7. Bertahan Atau Merelakan
7. Bertahan atau merelakan
Pukul sepuluh pagi, satu persatu mobil keluarga besar Yoga mulai berdatangan. Perlahan suasana mulai riuh. Mitha dan Yoga sudah berbaur dengan para tamu yang semuanya adalah om, tante, sepupu juga keponakan Yoga sendiri.
Acara yang diadakan setiap bulan itu memang kebetulan diadakan di rumah pak Pandu sebagai tuan rumah.
Bu Nisa sedari awal sudah membawa Mitha mondar-mandir untuk mencoba mengakrabkan menantunya dengan keluarga besar suaminya itu. Mitha yang cenderung pendiam dan pemalu memang sedikit sulit berkomunikasi dengan orang baru. Wanita itu hanya akan tersenyum, mengangguk dan menjawab pertanyaan yang dilontarkan kepadanya tanpa bisa melontarkan pertanyaan balik.
Beberapa orang sempat menanyakan usia kandungan Mitha, pertanyaan yang begitu sulit ia jawab mengingat pernikahannya dan Yoga baru berjalan tak lebih dari empat bulan sedangkan perutnya sudah menggembung sedemikian besar. Hal yang pasti membuat semua orang mengernyit heran meskipun beberapa di antara mereka sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik pernikahan Yoga dan Mitha.
"Kamu nggak capek kan, sayang di bawa mama jalan terus?" bu Nisa menyadari jika ia hampir saja lupa memperhatikan kondisi menantunya.
"Mitha baik-baik aja kok, ma. Jangan terlalu khawatir," jawab Mitha dengan senyuman lebar di bibirnya.
"Oh, ya. Kamu duduk di belakang aja dulu. Waktunya makan buah. Tuh ada Wira. Biar mama suruh temanin kamu," tunjuk bu Nisa pada anak bungsunya, adik Yoga yang berdiri tak jauh dari mereka.
"Biar Mitha sendiri aja, ma. Kasihan Mas Wira kan baru datang pasti masih ingin bercakap dengan para sepupu," Mitha tak ingin mengganggu adik iparnya yang baru tadi pagi datang ke Surabaya karena ia bekerja di Bandung. Pria berusia dua puluh lima tahun itu setelah menamatkan kuliahnya di Bandung enggan untuk pulang dan membantu kakak serta ayahnya bekerja di perusahaan mereka.
Ia lebih suka mencari pengalaman tanpa mengandalkan keluarganya. Bahkan saat menempuh program pasca sarjananya, ia sama sekali tak menyentuh uang dari keluarganya. Ia bekerja setelah mendapatkan gelar sarjananya dan langsung melanjutkan program pasca sarjana sambil tetap bekerja.
"Kamu jangan panggil mas-mas terus. Meskipun Wira lebih tua tapi dia adik ipar kamu." Mitha mengiyakan perintah ibu mertuanya sambil mengekor di belakang.
"Wira, temani mbak kamu di belakang. Mas mu nggak tahu pergi kemana. Kalau banyak tamu kayak gini mbak mu pasti sungkan. Nanti kalau sudah, baru ngumpul lagi di sini," bu Nisa memberi perintah kepada putra bungsunya yang sedang asyik bercakap dengan beberapa orang sepupunya.
"Siap, ma. Ayo,Tha kamu mau ditemani ngapain?" tanya pria itu.
"Sebenarnya nggak perlu kok, mas. Cuma makan buah di belakang. Aku bisa sendiri. Mama aja yang terlalu khawatir."
"Eh, kalau nggak ada yang menemani nanti kamu nggak ketahuan makan apa nggak. Terus habis itu diam aja, malu nggak mau ngumpul sama yang lain. Sudah sana makan dulu. Buahnya sudah disiapin kok sama bibi." akhirnya Mitha menurut.
Tak lama kemudian mereka berdua sudah berada di taman belakang sambil menikmati buah potong. Mereka bercerita cukup akrab. Wajah cerah Mitha menunjukkan jika ia begitu menyukai obrolan mereka. Mungkin juga karena jarak usia mereka yang tidak terlalu jauh jadi topik yang mereka bahas juga sama.
Tiga puluh menit tak terasa mereka habiskan berdua, Mitha sudah membereskan piring juga garpu yang mereka gunakan ke dalam dapur. Saat ia baru saja akan mengajak adik iparnya kembali berkumpul dengan keluarga besarnya, pandangannya menangkap sosok yang ia hafal dari kejauhan. Suaminya terlihat berdebat dengan seseorang. Lebih tepatnya dua orang. Salah satunya adalah sepupu suaminya sendiri, Abhimana, putra om Broto. Kakak dari ayah mertuanya. Dan di sebelahnya adalah seorang wanita cantik yang dulu Yoga pernah bilang adalah calon tunangan yang ternyata belakangan Mitha ketahui adalah mantan kekasih suaminya.
Entah apa yang mereka perdebatkan, kedua pria itu tampak sama-sama mengeraskan rahang dengan tatapan tajam. Mitha tergerak untuk mendekat. Perlahan dilangkahkan kakinya mendekati mereka.
"Mitha, mau kemana?" Mitha lupa jika saat ini ia bersama adik iparnya. Ia hanya menunjuk arah di mana suaminya berada. Saat tinggal beberapa langkah lagi ia mencapai tempat mereka bertiga, tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang janggal. Dihentikannya langkah kakinya. Hatinya merasa tak tenang juga was-was. Ketakutan seketika melandanya.
Abhimana dan suaminya tampak berdebat dan yang bisa ia simpulkan adalah suami dan sepupunya iu sedang memperebutkan wanita cantik yang bernama Rara itu. Wanita yang sekarang sepertinya menjadi kekasih Abhimana. Dunia memang sempit. Bagaiman bisa seorang wanita setelah berpacaran dengan seorang pria kemudian menjalin hubungan kembali dengan sepupu mantan pacarnya.
Mitha mengamati apa yang terjadi di depannya dalam diam. "Mitha, kamu baik-baik aja kan?" suara Wira terdengar tepat di sampingnya. Dirasakannya tepukan di bahunya pelan. Mungkin pria di sebelahnya itu sudah faham dengan apa yang terjadi di depan matanya.
"Kita masuk ya?" ajak Wira pelan. Mitha hanya menggelengkan kepala sambil menaikkan sebelah tangannya mencegah Wira melakukan apapun.
"Tapi, Tha." sekali lagi Mitha mengangkat tangannya.
"Mas, please. Sebentar aja." putus Mitha telak. Ia ingin melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Akan ada drama apa antara ketiga orang yang masih tak menyadari kehadirannya karena posisinya yang membelakangi mereka.
"Kita balik aja, Ra. Setelah anak ku lahir aku akan langsung pisah. Kita bisa kayak dulu lagi. Aku yakin kamu masih mencintai ku. Kalau aku dulu nggak ketahuan selingkuh sama Mitha kita pasti belum putus sampai sekarang." akhirnya peluru itu telah ditembakkan. Mitha mendengar dengan telinganya sendiri saat Yoga melontarkan kalimat yang benar-benar membuat Mitha seakan mati seketika. Mati, namun masih merasakan perih yang teramat sangat.
Ia mengira suaminya telah berubah setelah peristiwa kemarin sore. Ia mengira suaminya sudah kembali seperti dulu. Namun nyatanya apa? Apa arti kedekatan mereka kemarin hingga tadi pagi jika ternyata saat ini suaminya dengan tega mengajak seorang perempuan untuk hidup bersama di depan matanya sendiri?
Cairan bening seketika meluncur di pipinya. Ia kalah, ia telah kalah telak. Selama ini suaminya tak pernah berbicara segamblang ini kepadanya, tapi sekarang apa? Ia dengan penuh percaya diri mengatakan kalimat sialan itu bahkan di belakang Mitha?
Mitha akan membalikkan tubuhnya meninggalkan tempat terkutuk itu, namun sesaat sebelumnya matanya menangkap tangan Abhimana sudah melayang ke wajah suaminya. Di lihatnya Rara berusaha melerai dan ternyata berhasil. Abhimana dan Rara segera berlalu meninggalkan Yoga yang roboh menimpa kursi taman. Suaminya itu tampak sempoyongan sambil mengumpat berkali-kali melampiaskan amarahnya.
Ingin Mitha mendekat membantu suaminya, namun hatinya menjerit tak mengijinkan. Ia bahkan merasakan sakit melebihi yang baru saja suaminya rasakan.
"Mitha, kamu baik-baik saja kan?" lagi-lagi Mitha terhanyut tak menyadari jika ada sosok lain di tempat itu. Mitha mengusap kasar air matanya. Diulasnya senyum palsu, "Aku mau ke kamar, mas." adik iparnya mengangguk mengiyakan.
"Aku anterin kamu." Mitha tak menyahut. Ia tak mampu melakukan itu. Tubuhnya bergerak layaknya robot. Tak peduli sapaan dari beberapa orang yang kebetulan berpapasan dengannya. Kali ini ia harus berpikir ulang. Apakah ia sanggup untuk bertahan di sisi Yoga jika sebentar lagi ia akan ditendang dari hidup pria itu? Ataukah ia harus merelakan semuanya? Entahlah ia juga tak tahu.
###
