Bab 9. Terenggut Segalanya
Audrey begitu bahagia karena selama beberapa hari ini dia akan terlepas dari pekerjaan-pekerjaan kantor yang begitu membebaninya. Perusahaan akan mengadakan gathering, semua divisi diharuskan ikut dalam acara itu.
Christian—atasan sekaligus pemilik perusahaan—menyewa sebuah resort mewah dan puluhan kamar sekaligus untuk seluruh karyawan perusahaan. Dia sebagai kepala purchasing di kantor pun memiliki beberapa bawahan.
Selama menjadi kepala purchasing dan bekerja dua tahun di sana, Audrey jarang berinteraksi langsung dengan Christian. Karena semua interaksi dilakukannya melalui asisten pribadi Christian—Lody.
Tapi malam itu saat semua karyawan pulang lebih dulu, Audrey justru harus lembur mengerjakan beberapa sisa pekerjaan. Dia tak ingin menundanya karena besok acara gathering jadi dia ingin saat acara berlangsung dia tak perlu memikirkan urusan pekerjaan.
Audrey memperhatikan jam di dinding, sudah hampir pukul delapan malam. Hanya tersisa dirinya di ruangan. Lalu satu ruangan lagi yang masih menyala, itu adalah ruanganm Christian. Tak biasanya Christian masih berada di kantor karena kadang Christian pulang lebih dulu dibanding karyawan lain.
“Astaga, aku harus menyerahkan sendiri berkas ini pada Tuan Chris. Aku takut mengganggunya,” ujar Audrey seraya menggenggam sebuah map di tangannya. Dia takut jika saat dia masuk ke ruangan itu ternyata Christian sedang bersama wanita sewaannya, pasti dia akan sangat malu. Tapi jika tak diserahkan malah menjadi beban.
Audrey memutuskan untuk menyerahkan berkas-berkas itu pada Christian sebelum dia pulang ke rumah.
Audrey mengetuk pintu ruangan Christian, tapi tak ada jawaban sama sekali.
Sekali.
Dua kali.
Hingga pada ketukan ketiga, baru terdengar suara Christian menjawab.
“Masuk saja.”
Saat Audrey memasuki ruangan milik Christian, dia terkejut ketika melihat tiga botol bir tergeletak di lantai, dan masih ada sebotol lagi di meja Christian. Wajah Christian terlihat kusut saat itu.
“Maaf, Tuan Chris. Saya ingin mengantarkan berkas yang harus ditandatangani mengenai pembelian—“
“Diam! Kepalaku sakit!” bentak Christian. Audrey pun terdiam sepertinya dia masuk di saat yang tidak tepat.
Audrey menarik napas, kemudian berbalik hendak meninggalkan ruangan Chris.
“Siapa yang menyuruhmu keluar!”
Chris bangkit dari tempat duduk lalu berjalan sempoyongan ke arah Audrey. Dia melewati Audrey dan menuju pintu. Audrey merasakan seluruh tubuhnya membeku di tempat ketika didengarnya Chris mengunci pintu.
“Aku tak akan membiarkanmu pergi!”
“Tuan Chris, kutinggalkan berkas ini di sini. An—“
“Diam. Duduk di sofa itu!” seru Chris lalu menunjuk ke arah sofa.
Audrey tak tahu apa yang akan dilakukan Christian saat itu dan menurut ketika diminta duduk di sofa.
Christian berjalan mendekati Audrey, lalu duduk di sampingnya. Audrey menutup hidungnya, bau alkohol dari tubuh dan mulut Chris benar-benar membuatnya mual.
“Aku benar-benar kacau. Keluargaku semuanya bajingan!” Chris meracau dan meracau. Kemudian dia mendekatkan wajahnya pada Audrey. Sesekali Chris berusaha untuk mencium Audrey, dengan sopan Audrey menolak dan mendorong tubuh Chris menjauh darinya.
“Maaf, Tuan. Ijinkan saya pulang.”
“Siapa yang mengijinkanmu pulang, hah?!”
