Hujan yang Tidak Pernah Pergi
Langit sore itu mendung seperti hati Amara yang kelabu, berat, dan menunggu tumpah. Ia berdiri di balik jendela kamarnya yang setengah terbuka, menatap titik-titik air yang berjatuhan perlahan, mencium aroma tanah basah yang selalu membuatnya teringat sesuatu… atau seseorang.
Sudah tiga tahun sejak ia meninggalkan rumah itu, dan baru hari ini ia kembali, membawa tubuh yang lebih dewasa, langkah yang lebih pelan, dan luka yang lebih dalam. Tapi hujan masih sama. Selalu datang saat ia tak siap. Membasahi rambut, kenangan, bahkan niatnya untuk melupakan. Ia meraih mug kopi yang kini tinggal setengah, dingin seperti suasana di ruang tamu yang masih penuh dengan perabot lama dan aroma kayu lembap.
Di dapur, suara air mengalir dari keran yang lupa dimatikan. Amara melangkah pelan, menyentuh gagang besi yang dingin, dan menatap bayangannya di cermin kecil dekat rak bumbu. Matanya tak lagi polos. Ada basah di sana—bukan dari hujan, bukan dari air keran, tapi dari ingatan yang menggantung di antara dua musim. Suatu malam, suara pintu kamar yang dibuka pelan, bisikan yang terlalu dekat, dan tangan yang menyentuh bahunya saat ia berpura-pura tidur. Semua itu basah oleh rasa yang tak pernah sempat kering.
“Aku tidak tahu kamu akan kembali,” suara itu datang dari ambang pintu. Dalam temaram cahaya, sosok itu berdiri dengan mantel hujan setengah terbuka. Lelaki yang pernah membuatnya jatuh. Atau mungkin, tenggelam. Dani. Sepupu jauhnya, yang dulu tinggal sementara di rumah itu saat musim kemarau panjang.
“Aku juga tidak tahu kenapa aku kembali,” bisik Amara, lebih kepada dirinya sendiri. Tapi tubuhnya tetap di sana. Basah oleh keraguan, oleh sesuatu yang dulu ia hindari, namun kini ia rindukan. Dani melangkah masuk, aroma tubuhnya masih sama.
Ada jarak tiga tahun yang memisahkan mereka, tapi mata mereka tetap saling membaca bahasa lama yang belum benar-benar usang.
Dani duduk di kursi tua dekat jendela. Ia membuka mantel hujan, memperlihatkan kemeja yang basah menempel di kulit. Otot-ototnya kini lebih terbentuk, namun bukan itu yang membuat Amara menelan ludah pelan. Tapi bekas luka di lehernya sangat tipis, samar, namun masih baru. Luka yang tak pernah ada sebelumnya.
“Kamu sakit?” tanya Amara, berusaha menahan getaran dalam suaranya.
“Tidak. Cuma kenangan yang salah arah,” jawab Dani sambil tersenyum miring.
Kalimat itu membuat dada Amara bergetar. Dulu, Dani tak pernah pandai bicara. Tapi sekarang, kata-katanya seperti hujan itu sendiri, yang jatuh pelan-pelan, lalu meresap sampai ke dalam. Ia duduk di seberang Dani, hanya meja tua yang memisahkan mereka. Tapi rasanya seperti menyeberangi lautan.
"Ibu ku meninggal tiga hari lalu. Tapi aku baru tahu kemarin sore," kata Amara, menunduk." Terimakasih Dani, karena ada kamu, Ibu ku bisa terurus,"
"Tak apa?!"
Amara menggigit bibir. Ada basah di pelupuk matanya, tapi ia tahan. Bukan sekarang. Belum. Ia masih mencoba memahami jika kenapa Dani ada di sana? Kenapa luka itu ada di lehernya? Dan kenapa getaran di dada itu tak pernah benar-benar hilang?
Dani berdiri, berjalan ke dapur, membuka lemari dan mengambil dua cangkir. Gerakannya tenang, seperti dulu saat mereka diam-diam membuat cokelat panas saat malam terlalu sunyi. Ia menyeduh teh, tanpa perlu bertanya.
“Kamu masih suka teh melati, kan?”
Amara mengangguk pelan. Dani duduk kembali. Hujan di luar mulai deras. Angin membawa bau tanah dan nostalgia. Mereka diam beberapa saat, lalu Dani berkata, "Kau masih ingat malam terakhir sebelum kau pergi?"
Amara ingin berkata tidak. Tapi kepalanya mengangguk.
Malam itu, mereka basah. Bukan oleh hujan, tapi oleh rahasia. Dani masuk ke kamarnya diam-diam, dengan alasan ingin bicara. Tapi yang terjadi justru lebih banyak diam. Jarak yang terlalu dekat. Napas yang terlalu hangat. Dan tangan yang terlalu lama menempel di lengan. Mereka tak pernah saling menyentuh dengan sengaja, tapi malam itu, dunia terlalu sunyi untuk menolak.
"Aku masih menyalahkan diriku," kata Dani pelan. "Kamu pergi karena aku."
"Aku pergi karena aku takut," jawab Amara, lalu menambahkan, "Tapi sekarang aku lebih takut kalau aku tak pernah kembali."
Dani tertawa pelan. "Jadi sekarang kita basah lagi. Tapi bukan oleh dosa."
Amara menatapnya, mencoba mencari makna dalam kalimat itu. Tapi sebelum ia bisa menanyakan lebih lanjut, Dani berdiri dan mengeluarkan sesuatu dari mantel yang tadi digantung. Sebuah amplop lusuh. Ia meletakkannya di meja.
“Itu dari Ibu. Ia meninggalkannya untukmu, entah apa isi nya?"
Amara membuka amplop itu pelan. Ada selembar surat, tulisan tangan ibunya yang khas. Tapi yang membuatnya tercekat adalah satu kalimat terakhir:
"Basah bukan selalu tentang hujan, Kadang ia tentang sesuatu yang ingin disimpan, tapi tak bisa."
Tangan Amara gemetar. Ia menatap Dani. "Apa maksudnya ini?"
Dani menghela napas, lalu membuka kancing kemejanya pelan-pelan. Di balik dadanya, ada bekas luka lain, memanjang seperti bekas operasi.
"Karena ibumu menyelamatkanku. Ia tahu apa yang terjadi malam itu. Ia tahu aku terluka, lebih dari sekadar tubuh. Dan dia... menyuruhku pergi, tapi juga menyuruhku kembali saat kamu sudah siap."
Amara menutup mulutnya. Dunia terasa hening. Hujan makin deras, seperti mengguyur semua hal yang tak sempat mereka katakan.
"Kau tak harus maafkan aku sekarang, Mar. Tapi jika kita basah bersama kali ini, setidaknya bukan karena rahasia. Tapi karena kebenaran."
Amara bangkit, melangkah pelan, dan duduk di samping Dani. Mereka diam. Tapi diam itu bukan lagi karena takut, melainkan karena mengerti. Dalam hening yang basah itu, mereka tak saling menyentuh, tapi sesuatu dalam diri mereka akhirnya saling mengeringkan, dan hujan, untuk pertama kalinya, terasa hangat.
Dani masih menatap tubuh Amara yang masih bersandar di ambang pintu, rambutnya basah menempel di pipi, dan sisa embun hujan turun perlahan dari ujung bajunya ke lantai kayu yang mulai dingin. Namun bukan itu yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
Melainkan amplop lusuh yang dijatuhkan Amara barusan yang kini terbuka sedikit, cukup untuk memperlihatkan sudut foto lama... dan sebuah cincin.
“Ini bukan tentang malam ini, Dan,” bisik Amara, suaranya sedikit lemah.
Lampu dapur tiba-tiba padam. Hanya suara hujan, dan detak jantung yang menggema.
Dani memungut amplop itu dengan tangan bergetar. Di balik foto itu, ada tulisan yang nyaris pudar.
Amarah dengan cepat memeluk Dani," Aku kedinginan, bisakah kamu memeluk ku sebentar,"
Ia menengadah, menatap Dani. Lalu, menoleh ke kanan kiri. Pria muda itu bergegas memberi kode agar tidak bersuara.
"Ssst!"
Jari telunjuk ia letakkan di bibirnya lalu, tersenyum. Amara juga membalas tersenyum. Namun, kedua tangan yang memegang pinggul Dani, malah meremas-remas. Ada sensasi di tengah rasa takut ketahuan yang membuat batang kejantanan miliknya semakin mengeras.
Amara kemudian berpindah dan berbaring sambil menarik pinggulnya ke bawah. Celana dalam yang masih menutupi selangkangannya, Dani tarik dengan dua tangan. Ia membantu dengan mengangkat pinggul.
Ough ...
Wajah liar Dani tampak sumringah, ia tertegun melihat gundukan di antara selangkangan yang putih bersih itu.
"Ini yang ku nanti Amara,"
**
