1. Kado yang tertukar.
Pernikahan yang sakinah, mawadah, warahmah. Bisa terus bersama hingga maut memisahkan adalah dambaan setiap istri termasuk diriku. Apa pernikahan yang selama sepuluh tahun aku jalani dan aku anggap baik-baik saja, namun nyatanya hanya ilusi belaka.
Aku duduk di tepi ranjang sambil menggenggam erat sebuah kotak perhiasan serta gaun tidur malam yang aku temukan di dalam mobil suamiku. Lingerie ini terselip di sudut paling belakang.
Ceklek!
Pintu kamar mandi terbuka. Mas Dika keluar dengan hanya menggunakan handuk saja yang melilit pinggangnya. Tangannya terangkat ke atas menggosok-gosokkan rambutnya yang basah dengan handuk kecil.
"Mas, ini punya siapa?" tanyaku memastikan. Aku amati ekspresi suamiku. Tak sedikit pun ada raut terkejut di sana.
"Oh itu sebuah linggrie, Mas memang beli untuk kamu. Mungkin tertinggal di mobil saat Mas membawa barang belanjaan tadi," ucapnya santai.
"Kalau memang untukku, kenapa ukurannya sangat kecil sekali Mas. Kamu kan tahu ukuran bajuku XL, sedangkan baju ini ukurannya M," berondongku lagi. Aku masih belum puas mendengar jawabannya tadi.
"Ah ... yang benar? Padahal Mas pesan pada pelayannya untuk mencari ukuran kamu loh, Yank. Nggak tahu kalau yang dikasih salah. Apa mau kita tukar saja?" tanya Mas Dika. Aku menggelengkan kepala atas ajakannya. Lagi pula, aku juga tidak menyukai menggunakan pakaian dinas malam tersebut.
Mas Dika berjalan mendekati lemari, membukanya dan mengambil satu stel pakaiannya di sana. Lalu memakainya.
"Lalu perhiasan ini?" tanyaku lagi.
"Untuk kamu juga, bukalah. Apa kamu suka?" jawab suamiku tanpa menoleh, ia masih sibuk memakai pakaiannya.
Aku membuka kotak perhiasan yang sedari tadi tak sedikit pun aku buka. Karena hatiku sudah terlanjur panas dengan pakaian jahanam ini.
Mataku terbelalak kaget. Aku juga berdecak kagum melihat kotak yang berisi perhiasan berupa kalung berlian yang berkilau. Model yang begitu simple namun elegan.
"Ini untukku Mas? Cantik sekali."
"Tentu saja. Kalung yang cantik untuk wanita istimewa, " ujarnya semakin membuat aku melayang mendengarnya.
Mas Dika mendekat, ia mengambil kalung yang ada di tanganku lalu memasangkannya di leherku. Sungguh sangat romantis sekali. Membuat hatiku yang tadinya kesal kini kembali berbunga-bunga. Aku tak tahu sudah seberapa merahnya pipi ini. Mungkin perona pipi masih kalah merahnya dengan pipiku, karena pujian sang suami.
Mas Dika mengangkat daguku. " Sudah jangan ngambek lagi. Maaf kalau tadi Mas pulang sedikit terlambat. Yang pentingkan sekarang Mas di rumah. Mas juga nggak lupa membeli kado bagus untukmu kan,"
Aku yang sudah berbahagia hanya bisa menganggukkan kepala dengan pelan. Tak kupikirkan lagi masalah bajunya berbeda ukuran ini. Mungkin Mas Dika benar, pelayan tokonya yang salah.
"Sayang," Mas Dika memanggilku, matanya nanar menatap belahan dadaku yang tampak di balik piyama. Tangannya pun mulai nakal bermain-main di atas pahaku yang tersingkap. Kalau sudah begini, aku tahu betul apa yang suamiku ini mau.
Baju tidur yang kugunakan memang sedikit terbuka. Namun tidak seterbuka baju yang Mas Dika hadiahkan padaku tadi. Namun bukannya yang terbuka malu-malu mau, justru lebih menantang dan menggoda dari pada yang hampir telanjang.
Tanpa permisi dan tanpa persetujuan, suami langsung mencumbuku. Membuatku terbuai dan membawaku ke dunia kenikmatan dalam rumah tangga.
*********
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun, mandi dan memulai ritual seorang istri yang merangkap menjadi pembantu. Pagi ini aku memasak menu yang simple untuk sarapan anak dan suamiku. Dengan rambut yang masih lembab, aku memasak dengan begitu cekatan.
Setengah jam kemudian masakanku pun akhirnya matang. Sepiring tahu goreng, tempe goreng, serta ayam goreng bumbu kesukaan putraku. Tak lupa sayur bening dan sambal sebagai pelengkap. Sedangkan Mas Dika dia tak pemilih dalam makanan. Hampir semua yang aku masak ia suka. Alasannya karena masakanku enak dan pas di lidahnya.
"Selamat pagi sayang," sapa Mas Dika padaku. Tak lupa ia mencium pipiku sebagai sebagai sarapan pembuka baginya.
"Pagi, mas. Kamu sudah rapi benget pagi-pagi begini, Mas?" tanyaku. Jam masih menunjukkan pukul 6 pagi.
Mas Dika menarik kursi yang ada di dekatku. "Iya, kebetulan hari ini Mas ada meeting penting. Jadi Mas nggak Ami terlambat." jawabnya.
"Ammar mana, Ma?" tanyanya.
"Masih siap-siap di kamarnya. Kamu tahu sendiri putramu itu susah banguninnya," balasku. Sambil menyedokkan nasi ke atas piringnya dan memberikan lauk padanya. Sebagai seorang istri aku memenuhi semua kewajibanku.
Seperti kata pepatah. Kasur, sumur dan dapur. Semuanya aku lakukan, walau ada asisten rumah tangga yang membantu. Aku merasa bosan saja jika hanya diam diri di rumah tanpa melakukan apa pun.
Sejak putra kami lahir aku berhenti bekerja hingga kini. Mas Dika melarang ku untuk kembali bekerja, alasannya agar aku bisa tetap fokus mengurus keluarga. Ia juga tak mengizinkan aku pergi tanpa seizinnya. Walau pun tampak over protective. Namun Mas Dika begitu menyayangiku. Aku yakin itu.
"Biarkan saja, masih umur 8 tahun juga. Biarkan dia menikmati masa anak-anaknya,"
Aku mengangguk, kami menikmati makan bersama dengan santai. Tak berapa lama pria kecil nan tampan yang kami bicarakan tadi muncul. Dengan stelan baju sekolahnya yang melekat pas di tubuh tingginya itu.
Putraku itu baru berumur 8 tahun, duduk di bangku 2 sekolah dasar. Tapi tubuhnya yang tinggi putih membuat ia tampak seperti anak yang berumur 12 tahun saja.
"Jagoan Papa sudah datang. Sini Nak! Duduk di samping Papa," pinta Mas Dika. Ammar duduk di sebelah Papanya. Bi Susi, pelayan di rumah ini pun meletakkan tas Ammar di dekatku.
Bi Susi yang aku tugaskan untuk membantu putraku menyiapkan keperluan sekolahnya, sedangkan aku menyiapkan sarapan untuk suamiku ini. Ammar tampak cemberut, aku yang melihat wajah cemberut putraku itu pun langsing memilih berpindah di sebelahnya.
Aku tahu Ammar suka kesal saat di bangunkan pagi-pagi.
"Sayang, kok cemberut. Ini Masak makanan kesukaan kamu loh, makan ya nak!" bujukku. Ammar mengangguk saat melirik menu sarapan yang aku buat. Mas Dika mengusap kepala anaknya sayang sebelum akhirnya ia pamit untuk pergi ke kantor.
"Ma, Papa berangkat dulu, ya. Soalnya udah mulai siang." Mas Dika mengecup keningku dan pipi Ammar secara bergantian. Lalu beranjak pergi.
*******
Setelah mengantar Ammar ke sekolah, aku mampir kesebuah moll yang ada di kota ini. Langkah kakiku memasuki sebuah supermarket yang berada di lantai dasar. Banyak bahan makanan serta bumbu-bumbu di dapur yang habis.
Aku sangat menyukai berbelanja di sini, barang-barang di sini juga lengkap. Aku berjalan menyusuri lorong, melihat satu demi satu barang-barang yang terpajang di sana. Kebiasaanku sejak dulu, aku suka sekali berlama lama di dalam ruangan ber-AC di penuhi oleh aneka barang-barang ini.
Walau terkadang aku tak perlu menyusuri setiap lorong, cukup datang ke lorong makanan yang aku butuhkan saja. Namun aku merasa senang saja cuci mata dengan hanya melihat barang-barang baru yang terpajang di sana. Jika menarik di mata dan sekiranya aku butuh maka aku akan membelinya, jika tidak aku hanya akan melewatinya saja.
Hidup sebagai beban suami membuatku harus berhati-hati dalam mengelola keuangan. Walau sebenarnya, suamiku itu cukup memberikanku nafkah setiap bulannya. Bahkan cukup jika aku pakai untuk bersenang-senang serta hangout bareng dengan para sahabatku.
Tanpa terasa troliku yang aku dorong sudah hampir penuh dengan banyaknya belanjaan. Dari buah-buahan, sayur mayur, serta protein sudah aku beli. Cemilan untuk Ammar dan beberapa pernak-pernik dapur yang aku suka dan memang aku butuhkan pun juga sudah aku beli.
Aku memutari satu lorong terakhir sebelum aku kembali ke kasir untuk membayar semua belanjaan yang telah aku ambil ini. Saat tiba di lorong berisi deretan susu formula, mataku terbelalak melihat seseorang yang sangat aku kenal. Tubuhnya yang mungil membuat ia cukup kewalahan menjangkau rak yang paling atas.
"Ayu?! Untuk apa dia membeli kotak susu untuk bayi?" tanyaku seakan tak percaya. Mataku beralih pada troli yang ia bawa, membuatku lebih kaget lagi. Semua yang ada di dalamnya adalah perlengkapan dan kebutuhan bayi. Dari pempers, dan beberapa makanan pendamping ASI instans serta sereal.
Dahiku berkerut melihat semua itu. Pasalnya Ayu adikku itu belum menikah. Jadi jangankan punya bayi, punya suami saja tidak. Lalu untuk siapa semua barang-batang yang ia beli itu. Sedangkan setahu aku, ia tak memiliki saudara yang sedang memilki bayi.
Ayu berumur lebih muda lima tahun dariku. Di usianya yang sudah menginjak 27 tahun ini. Ia belum juga menikah atau pun memiliki kekasih. Itu yang aku ketahui selama ini. Mama Astrid, ibu kandung Ayu juga agak tertutup dengan kehidupan pribadi putrinya ini.
Baru saja aku ingin mendorong troliku untuk mendekat. Sebuah tepukan di bahu membuatku terkejut. Aku menoleh ke belakang.
"Maaf Mbak, ini kotak sereal anda jatuh," ujarnya sambil menyerahkan kotak sereal Koko crancy padaku. Aku mengucapkan terima kasih.
Saat aku kembali menoleh, aku kembali terkejut. Orang yang berada di hadapanku saat ini berubah. Bukan lagi Ayu. Aku mendekat dan memperhatikan troli yang ia bawa. Sama seperti troli yang aku lihat tadi. Tapi kenapa orangnya berbeda. Rasa-rasanya aku tak mungkin salah lihat.
"Mbak maaf, apa Mbak tadi melihat seorang wanita mungil di sini. Dia pakai dres bunga-bunga selutut?" tanyaku. Orang itu tampak bingung.
"Sepertinya nggak ada orang yang pakai baju itu deh, Mbak. Dari tadi tu curam ada saya di sini. Mungkin Mbak salah lihat kali," jelasnya. Semakin membuatku bingung.
"Mungkin. Maaf ya Mbak," ucapku. Wanita itu mengangguk. Ia mendorong trolinya, pergi menuju kasir. Aku memijit pelipisku pelan, masa ia aku salah lihat. Padahal tadi jelas banget kalau tadi itu Ayu.
Apa karena aku kurang istirahat tadi malam, ya? Makanya penglihatanku sedikit bermasalah hari ini.
