6. Belum Jauh Tapi Merasa Tercekik.
Malam hari, kediaman Kaisar Lin Yi.
Langit Luoyang malam itu tampak pucat. Awan tipis menggantung di langit seperti selubung mimpi yang enggan pecah. Di dalam ruang pribadinya, Lin Yi duduk sendirian, mengenakan jubah tidur bersulam awan naga. Cahaya lentera di dekatnya bergetar pelan oleh angin yang menyusup dari celah pintu.
Di hadapannya tergeletak sepasang anting giok putih, masih terbungkus kain merah yang dia titipkan lewat kasim paling setianya malam tadi. Dia memandang benda itu lama. Tak ada senyum. Tak ada geram.
Hanya sunyi.
"Dia tidak mengambilnya?" tanya Lin Yi akhirnya, pelan.
Kasim kepala menunduk dalam-dalam. "Maafkan hamba, Yang Mulia... selir itu hanya menatapnya lama, lalu meletakkannya kembali di ambang jendela. Dia bahkan tidak menyuruh siapa pun mengambilnya."
Lin Yi tak menjawab.
Keheningan yang tercipta lebih menusuk dari amarah.
Di meja samping, tumpukan dokumen negara belum disentuh. Bahkan laporan dari perbatasan barat yang biasanya membuatnya waspada, kini terabaikan. Karena pikiran sang Kaisar… terperangkap pada satu nama:
Chun Mei.
"Aku sudah melihat banyak wajah wanita," batinnya, "tapi belum pernah ada yang lari dariku... dengan ketakutan seperti itu. Bukan benci. Bukan malu. Tapi... benar-benar takut."
Tangan Lin Yi mengepal. Bukan karena marah padanya, tapi marah pada dinding tak terlihat yang dipasang Chun Mei di antara mereka.
“Apa aku setakut itu di matanya?”
Dia adalah Kaisar. Setiap langkahnya disembah. Setiap tatapan mata orang lain padanya, penuh harap, penuh bujuk, atau penuh pura-pura. Tapi Chun Mei…
“...dia bahkan tidak ingin dilihat olehku.”
Dari laporan kasim istana, Lin Yi tahu, Chun Mei kini menghindari keluar rumah lebih dari sepuluh menit. Tidak pernah ikut kegiatan istana.
Chun Mei sedang bersembunyi dari dirinya!
Dia berdiri, berjalan pelan menuju jendela. Memandang gelap malam yang dingin dan asing. Di balik bayang-bayang pohon cemara jauh di sana, dia tahu... ada satu paviliun yang terang hanya oleh lentera kecil—Paviliun Qingxin.
“Apa dia pikir aku akan menyakitinya?”
Kening Lin Yi mengerut. Dendam tak terlintas di benaknya. Tidak juga nafsu. Yang ada hanya rasa ingin tahu yang berubah menjadi obsesi diam.
Di bawah rasa itu, perlahan tumbuh perasaan yang jauh lebih sulit dimengerti…
Kekaguman.
Kekaguman pada wanita yang tidak meminta apa-apa.
Tiba-tiba, dia teringat percakapan dengan Jenderal Shang Que dua hari lalu, saat mereka duduk minum arak di Balai Angin Musim Gugur.
“Hati-hati, Yang Mulia. Rasa penasaran seperti itu... bisa berubah jadi luka.”
“Apa maksudmu, Shang Que?”
“Perempuan yang tak meminta apa-apa... biasanya punya alasan yang sangat besar untuk tidak meminta.”
Lin Yi memejamkan mata, lalu membuka kembali. Matanya tenang—tapi di dalamnya bergolak keputusan.
“Jika dia menolak hadiahku... maka lain kali aku akan datang sendiri.”
Karena baginya, Chun Mei bukan sekadar selir. Bukan sekadar hiburan istana.
Dia adalah misteri terakhir yang belum bisa ditaklukkan. Sementara Kaisar Lin Yi, penguasa seluruh negeri, tidak terbiasa dibiarkan bertanya-tanya.
***
Desas-desus adalah mata uang utama di dalam istana harem. Lebih tajam dari pedang, lebih cepat dari burung merpati, dan lebih mematikan dari racun teh malam.
Dan pagi itu, kabar itu meledak seperti petir di langit cerah.
“Yang Mulia Kaisar… mengirim hadiah kepada Chun Mei dari Paviliun Qingxin.”
Awalnya hanya bisik-bisik di antara para dayang istana bagian dapur. Lalu kasim rendah ikut menambah bumbu. Dalam waktu dua jam, kabar itu sudah mencapai meja makan pagi milik para selir utama.
Di Paviliun Musim Panas, milik Selir Mu Fei.
“Chun Mei?” ulangnya sambil mengangkat alis. “Yang dulu tidak pernah tampil di festival? Yang bahkan tak ikut upacara awal tahun itu?”
“Benar, Nyonya,” jawab pelayannya, nyaris berbisik, "hadiah itu dikirim malam-malam... bukan lewat jalur resmi, tapi langsung melalui kasim kepala Kaisar.”
Cangkir tehnya terhenti di udara. Mata Selir Mu bersinar, bukan dengan kekaguman, tetapi perhitungan.
“Li Muwan kalah cepat... dan Kaisar sedang main rahasia dengan selir rendahan?”
“Siapkan aku satu set kalung mutiara. Kita akan kirim ke Paviliun Qingxin—katakan, sebagai ucapan simpati atas insiden tempo hari. Tapi pastikan, kalung itu... bukan yang paling bagus.”
Pelayannya mengangguk dan berlalu.
Selir Mu Fei tersenyum tipis.
“Aku ingin lihat... seberapa lama dia bisa bertahan di atas lumpur ini.”
Sementara di Paviliun Angin Teratai, milik Selir Zhou
“Apa dia mencuri mantra pemikat?” gerutu Selir Zhou, melemparkan sisir ke lantai.
Dia dikenal sebagai wajah tercantik di istana. Tapi kecantikan itu tak pernah berhasil memikat Kaisar, sampai rela bertindak diam-diam. Seakan khawatir tindakannya bak pedang bermata dua.
“Dan sekarang? Dia malah mengirimi hadiah ke perempuan yang bahkan tak punya lukisan potret di aula utama?”
“Dia pasti menyihir Kaisar,” desisnya pada pelayan pribadinya.
Tapi pelayan itu hanya diam. Karena semua orang tahu, Chun Mei tidak menyihir siapa pun. Dia hanya tidak melakukan apa-apa. Dan justru itu yang membuat para wanita istana, yang seumur hidup berlomba mempercantik diri, mempermanis suara, menulis puisi atau menari, merasa seolah dipermalukan.
Karena satu wanita yang tidak berbuat apa pun... kini jadi pusat perhatian sang Kaisar.
Sedangkan di paviliun Yue, tempat Li Muwan terkurung; menjalani hukuman.
Berbeda dari selir lain yang murka atau penasaran, Li Muwan duduk tenang di balik tirai usang. Jemarinya memainkan giwang baru, bukan yang jatuh kemarin, tapi sepasang giwang giok yang mirip sekali dengan yang dikirim ke Chun Mei.
“Jadi, itu permainanmu, Yang Mulia?” batinnya, "kamu beri giok putih pada perempuan seperti dia... dan merahasiakannya dari seluruh dunia?”
Pelayan pribadinya mengendap-endap masuk, menunduk dalam.
“Nyonya, Selir Chun Mei katanya tidak menyentuh giok itu. Dia hanya melihatnya... lalu menutup jendela.”
Senyum tipis melintas di wajah Li Muwan.
“Ah,” katanya perlahan," jadi dia bukan perempuan bodoh. Tapi dia lupa satu hal.”
“Semakin dia menghindar... semakin dalam Kaisar akan terjerat.”
Dia berdiri. Gaunnya berkibar pelan. Di tangannya, tongkat phoenix bergeser ringan ke ubin hitam.
“Perang belum selesai. Kita lihat... apakah Kaisar benar-benar akan melindunginya, atau sekadar menjadikannya hiburan baru yang bisa dibuang kapan saja.”
Sementara itu, dari balik dinding-dinding istana, tatapan dan bisik-bisik mulai menekan Chun Mei dari segala arah.
Semua mata kini mengarah padanya. Dan sayangnya, tidak semua mata adalah mata yang bersahabat.
