Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 3: Ketegangan di Malam Tahun Baru

Meera meletakkan ponselnya di atas kasur setelah menerima panggilan aneh dari nomor tak dikenal. Dia mendesah pelan, kesal karena tak tahu siapa yang menelepon. Tepat pada saat itu, terdengar ketukan pintu, diikuti oleh kemunculan kakaknya yang tiba-tiba.

“Ada apa?” tanyanya, berjalan mendekati Mateo.

"Kau terlihat kesal," Mateo menyimpulkan dari ekspresi wajah sang adik.

Meera melipat tangan di dada, menahan rasa frustrasi yang masih membayang. "Nomor asing meneleponku. Ketika kuangkat, tak ada suara. Lalu, panggilannya tiba-tiba terputus."

"Aku memberi nomormu pada seorang pelanggan wanita. Mungkin dialah orang yang meneleponmu," jawab Mateo.

Mengingat percakapan mereka sebelumnya, Meera langsung menyadari siapa yang mungkin meneleponnya. "Kenapa Kakak tak bilang padaku? Aku sampai penasaran setengah mati."

Mateo menghela napas panjang. Itu adalah sesuatu yang ingin dia sampaikan sejak tadi, tapi pembicaraan mereka terputus ketika Meera pergi. "Sebaiknya kau beristirahat. Besok kita akan sibuk melayani pelanggan. Malam tahun baru selalu ramai, banyak orang keluar untuk makan."

"Padahal hanya satu menu, tapi bisa sangat sibuk?" Meskipun mengeluh, Meera akhirnya mengangguk. "Baiklah. Kakak juga harus istirahat."

Mateo menutup pintu kamar Meera, lalu berjalan menuruni tangga. Dia menuju dapur kembali, mempersiapkan bahan-bahan untuk esok hari. Selama beberapa waktu, dia mencuci bahan, menyiapkan bumbu, dan membersihkan bagian-bagian dapur yang menurutnya perlu diperhatikan.

Jam sudah menunjukkan lewat pukul sepuluh malam, tapi Mateo belum merasa mengantuk. Dia menarik salah satu kursi pelanggan dan duduk di sana. Satu batang rokok dikeluarkannya dari saku, dinyalakan, lalu diisapnya perlahan.

Dalam keheningan malam, pikirannya melayang pada kenangan tentang mendiang ibu mereka. Penyesalan kembali menghantui, membawa bayang-bayang masa lalu yang suram. Dulu, rasa sakit dan derita seolah mencekik setiap detik, tapi waktu telah menelan sebagian dari beban itu. Kini, satu-satunya alasan Mateo terus bertahan adalah Meera. Adiknya masih harus hidup dan menemukan kebahagiaannya.

Mateo tetap duduk diam di meja pelanggan, merenung, sampai asbak di depannya penuh dengan puntung rokok. Tersadar dari lamunannya, dia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul satu lebih. Meskipun masih belum mengantuk, dia memutuskan untuk beristirahat.

***

Keesokan harinya, malam mulai menjelang, sesuai perkiraan Mateo, pelanggan datang silih berganti. Bukan hanya Meera yang tak sempat beristirahat, sang koki pun. Jumlah pelanggan jauh lebih banyak dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Mungkin restoran kecil ini mulai dikenal, meskipun pertumbuhannya lambat.

Meera memperhatikan sekeliling, menyaksikan para pelanggan sibuk menyantap makanan sambil tertawa dan bercengkerama. Di luar, antrean semakin panjang, dan tak ada meja yang kosong. Mereka harus segera menemukan solusi untuk masalah ini.

“Kami ingin membayar!” Teriakan seorang pelanggan menarik perhatian Meera.

Meera segera bergegas ke meja kasir dan menyelesaikan urusan pembayaran. Namun, belum sempat dia beranjak, suara pelanggan lain memanggil.

"Tambahkan nasi untuk kami!" teriak seorang pelanggan sambil mengangkat tangan.

Meera, yang masih sibuk di kasir, segera memberikan uang kembalian dan bergegas ke belakang untuk mengambil nasi. Namun, ketika sampai di dapur, dia tersadar bahwa nasi sudah habis. Sementara itu, Mateo tetap tekun memasak, tak terganggu oleh kebisingan di luar.

“Kakak, bagaimana kalau kita tutup saja restoran ini?” usul Meera dengan nada frustrasi.

Mateo menatapnya heran. "Apa maksudmu? Jangan bicara sembarangan di saat seperti ini. Lebih baik kau melayani pelanggan di luar."

"Di luar sudah kacau karena banyaknya pelanggan. Kalau Kakak tahu akan seramai ini, kenapa tak merekrut pegawai tambahan?"

"Mana nasinya?!" suara pelanggan tadi terdengar lagi, lebih keras.

Meera mendengus, lalu mulai mencuci beras untuk dimasak. Sambil bekerja, dia tetap berbicara, "Aku harus menjalani dua peran sekaligus, sebagai pelayan dan kasir. Kita butuh tambahan tenaga agar pekerjaan lebih efisien. Biar aku yang mengurus kasir."

"Ini bukan waktu yang tepat untuk merekrut. Kita tak bisa gegabah. Ada persyaratan kerja yang harus mereka penuhi. Lagi pula, siapa yang melamar pekerjaan tepat di malam tahun baru? Sudahlah, kalau pelanggan tak sabar, biarkan mereka pergi."

Perkataan Mateo hanya membuat Meera semakin kesal. Baginya, sikap kakaknya yang acuh tak acuh seperti inilah yang membuat usaha mereka sulit berkembang. Meskipun demikian, dia menyelesaikan urusan memasak nasi dengan cepat dan kembali ke kasir.

Alih-alih melayani pelanggan, Meera merobek selembar kertas dan menuliskan sesuatu di sana. Dengan hati-hati, dia menempelkan kertas itu di kaca depan restoran. Jika kakaknya tak mau merekrut pegawai, maka dia sendiri yang akan melakukannya!

Tiba-tiba, seorang pria bertubuh kekar mendekat. "Hei, Gadis Cilik! Aku sudah bilang mau nasi. Apa kau tak mendengarnya? Atau kau pikir aku hanya pajangan di sini?"

"Ma—maaf ...." Meera tergagap, takut dihadapkan dengan pria berpenampilan seperti preman.

“Apakah kalian benar-benar berniat berbisnis?” Pria itu menatapnya dengan tampang mengancam.

Suasana yang sebelumnya riuh mendadak sunyi, semua perhatian tertuju pada mereka yang berdiri di depan pintu. Hanya suara desis minyak dari dapur yang terdengar, jadi Mateo tak menyadari keributan di luar.

"K—kami akan—"

"Hei, Pria Buruk Rupa!" Suara dari belakang memecah ketegangan.

Mata semua orang tertuju pada dua wanita yang tiba-tiba muncul. Salah satu dari mereka berbicara lagi, "Apa kau punya hobi menindas anak kecil?"

“Dua wanita datang untuk ikut campur? Tak takut kalau kami keroyok?” Teman pria itu ikut menantang.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel