Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

1

Namaku Ujang, pemuda berusia 21 tahun yang berprofesi penjual mie ayam keliling dengan sistem bagi hasil. Aku berasal dari sebuah desa terpencil di kabupaten Bogor yang merantau ke kota Bogor karena ada temanku yang mengajariku menjadi penjual Mie Ayam, maka tak heran, aku tinggal di kontrakan bareng teman temanku sesama penjual mie ayam. Ya, inilah pekerjaanku, penjual Mie Ayam keliling untuk mendapatkan rezeki halal yang secara rutin uang yang berhasil aku kumpulkan kuberikan ke ibuku yang tinggal di desa.

Kami tidak perlu berpikir membayar kontrakan karena Bos kami yang membayar biaya kontrakan yang kami tempati. Di sebelah kontrakan yang aku tempati ada sepasang suami istri dari Jawa, namanya Mas Gatot teman seprofesi usianya sekitar 40 tahun, sedang istrinya Mbak Wati berjualan jamu gendong usianya mungkin 30 an. Mereka hanya tinggal berdua, karena anak anaknya tinggal di kampung dengan neneknya.

“Usia Istriku 35 tahun," kata Mas gatot, saat kami mengobrol. Dia terlihat bangga saat memberitahukan usia istrinya yang terlihat lebih muda dibandingkan usianya, hasil dari minum jamu secara rutin, sambung Mas Gatot menerangkan kenapa istrinya bisa awet muda dan bentuk tubuhnya tetap terjaga.

Sekilas tentang Mbak Wati, wajahnya cukup cantik khas wanita Jawa dengan kulitnya sawo matang tapi yang paling mencolok adalah tubuhnya yang montok dengan buah dada yang besar selalu menjadi perhatianku walau aku melakukannya secara diam diam. Tubuhnya akan semakin terekspos saat dia berjualan jamu dengan memakai kebaya, kain yang dililitkan di tubuhnya untuk menggendong keranjang jamu, membuat payudaranya semakin tercetak jelas sehingga menjadi pusat perhatian para lelaki yang melihatnya.

"Aduh, semox euy, bikin ngaceng..!" bisik beberapa orang temanku yang rupanya ikut memperhatikan bentuk tubuh Mbak Wati tanpa berkedip.

"Kalau aku punya istri seperti Mbak Wati, tiap malam aku kelonin." bisik temanku yang lain ikut berkomentar.

"Kok bisa Mas Gatot punya istri seperti Mbak Wati? Sepertinya Mbak Wati kena pelet." kata temanku lagi, aku hanya menjadi pendengar yang baik. Mengiyakan semua perkataan mereka.

"Hayo, kalian lagi memperhatikan istriku ya?" kata Mas Gatot yang tiba tiba sudah berada di belakang kami yang sedang asyik memperhatikan Mbak Wati sambil berpura pura membereskan dagangan kami.

"Engggggak, Mass..!" jawab kami berbarengan, secepat kilat kami bergerak dan menyibukkan diri dengan dagangan kami tanpa berani menoleh ke arah Mas Gatot.

"Ngaku saja, aku tidak akan marah. Makanya kalian mencari istri seperti Istriku, sudah cantik, semok masih mau kerja keras bantu suami mencari uang. Kalau malam, masih juga mau diajak kembur satu dua ronde. Tetek istriku, walah kalian bisa pingsan melihatnya. Hahahha..!" kata Mas Gatot membuat kami saling berpandangan, kami sudah hafal dengan tabiatnya yang selalu membanggakan istrinya, bahkan setiap lekuk tubuh istrinya akan diceritakannya dengan detail.

"Jang, kamu suka memek berjembut atau gundul?" tanya Mas Gatot menepuk pundakku sehingga aku salah menghisap bara api pada rokok.

"Gundul..!" makiku jengkel. Kebiasaanku selalu menyebut kata gundul saat kaget.

"Ternyata selera kamu sama denganku, memek istriku selalu aku cukurin." bisik Mas Gatot dan meninggalkanku yang bengong mendengar perkataannya.

"Jang, kamu ditawari mencoba memek istrinya Mas Gatot tuch.!" bisik Mang Kardi teman satu profesiku yang paling tua dan anak anaknya sudah pada kerja.

"Mang Kardi ada ada, saja." jawabku tertawa, kami sudah terbiasa bercanda, kadang bercanda kami menjurus hal mesum.

*********

Suatu hari aku sedang malas berjualan, kulihat mas gatot sedang duduk di teras kontrakan. Sepertinya dia pun sedang kena penyakit malas sepertiku. Aku menghampirinya yang sedang asyik merokok. Setidaknya aku punya teman mengobrol, dibandingkan harus sendirian, jenuh sekali.

"Gak jualan juga, Mas?" tanyaku sekedar berbasa basi, hal yang biasa terjadi di dalam masyarakat kita. Basa basi yang membuat bangsa kita terkenal sebagai bangsa yang ramah.

"Lagi malas, Jang. Ayo sini, kita mengopi di dalem sambil mengobrol" ajak Mas Gatot menawariku kopi yang langsung aku iyakan, karena aku memang berniat ke warung membeli kopi. Maka tawaran dari Mas Gatot aku sambut dengan bersuka cita, ini rezeki anak Sholeh, pikirku. Tanpa pikir panjang, aku mengikuti mas Gatot ke dalam kontrakannya. Kontrakan yang ditempati Mas Gatot dan Mbak Wati hanya sebuah ruangan berukuran 3 x 4, sehingga semua aktivitas dilakukan di ruangan yang sama dari mulai tidur, memasak dan menerima tamu.

Aku terkejut melihat Mbak Wati sedang asyik tiduran di kasur yang digelar di lantai, sehingga aku bisa melihat gundukan payudaranya menyembul dari balik daster yang dipakainya dan juga pahanya yang mulus agak terlihat membuatku menelan air liur.

"Eh, ada Mbak Wati..!" kataku jengah melihatnya tiduran dengan posisi menghadap ku, sehingga saat aku duduk aku bisa melihat pahanya yang gempal terlihat dari dasternya yang agak terangkat ke atas. Mataku melihat ke arah lorong gelap di antara kedua pahanya yang tertutup daster. Dan sekilas aku melihat bentuk memek Mbak Wati yang tidak memakai celana membuatku terpaku tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Mungkin ini hanya halusinasiku saja yang terobsesi dengan bentuk tubuh Mbak Wati.

"Iya Jang, Mbak lagi pewe nih." jawab Mbak Wati tersenyum sambil bangun dari tidurnya, saat bangun kakinya menekuk sehingga dasternya menyingkap semakin tinggi dan aku melihat pemandangan yang belum pernah kulihat, aku melihat dengan jelas selangkangannya yang tembem dan aku tidak salah, Mbak Wati memang tidak memakai CD. Aku terpana, kenapa pemandangan itu cepat berlalu. Aku melihat ke arah Mas Gatot yang duduk di sampingku dan sepertinya dia juga menyadari hal itu.

“Wat, memek kamu kelihatan tuh, kebiasaan kamu tidak pakai CD..!” kata Mas Gatot dengan santainya mengatakan hal mesum di sampingku, seolah itu hal yang biasa saja. Aku menunduk gelisah dengan suguhan pembuka dari suami istri ini. Nafasku tersengal membayangkan bentuk memek Mbak Wati yang sempat kulihat walaupun hanya sekilas.

“Enakan gak pake CD, kalau pengen tinggal masuk. Hihihi..!” jawab Mbak Wati membuatku panas dingin dengan obrolan mesum yang vulgar. Obrolan yang baru pertama kali aku dengar. Tidak tahukah mereka, aku seorang perjaka tingting yang masih tersegel.

“Kasian Ujang belum pernah lihat memek, coba kalau kepingin bagaimana?” tanya Mas Gatot semakin memanasi suasana yang sudah panas menjadi semakin panas.

“Kalau pengen tinggal ngomong, aku kasih. Hahahaha.. Mbak bikinin kamu kopi, ya..!" kata Mbak Wati berjongkok membelakangiku untuk menyalakan kompor minyak tanah yang berada tidak jauh dariku. Seolah perkataannya tadi hannyalah gurauan, tapi bagiku hal itu bermakna lain. Bokongnya yang besar membuat mataku sulit berkedip. Begitu dekat jaraknya, sedikit gerakkan, kakiku akan menyentuh pantanya.

"Tuh Jang, kamu boleh nyobain memek istriku? Tapi ada syaratnya. Hahaha.” Kata Mas Gatot membuatku shock, gila. Dia menawariku memek istrinya seolah olah itu barang yang bisa dipinjamkan. Gila, bebar bdnar gila, mana ada suami yang menawari memek istrinya kepada orang lain.

“ Hus, kamu ini ada ada aja, Mas. Memek istri sendiri ditawari ke teman. Hihihi, kasihan tuh si Ujang kalau beneran pengen, bisa habis sabun di rumah buat onani." kata Mbak Wati menoleh ke arahku dengan senyum menggoda. Mata kirinya mengedip ke arahku, mungkin ini hanya penglihatanku yang semakin terbawa suasana.
Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel