Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Beban Hidup

"Alan sudah bosan denganmu, karena itu ia mencari kehangatan bersamaku. Katanya aku lebih hot daripada kamu," sahut Firda. Ia sengaja tidak membahas tentang suaminya. Ia ingin membuat mental Aira jatuh.

"O ya? Alan itu hanya ingin mencari sensasi lain. Denganmu ia melakukannya hanya nafsu belaka, tapi denganku melakukannya penuh cinta. Karena aku sah dimata hukum agama dan negara. Sedangkan kamu tak ubahnya hanya sebagai terminal saja. Jangan-jangan kamu melakukannya tidak hanya dengan Alan dan suamimu. Tapi dengan banyak laki-laki. Atau kamu open BO?" Aira membalas kata-kata Firda dengan penuh percaya diri. Ia tidak mau terlihat lemah.

"Firda, aku ingatkan kamu. Kalau kamu masih menghubungi Alan, aku tidak segan-segan akan menyebar foto-foto seksimu. Bagaimana reaksi suami dan orang tuamu ketika melihat itu. Bukankah kamu dulu tidak disetujui menikah dengan Alan? Pasti orang tuamu bisa marah besar, atau mungkin jantungan dan stroke!" Aira semakin berani menantang Firda, ia sudah merasa diatas dan waktunya membuat mental Firda jatuh.

Firda yang sangat kesal segera memutuskan panggilan itu. Aira tersenyum puas, walaupun dalam hati ia menangis sedih. Sakit di perutnya tidak sebanding dengan sakit yang ada dihatinya. Ia pun berusaha menahan air mata supaya tidak jatuh.

Aira membuka ponsel Alan, membuka galeri dan mencari-cari foto Alan dan Firda. Ia sangat syok melihat foto-foto itu, ternyata foto mesra mereka berdua cukup banyak. Tak lupa Aira mengirim foto-foto itu, juga rekaman pembicaraannya dengan Firda tadi ke ponselnya. Ia akan menggunakan itu semua sebagai bukti, jika nanti diperlukan.

Pintu kamar terbuka, seorang petugas rumah sakit membawakan makanan untuk Aira dan Kenzo. Aira segera menghapus air mata yang sudah terlanjur turun ke pipinya. Kemudian beranjak dari tempat tidurnya, ia hendak menyuapi Kenzo.

"Biar aku saja yang menyuapi Kenzo," kata Alan, ketika petugas itu sudah keluar dari kamar Aira dan Kenzo di rawat.

"Memangnya kamu bisa? Bukankah selama ini kamu tidak mau membantu hal-hal kecil seperti ini? Kamu terlalu sibuk dengan selingkuhanmu!" sindir Aira.

"Maafkan aku. Mungkin selama ini kurang perhatian kepada kalian. Aku mohon, kamu jangan beranjak dari tempat tidur. Istirahat saja supaya cepat sembuh." Alan menatap Aira dengan penuh rasa bersalah.

"Biar kamu bisa bebas pergi kemana-mana? Janjian dengan Firda, ya kan?"

"Sayang, aku mohon! Jangan menyakiti dirimu sendiri. Kamu belum sehat, istirahatlah. Kamu harus sehat, demi aku dan Kenzo."

"Apakah kamu juga menyebut sayang pada Firda?"

Alan terdiam, Aira pun menyuapi Kenzo.

"Makan dulu, Sayang. Biar cepat sembuh, nanti kita jalan-jalan lagi," bujuk Aira. Kenzo pun mau membuka mulutnya menerima suapan demi suapan dari ibunda tercinta.

Selesai menyuapi Kenzo, Aira pun makan. Ia butuh tenaga untuk menghadapi kenyataan pahit dalam hidupnya. Dengan perlahan ia mulai makan, walaupun rasanya tidak enak, ia tetap makan. Ia tidak mau terlihat seperti pesakitan di depan Alan. Ia ingin Alan melihatnya sebagai wanita kuat dan tegar.

Terdengar ponsel Alan berdering setelah Aira selesai makan. Ponsel itu masih ada di tempat tidur Aira. Alan tidak berani mengambil ponselnya. Dering ponsel masih saja terdengar, Aira melirik ke arah layar ponsel itu.

"Angkat panggilan itu, loudspeaker! Jangan bilang kalau aku dan Kenzo ada di rumah sakit!" teriak Aira.

Alan menghela napas dan menuruti perintah istrinya. Dalam situasi seperti ini, ia tak mau memperdebatkan apapun dengannya.

"Halo?" sapa Alan.

"Mas, jadi kan mau beliin aku iPhone terbaru? Teman-temanku sudah punya iPhone semua," rengek seseorang di seberang sana.

Alan menatap Aira, Aira memalingkan wajah ke arah lain. Rahangnya tampak mengeras menahan kesal.

"Nggak bisa, Tris. Mas Alan sedang banyak pengeluaran."

"Pasti Mas takut dengan Mbak Aira kan? Mas tuh laki-laki, ngapain takut dengan Mbak Aira. Lagipula itu kan uangnya Mas Alan, bukan Mbak Aira. Kalau nggak mau beliin, nanti aku bilangin sama Mama."

"Bilang saja, nggak apa-apa! Mas memang benar-benar sedang banyak pengeluaran." Alan berusaha menjelaskan pada perempuan itu.

"Kok Mas jadi pelit sekarang? Nggak kayak dulu sebelum menikah." Suara Trisa terdengar sangat kesal.

"Trisa, Mas punya keluarga yang menjadi tanggung jawab Mas. Tidak bisa seenaknya saja mengeluarkan uang untuk hal-hal yang tidak penting! Kenapa kamu nggak minta sama Papa?”

"Tidak penting? Mas, teman-temanku sudah pakai iPhone semua. Aku bakal malu kalau satu-satunya yang pakai HP jadul. Nanti mereka tidak mau berteman denganku."

"Cari teman lain!" sahut Alan dengan cepat.

"Enak saja Mas ngomong kayak gitu. Makanya Mas, suruh Mbak Aira kerja, biar beban hidup Mas tidak terlalu berat. Coba Mas dulu menikah dengan Mbak Firda, pasti hidup Mas Alan enak."

Telinga Aira terasa panas mendengar kata-kata Trisa. Wajahnya menegang, tangannya mengepal.Ia masih berusaha untuk menahan emosi. Alan memiliki dua adik perempuan. Dwita yang sudah bekerja, sebentar lagi mau lamaran. Sedangkan Trisa masih kuliah, memiliki gaya hidup yang sok kaya.

"Sudah selesai ceramahnya?" Alan pun mengakhiri panggilan itu, tanpa menunggu jawaban dari Trisa dan meletakkan ponselnya di depan Aira.

Aira masih diam saja, tidak berkomentar apapun. Ia mendekati Kenzo yang sudah tidur, karena pengaruh obat.

"Sayang, ternyata kita ini jadi beban hidup ayahmu ya? Semoga Ibu cepat sehat, jadi nanti Ibu bisa bekerja lagi," kata Aira sambil mengelus kepala Kenzo.

"Nggak usah didengarkan omongan Trisa tadi. Dia kalau ngomong memang nggak pakai mikir dulu."

"Tenang saja, Mas. Setelah aku sehat, aku akan berusaha keras mencari tambahan uang. Biar beban hidupmu berkurang." Suara Aira terdengar datar, tapi sarat emosi.

"Aku yang berkewajiban mencari nafkah, bukan kamu." Alan mendekati Aira dan memegang pundak Aira.

Tak lama kemudian, ponsel Alan berdering lagi. Alan hanya terdiam, ia menunggu perintah dari Aira.

"Loudspeaker!" seru Aira.

Lagi-lagi Alan tunduk dengan perintah Aira. Alan mengangkat panggilan itu. Kali ini, suara ibunya, Dewi, terdengar memenuhi ruangan.

"Alan, kenapa kamu nggak menuruti keinginan Trisa? Kasihan, hanya dia sendiri yang tidak punya iPhone." Terdengar suara dengan nada tinggi ketika Alan menerima panggilan itu.

"Ma, ponsel Trisa kan belum lama beli. Masih bisa digunakan. Lagipula nggak mesti punya iPhone, kan?"

"Dia itu adikmu, tanggung jawabmu. Apa salahnya kamu menuruti permintaannya. Darah itu lebih kental daripada air. Jangan hanya Aira saja yang selalu kamu turuti keinginannya."

Alan mengepalkan tangannya.

"Permintaan Trisa lama-lama semakin aneh dan tambah ngelunjak. Sekarang iPhone, bentar lagi apa? Mobil? Apartemen?" Alan mulai kesal dengan mamanya.

"Kok kamu jadi berubah begini? Biasanya apapun permintaan Trisa dan Dwita selalu kamu turuti. Apa karena Aira?" Suara Dewi juga terdengar mulai emosi.

"Bukan, Ma. Keinginanku sendiri. Aku sudah punya keluarga, tanggung jawabku semakin besar. Kalau untuk biaya kuliah, aku masih bisa membantu. Tapi kalau sekedar iPhone, aku nggak bisa." Alan sudah merasa capek, capek memberi pengertian pada ibunya.

"Kamu jangan durhaka sama Mama ya? Apa perlu Mama menelpon Aira supaya mengizinkan kamu membelikan iPhone?"

"Nggak perlu, Ma. Karena jawaban Aira pun sama dengan jawabanku."

Tut….Tut…! Panggilan itu pun diakhiri oleh Dewi, mamanya Alan dengan emosi. Alan menarik nafas panjang, meletakkan lagi ponselnya di tempat semula.

Aira tetap diam, namun tatapannya kali ini lebih dalam. Ada sesuatu yang perlahan mengendap di dalam hatinya—kesadaran bahwa mungkin, sudah saatnya ia kembali berdiri di atas kakinya sendiri.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel