Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 1. Menggoda Raja

"Hei dasar cewek urakan, siapa suruh kamu memetik bunga disini"

"Memangnya kamu siapa?"

"Aku dayang dayang istana, mengapa kamu ada disekitaran istana?"

"Heh, ini istana bukan milik nenek moyang kamu. Bahkan bapakku juga ada disana. Kamu bisa dipancung oleh bapakku kalau aku bilang"

"Memang siapa bapak kamu, lagian kamu berpakaian terbuka begitu, sengaja ingin cari perhatian raja?"

"Saya berpakaian begini suka suka saya. Toh saya tidak minta pakaian dari anda huh"

Sebuah tusuk konde dilemparkan oleh Qi Lin pada Ang Mei, dayang dayang istana. Dia memang dayang dayang yang juga suka mengambilkan bunga Bizantium. Yang juga disukai permaisuri. Terutama untuk mandinya.

***

Sementara itu di kerajaan sebelah

"Dengan senang hati akan saya sampaikan kabar itu," kata Sukekuro, "dan Anda boleh yakin bahwa hanya Hyogo yang akan mendengarnya."

"Oh, saya yakin tentang hal itu," kata pendeta tua itu. "Hanya saja saya ingin mengingatkan Hyogo sendiri."

Kemudian Inshun mengulangi gunjingan yang telah didengarnya, tentang seorang samurai dari Benteng Ueno di Provinsi Iga. Garis batas antara Koyagyu dan benteng itu berupa daerah yang jarang penduduknya, sekitar tiga kilometer ke timur. Semenjak Ieyasu menyitanya dari daimyo Kristen, Tsutsui Sadatsugu, dan menyerahkannya kepada Todo Takatora, banyak perubahan telah terjadi. Semenjak Takatora menetap setahun sebelumnya, ia telah memperbaiki benteng, meninjau kembali sistem pajak, memperbaiki irigasi, dan mengambil langkah-langkah lain untuk mengokohkan investasinya. Semua itu sudah menjadi rahasia umum. Tapi, menurut pendengaran Inshun, Takatora saat ini sedang mencoba meluaskan wilayah tanahnya dengan mendesak garis perbatasan.

Menurut laporan, Takatora mengirimkan sejumlah samurai ke Tsukigase, dan di sana mereka membangun rumah-rumah, menebangi pohon prem, mencegat orang-orang jalan, dan terang-terangan melanggar hak milik Yang Dipertuan Yagyu.

"Kemungkinan," kata Inshun, "Yang Dipertuan Takatora sedang mengambil keuntungan dari masa perkabungan Anda. Anda boleh saja menilai saya terlalu pencemas, tapi kelihatannya dia punya rencana menggeser perbatasan ke arah sini, dan membuat pagar baru. Kalau memang benar demikian, akan jauh lebih mudah menangani hal-hal ini sekarang, daripada sesudah dia selesai melakukannya nanti. Saya kuatir kalau Anda hanya santai saja dan tidak melakukan sesuatu, nanti Anda menyesal."

Sebagai salah seorang abdi senior, Sukekuro mengucapkan terima kasih pada Inshun atas berita itu. "Akan saya suruh orang menyelidiki keadaan itu, dan kalau perlu nanti akan saya kirimkan keluhan." Sebagai tanda terima kasih atas nama Hyogo, Sukekuro pun membungkuk ketika kepala biara itu pulang.

Sukekuro pergi menyampaikan informasi tentang gunjingan itu pada Hyogo, tapi Hyogo hanya tertawa. "Biar saja," katanya. "Kalau nanti pamanku kembali, dia dapat mengurusnya."

Sukekuro mengerti pentingnya mengawal setiap jengkal tanah, karena itu ia tidak puas benar dengan sikap Hyogo. Ia berunding dengan para samurai tinggi lainnya, dan bersama-sama mereka menyimpulkan bahwa sekalipun memang dibutuhkan kebijaksanaan, tetap harus diambil suatu tindakan. Todo Takatora adalah salah seorang daimyo paling kuat di negeri itu.

Pagi harinya, sesudah berlatih pedang, Sukekuro meninggalkan dojo di atas Shinkagedo dan bertemu dengan seorang anak lelaki umur tiga belas atau empat belas tahun.

Anak itu membungkuk kepadanya, dan Sukekuro berkata gembira, "Halo, Ushinosuke, melongok dojo lagi? Bawa hadiah buatku, ya? Coba lihat... oh, kentang liar?" Ia sebetulnya hanya setengah menggoda, karena kentang Ushinosuke selalu lebih bagus daripada kentang orang lain. Anak itu tinggal bersama ibunya di kampung terpencil Araki di gunung, dan sering datang ke benteng untuk menjual arang, daging babi hutan, dan barang-barang lain.

"Tak ada kentang hari ini, tapi saya bawa ini buat Otsu." Anak itu mengangkat kotak berselubung jerami yang dibawanya.

"Bawa apa sekarang-kelembak?"

"Bukan, ini barang hidup! Di Tsukigase kadang-kadang saya dengar burung bulbul menyanyi. Dan ini saya tangkap satu!"

"Hmm, jadi kau selalu lewat Tsukigase, ya?"

"Betul. Itu jalan satu-satunya."

"Aku mau tanya sekarang. Apa kau melihat banyak samurai akhir-akhir ini?"

"Ada beberapa."

"Apa kerja mereka di sana?"

"Membangun pondok-pondok."

"Apa kau melihat mereka mendirikan pagar atau semacam itu?"

"Ya, di samping pondok, mereka memasang beberapa jembatan, jadi mereka menebang segala macam pohon. Untuk kayu bakar juga."

"Apa mereka menghentikan orang-orang di jalan?"

"Saya kira tidak. Saya tidak melihatnya."

Sukekuro menggelengkan kepala. "Kudengar samurai-samurai itu dari perdikan Yang Dipertuan Todo, tapi aku tidak tahu apa kerja mereka di Tsukigase. Apa kata orang-orang di kampungmu?"

"Orang bilang, mereka itu ronin yang terusir dari Nara dan Uji. Mereka tak punya tempat tinggal, karena itu mereka pergi ke pegunungan."

Sekalipun sudah mendengar keterangan dari Inshun, Sukekuro merasa penjelasan ini bukan tak beralasan. Okubo Nagayasu, hakim dari Nara, tak henti-hentinya berusaha agar daerah hukumnya bebas dari ronin miskin.

"Di mana Otsu?" tanya Ushinosuke. "Saya ingin menyampaikan hadiah untuknya." Ia memang selalu ingin bertemu Otsu, bukan hanya karena Otsu selalu memberikan gula-gula dan mengatakan yang baik-baik kepadanya, tapi karena dalam kecantikan Otsu ia merasa ada sesuatu yang bersifat gaib, yang bukan berasal dari dunia ini. Kadang-kadang ia tak mampu menentukan, apakah Otsu itu manusia atau dewi.

"Barangkali dia di benteng," kata Sukekuro. Kemudian, sambil memandang ke kebun, katanya, "Oh, kau beruntung rupanya. Apa bukan dia yang di sana itu?"

"Otsu!" seru Ushinosuke keras.

Otsu menoleh dan tersenyum. Ushinosuke pun berlari terengah-engah ke sisi Otsu dan mengangkat kotaknya.

"Lihat! Saya tangkap burung bulbul. Buat Kakak."

"Burung bulbul?" Otsu mengerutkan kening, tangannya tetap di samping.

Ushinosuke tampak kecewa. "Suaranya bagus!" katanya. "Tak ingin Kakak mendengar?"

"Aku mau, tapi hanya kalau dia bebas terbang ke mana dia suka. Baru dia akan menyanyikan lagu-lagu yang bagus buat kita."

"Kakak benar," kata Ushinosuke, sedikit cemberut. "Apa mesti saya lepaskan kembali?"

"Kuhargai maksudmu memberi hadiah, tapi... ya, aku lebih senang kalau burung itu dilepaskan daripada dikurung."

***

Watanabe seperti biasa dihari berikutnya ia menjadi teringat dengan kejadian kemaren. Saat bertemu Qi Lin. Dan tumbenan ia tidak menemukan Qi Lin.

"Huh mengapa aku cari wanita itu," ujar Watanabe dalam hati. Sambil mengintip di lokasi yang biasanya Qi Lin kunjungi

"Hayoooo kamu cari aku ya" goda Qi Lin

"Ah kamu ge er, masa raja setampan aku menunggu kamu"

"Ah gak usah malu malu, aku tahu selera kamu"

"Apa kamu bilang kamu ke seorang Raja?"

"Memangnya harus gimana nunduk nunduk begitu"

"Dasar... kalau aku mau, aku akan suruh pengawal istana untuk tangkap kamu karena kurang ajar sama Raja"

Sekarang tusuk konde itu dilempar lagi Qi Lin kepada sang Raja. Membuat Watanabe tidak bisa bergerak.

"Hahaha ... mau apa sekarang. Tidak ada satu orangpun mengira kamu dalam keadaan kepayahan. Lihat semua pengawal kamu cuek saja... mereka mengira kamu lagi menggodaiku, makanya mereka membiarkan kamu mematung seperti itu haha"

Sungguh totokan tusuk konde itu membuat saraf saraf sang Raja mengalami gangguan. Dan sang Raja gak bisa bergerak hanya bisa mengedipkan mata saja.

"Gini ... kalau keadaan begini berlangsung selama 15 menit saja, maka otak kamu akan kehilangan darah banyak. Dan akan rusak, sedangkan tidak ada satupun pengawal kamu ada disini. Mereka berjarak 50 meter disana. Dan mereka tidak tahu kalau kamu dalam keadaan sekarat. Sekarang ikut aturanku. Kamu masih bisa mengedipkan mata kamu sekali artinya setuju. Kalau 2 kali artinya kamu tidak setuju. Paham? jika paham kamu kedipkan sekali, jika tidak paham maka kamu kedipkan 2 kali"

Watanabe mau tidak mau mengikuti permainan Qi Lin.

Ia memejamkan mata sekali tanda paham.

"Bagus ... sekarang aturan kedua, ingat kamu jangan memperlama keadaan. Karena kamu bisa mati berdiri. Jadi kamu harus menikahi aku dan menjadikan aku selir ... oke"

Watanabe melotot. Ia tak mau gegabah. Ia mengedipkan mata 2 kali tanda tidak setuju.

"Ya sudah kalau kamu tidak setuju. Maka aku tidak bisa melepaskan kamu dari jeratan maut ini. Aku sih tidak rugi. Kamu akan mati"

Watanabe melotot. Ia tak bisa bergerak. Maka ia pun menyerah. Ia mengedipkan matanya sekali.

"Bagus"

"Aturan berikutnya ... kamu harus menyetujui semua perintahku dan apa yang aku inginkan. Dan tidak boleh melakukan apapun untuk melukaiku. Paham"

Watanabe sudah tidak tahan lagi. Darah keotaknya mulai sedikit. Dan ia merasa pusing. Lalu ia mengedipkan mata sekali tanda setuju.

"Kamu harus jawab dengan cepat, nanti darah keotak kamu semakin sedikit. Makanya jangan banyak berpikir, yang ketiga adalah kamu harus menikahiku minggu depan"

Watanabe merasa hopeless. Ia tahu pasti itu akan susah. Karena ia juga sedikit takut dengan kemarahan permaisuri. Ia diam saja.

"Jadi kamu diam saja. Kamu mau mati saja?. Dasar raja tak berguna. Masa begitu saja kalah sama permaisuri kamu. Ingat aku bisa menguasai Permaisuri kamu. Kamu tinggal mengikuti kemauanku, maka kamu aman aman saja. Daripada kamu mati berdiri sekarang hah"

Mau tidak mau Watanabe mengedipkan matanya tanda setuju.

"Okay aku lepaskan sekarang. Ingat kamu jangan mengadu pada siapapun. Ini diantara kita saja."

Sengaja Qi Lin mempermainkan Watanabe dan mengulur ulur waktu agar Watanabe suatu saat tidak main main dengannya.

Wajah Watanabe mulai pucat pasi. Kekurangan darah. Qi Lin hanya tersenyum dan ia melemparkan tusuk konde lain untuk membuka qi watanabe.

Watanabepun menarik nafas dalam dalam. Ia tersungkur. Tapi ia segera. Bangkit setelah diberi isyarat oleh Qi Lin.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel