Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

SPN 3

Tingg!

"Copy paste kok bangga ?" komen dari mba Ria, dia salah satu teman kostku juga, tapi sudah bekerja di salah satu  perusahaan swasta. Orangnya juga cantik, humoris, dan dia juga sang motivatorku untuk tetap bersemangat melewati hariku. Kami sering curhat bareng, namun aku tidak pernah tau untuk memberikan solusi tentang curhatannya. Lah aku sendiri belum pernah pacaran, bagaimana mau tau jawabannya.

"Hehehe, tau aja Mba !" balasku.

Namun ketika melihat Mba Fina sudah selesai, aku langsung memasukkan ponselku di saku celanaku, lalu bergegas untuk mengangkat barang - barang belanjaannya. Toko distributor ini sebenarnya memiliki karyawan yang khusus angkut barang, tapi saking banyaknya pelanggannya, kadang kita harus menunggu agar barang yang kami beli bisa di angkut. Berhubung sang pebisnis memiliki panutan bahwa waktu adalah uang, maka tak jarang mereka tidak mau membuang waktu hanya untuk menunggu.

Menurutku bisnis itu lebih menguntungkan dari pada harus kerja sebagai pegawai atau karyawan. Meskipun resikonya di tanggung seorang diri, tapi setidaknya seorang pebisnis bisa merasakan keleluasaan dan kebebasan. Berbeda dengan karyawan yang merasakan gaji bulanan, tapi disiplin dan memiliki jam kerja khusus.

Mungkin sekitar tiga puluh menitan aku lalu lalang dan mondar mandir mengangkut beberapa sak beras, serta barang sembako lainnya, sampai semuanya sudah terangkut di bak mobil pick up.

"Minum dulu Din !" ucap Mba Fina sambil menyerahkan sebotol minuman segar.

"Huh, makasih mba !" jawabku sambil menerimanya.

"Kamu makin gagah aja kalau lagi keringat Din ?" ucapnya dan seketika dia mengelap keningku menggunakan punggung tangannya.

"Mba pasti lagi ngegombal, supaya aku nantinya semangat untuk nurunin barang - barangnya kan ?" timpalku menyelidik.

"Sepertinya kamu terlalu negatif thinking dengan dirimu sendiri Din, harusnya kamu tetap percaya diri dengan dirimu sendiri, di sisi lain setiap orang memiliki karakteristik yang berbeda, jadi jangan mengambil kesimpulan bahwa semua pujian itu adalah sebuah gombalan !" ujarnya panjang lebar.

"Sebenarnya aku percaya diri kok Mba, dan butuh penyesuaian saja. Tentu ada beberapa kondisi yang membuatku over high dalam berpikir. Menurutku kebanyakan orang melihat dari segi fisik dan materi, sementara keduanya tidak aku miliki !" timpalku.

"Sifat itu harus kamu hilangkan, jadilah diri sendiri, jangan kau pungkiri kekuranganmu, dan tetap jalan di jalanmu. Kamu tidak perlu menoleh untuk mendengarkan cemoohan dan hinaan, karena di depan kamu adalah sebuah masa depanmu!" ujarnya.

"Hehehe, iya mba makasih motivasinya, mba makin cantik aja !" timpalku tersenyum kearahnya.

"Iya, makasih kalau menurut kamu Mba masih cantik, padahal mba udah kepala tiga loh !" jawabnya.

"Hahha, merendah untuk meningi, sepertinya Mba sedang mengujiku juga !" timpalku.

"Sok tau !" ucapnya.

Setelah itu, kami langsung memutuskan untuk segera pulang, berhubung jam sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Sesampainya di rumahnya, aku kembali menurunkan barang - barangnya, dan setelah semuanya sudah selesai, aku mendapatkan upah sebesar lima puluh ribu, dan beberapa bungkus mie instan.

"Makasih Mba !" ucapku.

"Sama - sama Din, itu cukup ngga ?" tanyanya.

"Heheh, ini lebih dari cukup mba !" jawabku.

Upah yang dia berikan tidak menentu, kadang hanya dua puluh ribu dan paling banyak seratus ribu. Mba Fina hanya menyesuaikan banyak dan sedikitnya barang yang dia beli, dan menurutku itu adil dalam hal jerih payah yang aku keluarkan. Tapi pada dasarnya aku tetap menerima berapapun yang dia kasih, karena sebenarnya aku juga mendapat uang saku lima ratus ribu tiap bulannya dari beasiswaku, dan uang yang aku dapatkan dari jerih payahku, aku tabung. Tabungan ini tentu belum ada pikiranku untuk apa nantinya, entah untuk modal habis lulus kuliah atau uang darurat. Dalam artian persiapan mental di kemudian hari.

Aku kemudian kembali berjalan kaki menuju kostku, dan langsung menyegarkan badan dengan mandi. Berhubung jiwa mudaku masih sangat bersemangat, aku tidak menyempatkan diri untuk istirahat, melainkan aku memilih untuk ke rumah Syamsul. Setelah sampai di rumahnya, aku melihat mobil yang akan kami bawah sudah siap untuk berangkat.

"Haaaaa, kita minum kopi dulu Din, habis itu baru kita berangkat!" ucap Syamsul. Saat ini kami duduk di teras rumahnya.

"Bawa baju ganti ngga ?" tanya Syamsul.

"Bawa kok, emangnya sampai jam berapa di sana ?" tanyaku.

"Kita nginap di sana aja !"

"Nginap di mana ?"

"Di penginapan atau hotel mungkin !"

"Tumben banget Sul, biasanya langsung balik aja ?"

"Hehehehehh !" Syamsul kembali menimpalinya dengan terkekeh licik.

Tepat pukul 23.00, kami akhirnya sudah menurunkan muatan di salah satu pengrajin kayu. Kami tidak langsung meninggalkan kediamannya, karena dia menyuguhi kami penyemangat lambung. Yah memang aku sering minum alkohol juga, tapi aku tidak merokok. Bagiku minuman itu sekedar olahraga jantung, dan penambah kekuatan fisik. Tentu saja candu minum alkohol bukan bawaan lahir, melainkan di ajarkan oleh Syamsul. Kami sering minum ketika kami selesai menurunkan muatan. Tapi biasanya kami minum di dalam mobil, dan sementara kami membawa mobil.

Malam ini bukan hanya kami saja, melainkan sang pengrajin dan dua karyawan lainnya.

"Habis ini kalian mau kemana ?" tanya Saprianto sang pengrajin atau pemilik usaha.

"Mau nginap di penginapan om !" jawab Syamsul.

"Ohh, memangnya kalian udah pernah nginap ?" tanyanya lagi.

"Udah sekali Om !" jawab Syamsul.

"Hehehe, jangan - jangan kamu ketagihan!" sahut Ramli sang karyawan.

Aku pun semakin bingung dengan obrolan mereka, apalagi saat ini aku mulai merasa kalau kepalaku tidak mampu lagi untuk konsentrasi berpikir, hanya ada beberapa masalah yang seolah ingin aku lontarkan tapi sepertinya mereka tidak mungkin bisa memberikan solusi, dan hanya wanitalah yang mampu memberikan solusinya.

"Hehehe, tau aja om !" timpal Syamsul.

"Kalau mau murah, ke jalan baku paku saja, habis itu terserah mau di mobil, atau bawa ke penginapan!" ujar Saprianto lagi.

"Nanti saya coba lewat sana om, kalau cantik gaskan, " ucap Syamsul.

Tepat pukul 23.30, kami berpamitan, tapi kali ini aku tidak tau Syamsul mau kemana. Di perjalanan dia terus menerus bersiul, beberapa kali dia tancap gas dan beberapa kali dia mengerem mendadak.

"Wwwoooee, kalau mabuk siniii biar aku yang bawaaaaa!" ucapku menawarkan.

"Lebih parah lagi kalau kamu yang bawa Din, bisa - bisa kita langsung on the way kuburan !"

"Makanyaaaa, pelaaaannn !"

Syamsul tidak menggubrisku, namun ketika kami melewati jalan yang gelap, dan cukup sepi, seketika dia memelankan mobilnya sambil bersiul - siul.

Sejenak aku memicingkan mataku sejauh sorotan cahaya lampu mobil, dan samar - samar aku melihat beberapa orang sedang berdiri berjejer.

"Sullll, setaaannn, Sull, kenapa malah lewattt siniiii ?" tanyaku dengan nada berat, namun aku mulai mengucek mataku.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel