidur di lengannya. Menikmati sisa-sisa kebahagiaan yang masih terasa begitu menyenangkan.
Jemari Arthur menyingkirkan anak rambut di kening Lintang yang berkeringat. Menatapnya mengagumi kecantikan perempuan itu.
Perempuan yang baru saja menjadi miliknya.
"Aku mencintaimu, Nona Lintang!"
Lintang tersenyum, ia naik dan mencium bibir Arthur.
"Aku milikmu satu-satunya, Arthur! Aku mencintaimu!" bisiknya lembut di bibir Arthur.
Arthur tersenyum di antara ciuman mereka. Kembali direngkuhnya Lintang, dan mengulang kebahagiaan mereka untuk kedua kali.
