Bab 6 Bersamamu Terasa Aneh dan Membahayakan
Maya benar-benar kehilangan akal sehat di bawah pengaruh obat itu. Tak kurang semalaman ia terus berbuat bersama Andrew. Lelaki itu pun begitu perkasa mengikuti ritme Maya yang berada di bawah kendali kimiawi.
Di sela-sela itu Maya sempat jatuh pingsan. Namun, saat sadar kembali, panas tubuh datang menguasainya lagi. Membuat Maya yang malah memohon pada satu-satunya pria yang ada di sampingnya.
Ini bukan soal siapa pria itu. Rasanya, Maya akan memohon pada siapapun asalkan dia lelaki. Karena itu, ketika sadar dari pingsan dan ia menemukan Andrew yang ada di sisinya, Maya bergerak spontan untuk meminta lagi pada pria itu.
Maya baru benar-benar berhenti di bawah pengaruh obat di hari Sabtu siang. Dan ia terkapar tak sadarkan diri lagi. Entah berapa lama Maya pingsan. Saat sadar, ia merasakan seluruh persendian tubuhnya sakit. Maya sampai tidak bisa menutup rapat kedua kakinya karena pedih yang menyiksa. Ia mengerang dan berusaha telentang sampai kemudian sadar karena melihat bayangannya sendiri terpantul di atasnya.
Maya terkesiap. Wajahnya yang pucat balas menatap dari kaca yang tergantung di atas tempat tidur. Matanya berkantung tampak melotot tak percaya. Rambutnya awut-awutan menyebar di atas bantal putih yang menjadi tumpuan kepalanya.
Tetapi yang paling mengejutkan, ia tidur hanya dengan memakai selimut tanpa yang lain di baliknya. Maya mengintip ke dalam selimut, segera menemukan memar di sekujur tubuhnya. Di antara sakit yang ia rasakan, Maya mengeluh panjang. Ia berusaha mulai mengingat apa yang telah terjadi.
Ia ingat rasa sesaat setelah makan siang. Namun, Maya tidak bisa mengetahui apa penyebab ia menjadi gila seperti itu. Ia mengingat perang batinnya kemarin dan berakhir dengan kekalahan saat Maya menyerah total kepada Andrew.
Tanpa terasa air matanya menetes. Ia kembali miring dan memeluk dirinya sendiri, mengabaikan semua sakit yang mendera tubuhnya.
Maya bukan wanita bodoh. Ia tahu dengan pasti apa konsekuensi yang mungkin ia terima akibat perbuatannya semalam. Maya merasa sangat kacau sekarang. Bukan saja kemungkinan kehamilan tak terduga yang menghantuinya. Tetapi juga rasa kotor, berdosa dan ancaman penyakit yang bisa saja menjangkitinya. Dari penyakit yang umum hingga penyakit yang belum ada obatnya.
Maya mengisak sendiri dan mengubur wajahnya pada lengannya.
Tiba-tiba, sesuatu yang hangat menyentuh bahunya. Maya terkesiap dan reflek menepis tangan itu. Ia bergerak menjauh, memeluk selimut menutup rapat seluruh tubuhnya lalu menatap marah ke pria yang baru saja menyentuhnya yang kini duduk di tepi tempat tidur.
“Kamu tidak apa-apa? Mana saja yang sakit?” tanya Andrew lembut.
Maya menatapnya dengan mata marah yang berurai air mata, “Tuan merusak saya.”
Andrew tidak mengelak ataupun mendebat Maya. Ia tetap menatap dengan matanya yang dalam serta misterius. “Kita melakukan sesuai kesepakatan bersama, Nona Maya.”
“Kesepakatan bersama? Saya tidak pernah sepakat memberikan badan saya kepada Tuan! Tuan menjebak Maya!” tuduh Maya.
“Oya, kita bersepakat. Aku tidak menjebakmu. Setelah kamu menerima uang dariku bukankah sudah seharusnya aku mendapatkan yang aku mau,” ujar Andrew tenang.
“Apa? Uang? Uang itu saya pinjam dari Indah!”
Andrew mengendikkan bahu, “Entah kesepakatan apa antara dirimu dan dia. Tetapi, aku memberimu uang untuk penggantikeperawananmu,” kata Andrew lagi.
Maya mengisak makin keras. Kesadaran menghampirinya lebih keras dari sebuah palu menghantam kaca. "Aku... dijual?" pikirnya, kengerian merayapi setiap serat tubuhnya. Hatinya remuk seketika, hancur berkeping-keping. Ia terdiam, terpaku di antara rasa malu, marah, dan tak berdaya yang mengalir dalam darahnya."Aku... tidak lebih dari barang...?" gumamnya dalam hati.
Seperti kabut tebal, realitas mulai mengaburkan semua yang pernah ia anggap benar. Andrew, Indah, bahkan dunia yang ia percayai, kini terasa seperti jebakan yang dirancang untuk menghancurkannya. "Siapa yang harus kupercaya? Indah? Orang yang kupikir sahabatku? Atau pelaku yang merampas kehormatanku?" pikirnya kalut.
Sejenak, bayangan kebersamaan dengan Indah menyeruak dalam pikirannya. Gelak tawa dan percakapan ringan kini hanya terasa palsu. Setiap kenangan baik yang terlintas hanya semakin memperdalam luka.
"Aku ditipu...," batinnya merintih. Seketika itu juga, kebencian dan pengkhianatan menggulung seluruh dirinya. Maya ingin berteriak, tetapi suara itu tertahan di dalam dadanya, karena tubuhnya bahkan tak berdaya untuk mengekspresikan kemarahan yang ia rasakan.
Tetapi, pergolakan lain juga timbul. Ia mengingat sikap-sikapnya kemarin, Maya menjadi malu sendiri. Seolah ia tidak dipaksa, ia meminta semua hal tak termaafkan itu dilakukan kepadanya.
“Kemarilah,” pinta Andrew lembut.
“Tidak!” Maya yang sudah tidak terpengaruh obat, menolak dengan keras. “Bagaimana kalau saya hamil!” desisnya dengan suara bergetar, menyuarakan ketakutan yang berputar-putar di dalam kepalanya.
Andrew menatapnya dengan wajah datar dan mata dingin. “Kau tidak akan hamil. Aku sudah melakukan tindakan yang dirasa perlu untuk menghindari hal tersebut.”
Maya mendecak dan membuang muka. Rasanya ia benci sekali dengan pria ini. Tetapi di saat seperti itupun otaknya membawa ingatan semalam, dirinya mati-matian memohon Andrew untukmenyetubuhinya.
“Apa yang sudah Tuan lakukan pada saya kemarin? Kalau Tuan tidak menjebak saya, tidak mungkin saya berlaku begitu!” desisnya marah dalam uraian air mata. Andrew menghela napas pelan.
“Indah yang memberimu obat. Tujuannya baik, Nona Maya. Agar kamu menikmatinya bersamaku,” jawab Andrew. Maya tertawa sedih. Ia mendongak agar air matanya tidak tertumpah semakin banyak, walau percuma saja. Air mata marah dan penyesalan itu terus bercucuran.
“Kemarilah, Maya.” Andrew mengulang permintaannya dengan nada lebih lembut. Maya bergeming. Lagipula ia tidak bisa bergerak bebas dengan badan sesakit ini.
“Aku sudah memilikimu, Maya. Bagaimanapun caranya, kau milikku sekarang. Semua barang dan identitas pribadimu ada padaku. Aku bisa memakainya untuk tujuan apapun. Aku tidak akan mengembalikan atau membebaskanmu dari sini kalau kamu tidak menurut padaku,” ancam Andrew halus tetapi berbahaya.