Christian bertindak semakin tak karuan. Didorongnya tubuh Audrey sehingga Audrey terempas dalam posisi berbaring di atas sofa. Christian menyeringai buas di atasnya dengan kedua mata yang memerah. Dia benar-benar tak sadarkan diri saat itu.
“Kumohon, jangan,” pinta Audrey saat Christian mulai menggerayangi tubuhnya. Wajahnya berada tepat di depan wajah Audrey. Meski tampan, tapi Audrey sama sekali tak tertarik, dia mendorong wajah Christian yang terus memaksa untuk menciumnya. Berkali-kali Audrey menolak bibir Christian yang terus memaksa untuk melumat bibirnya.
“Kau ini, sudah murahan sok jual mahal,” ejek Christian tanpa sadar.
Audrey tak tahan untuk tak menampar wajah Christian. Ditamparnya wajah Christian sekuat tenaga. Bukannya menghentikan aksinya melecehkan Audrey. Justru Christian semakin bernafsu.
Satu tangannya mengangkat dan menahan kedua tangan Audrey di atas kepala, lalu pahanya mengunci kedua kaki Audrey hingga tak ada jalan bagi Audrey untuk bergerak sama sekali.
“Tuan, aku bukan pelacur yang biasa kau sewa, aku ini karyawanmu!” teriak Audrey. Sia-sia di kantor itu tak ada siapa pun kecuali mereka berdua.
“Diam, atau aku tak segan mencekikmu,” ancam Christian setengah sadar.
Audrey tak bisa berbuat apa-apa, semakin dia berusaha melawan, semakin Christian memperketat pergerakannya. Audrey hanya bisa diam ketika Christian mulai melepaskan kancing kemeja yang dipakainya satu per satu.
“Kumohon, lepaskan aku,” pinta Audrey. Berharap Christian mau melepaskan jika dia mengiba.
“Tidak. Malam ini kau milikku.”
Audrey pasrah saat tangan kekar itu merobek paksa celana dalam yang dipakainya. Rok kerja yang dipakainya dinaikkan Christian sampai sebatas pinggang, bra yang dikenakan Audrey pun tak luput, ditariknya dengan sekali sentak hingga putus.
“Aku tak pernah melihat tubuh sebagus milikmu. Kau ini pelacur darimana?”
“A-aku bukan pelacur,” jawab Audrey sembari terisak. Tubuhnya benar-benar lelah tak ada lagi kekuatan melakukan perlawanan yang sia-sia. Bahkan dia hanya bisa diam, dengan tatapan kosong melihat wajah Christian yang penuh nafsu mendesak masuk ke dalam tubuhnya. Terasa sakit, karena Christian satu-satunya pria yang menjamahnya tanpa ampun.
Berkali-kali Christian memaksa dengan kasar. Berkali-kali pula Audrey menjerit kesakitan tanpa daya.
Tubuhnya tak merasakan kenikmatan yang dirasakan pelacur-pelacur itu saat bersenggama dengan Christian. Justru Audrey merasakan sakit, dan terhina, berkali-kali tubuhnya menolak. Semakin menolak, Christian semakin gigih menggerakkan pinggangnya.
Audrey tahu malam itu adalah kehancuran baginya. Dia tak tahu bagaimana menjelaskan semuanya pada keluarga dan kekasih yang akan menikahinya satu bulan lagi.
Christian melenguh panjang, lalu tubuhnya terjatuh menimpa tubuh Audrey. Chris terlelap setelah puas menyalurkan hasratnya. Susah payah Audrey bangkit, seluruh tubuhnya remuk redam. Sakit dan perih tak tertahankan belum lagi rasa panas menjalar hebat di tubuhnya.
Bukan percintaan semacam ini yang diinginkannya!
Audrey meraba cairan yang tersisa melekat di pangkal pahanya disertai darah segar. Ingin rasanya dia menghabisi hidupnya malam itu jika dia tak memikirkan dosa. Gedung tempatnya berada sekarang cukup membuatnya hilang nyawa jika dia melompat.
“Hidupku hancur,” gumam Audrey dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Seketika tatapan dari kedua matanya pun berubah menjadi muram dan suram. Sinar kehidupan itu redup dari kedua mata biru yang indah.