Maya menoleh lalu menatap dengan mata basah yang marah ke arah Andrew. Tetapi ia tahu, tidak kuasa untuk melawan. Badannya sekarang terasa luluh lantak. Pertigaannya sakit. Rasanya kedua kaki tidak akan kuat menopang duduknya.
Bahkan saat ia duduk seperti ini, rasa pertigaan tubuhnya berdenyut menyakitkan.
Maya mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Hanya menemukan pakaian dan robekan pakaian dalamnya saja. Ia tidak bisa menemukan tas cangklong miliknya di manapun.
Tas cangklong dan semua isinya pasti disita pria ini. Maya memikirkan itu dan menyadari, Andrew pasti sudah tahu alamat rumahnya. Bagaimana kalau pria ini memberi tahu kedua orang tuanya atas apa yang terjadi kemarin?
Maya merasakan pahit di pangkal lidah yang menekan sampai terasa mencekiknya. Diam-diam, ia menghapus air mata dan membersit ingus ke dalam selimut. Ia tidak mau kelihatan kalah ataupun lemah di depan Andrew sialan ini.
“Maya,” panggil Andrew lembut. Ia menoleh ke arah pria itu. Di balik pandangannya yang kabur karena air mata marah, ia bisa melihat tangan Andrew terulur padanya. Maya tetap diam menatap garang.
Andrew tidak mengulang panggilan untuk kesekian kali, tetapi langsung berdiri menghampiri Maya. Wanita itu bersiap memukul kalau Andrew menyakitinya. Maya memekik kaget ketika Andrew meraup dirinya sekaligus selimut yang dia pakai ke dalam pelukan.
Maya tergeragap, reflek menangkap leher Andrew, memeluk untuk berpegangan karena ia merasa akan jatuh.
“Kalau aku memanggilmu, kamu harus memenuhinya, Maya. Seperti semalam. Kamu memanggilku dan memintaku untuk melayanimu. Aku melakukannya untukmu. Sekarang giliranmu mematuhi semua perintahku. Atau kau akan mendapat konsekuensi yang tidak akan kamu sukai. Paham, Nona?” ucap Andrew dingin.
Maya tidak mampu berontak, karena Andrew berbicara langsung ke telinganya dan suara berat pria itu menghipnotisnya. Maya memejamkan mata karena malu akan tubuhnya yang bereaksi berbeda dengan hatinya.
Ternyata Andrew membawanya ke kamar mandi. Pria itu menurunkan Maya di depan wastafel.
“Buka selimutmu atau perlu aku yang membukanya?”
Maya mengigit bibirnya kuat-kuat. Sesuatu pada suara Andrew terasa menyihir. Hatinya melawan tetapi kedua tangannya bergerak menuruti perintah pria itu. Selimut pun jatuh mengumpul di kaki Maya, mengekspos tubuhnya yang tanpa sehelaibenangpun.
Segera Maya bisa melihat jejak percintaan di tubuhnya pada pantulan di kaca. Memar mungil ada di sana sini. Bagian bawah leher yang paling banyak. Gegara tanda itu, Ia sampai terlupa dengan kondisinya yang polos. Maya memiringkan badan untuk memeriksa punggung. Ia malah menemukan jejak gigi seri di bahunya. Hal yang paling mencolok dari memar yang ada di lengan atas maupun belakang bahu.
Heran dengan kondisi itu ia maju untuk melihat lebih jelas, “Akh! Sssshhhh!”
Pertigaan tubuhnya menyengat kuat hingga kakinya yang akan melangkah seketika oleng. Tak kuat menyanggah badan, Maya jatuh, tetapi tidak ke lantai. Ia jatuh ke pelukan Andrew.
“Hati-hati. Kamu belum bisa berjalan,” bisik pria itu. Dan Maya kembali gemetar karena suaranya.
Andrew memapah Maya dan mendudukkan dia di kloset. Untuk sesaat Maya kebingungan. Lalu mulai sadar akan kondisinya yang tidak sopan. Ia menutupkan lengan ke bagian-bagian tertentu pribadinya.
“Telat, May!” rutuknya dalam hati.
“Cobalah untuk buang air kecil sekarang,” kata Andrew dengan nada lembut yang penuh perhatian. “Aku tahu kamu mungkin merasa tidak nyaman dan sedikit sakit. Itu wajar, efek dari apa yang terjadi kemarin. Tapi penting untuk melakukannya perlahan-lahan. Aku di sini untuk membantumu, jadi jangan khawatir. Rasa sakitnya hanya sebentar dan akan membaik setelah itu.”
“Kenapa Tuan mau mengurusi saya pipis atau tidak!” dengkus Maya sebal dengan tingkah aneh pria di depannya.
“Untuk mencegahmu mengalami infeksi,” jawab Andrew tenang. Maya mendongak cepat dan tanpa sadar mengeluarkan urine yang sedari tadi ditahannya. Ia meringis di pembukaan pertama tetapi selanjutnya, benar seperti kata Andrew.
Maya menggerutu tanpa suara. Tidak paham bagaimana om-om satu ini bisa tahu sedetil itu. Semua itu malah jadi bukti bahwa dia sudah main dengan banyak wanita.
Mendadak Maya terkesiap. Ia sadar satu bahaya berganti-ganti pasangan. Dan kini kepalanya menganalisa hal tersebut sekaligus menggabungkan dengan kalimat Andrew tadi. “Jangan-jangan Tuan memiliki penyakit menularseksual?!” tuduhnya dengan nada marah dan cemas.
Andrew tak kalah terkejut dengan tuduhan dadakan Maya. “Kau salah besar. Aku tidak seceroboh itu. Semua partnerku bersih dan sehat. Sama seperti dirimu. Murni sebelum ku sentuh,” geram Andrew.
Maya merasakan wajahnya memanas karena malu dan sakit. Ketika Andrew berjongkok di depannya. Tanpa canggung pria itu menyibak keduapahanya. Maya merasa ampur aduk antara malu dan cemas.
“Tuan, jangan!” desis Maya keberatan. Tetapi kakinya yang lemas tidak kuasa menolak tangan kekar Andrew yang lembut tetapi tegas, kini menahan keduapahanya dan mulai membilas pertigaan Maya.
Kesan pertama, sakit. Kesan kedua, rikuh. Kesan ketigaberhasrat. Campur aduk rasa itu membuat Maya malu setengah mati sampai ingin mengubur wajahnya ke perut Bumi. Walhasil, ia memejamkan mata saking tidak kuatnya menahan malu. Hanya kedua tangannya saja mencengkeram bahu Andrew agar pria itu tidak terlalu dekat dengannya.
“Bagaimana bisa ia tidak masalah dengan baunya?” pikir Maya jengkel.
Tiba-tiba tubuhnya kembali melayang. Ia memekik kaget saat membuka mata sekaligus meraih leher Andrew lagi. Sepertinya tangan Maya sudah hapal tempatnya ada di sekitar leher pria itu.
Andrew membawa Maya ke bathub dan perlahan memasukkan tubuhpolos wanita itu ke dalam bathub.
Kehangatan air dan keharuman yang nyaman menyambut Maya. Ia bisa merasakan seluruh permukaan kulitnya membuka dan rileks segera melingkupinya. Maya sampai hampir kelolosan menyunggingkan senyum senang.
Ia segera menghapus senyum di wajahnya saat mendongak dan melihat Andrew mulai melucuti dirinya sendiri.
“Tu-Tuan?” Wajahnya kembali memanas. Matanya bergerak panik, tidak tahu harus diarahkan ke mana.
“Kamu tidak berpikir akan mandi sendiri di dalam bathub, bukan? Aku tidak akan melewatkan kesempatan yang menyenangkan ini, Nona Maya.”
