Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 - Ina Menjerit Ketakutan

"Woy! Kamu ngapain, Dre?" tanya Rafli mengagetkanku.

Belum sempat menjawab, Shelly juga bertanya,

"Kamu lihat sesuatu di sini ya, Dre?" Ia tahu, di antara kami, hanya aku yang mampu berinteraksi dengan 'sesuatu' yang lain.

Aku tak menjawab pertanyaan mereka secara langsung.

Hanya memberi isyarat sambil menunjuk ke arah pintu kamar mandi.

Kemudian, kulanjutkan penjelasan dengan bahasa tubuh.

Tanganku memperagakan rambut sebahu, kepala miring ke kanan, dan tak lupa menunjukkan ekspresi senyum menyeringai.

Shelly dan Rafli saling berpandangan satu sama lain setelah melihatku.

Saat kami berada dalam keheningan, tiba-tiba terdengar suara yang mengagetkan dari gudang.

BRUK!

Shelly dan Rafli langsung berlari ke ruangan depan.

Aku juga kaget dengan suara yang mengejutkan itu, tetapi suara tadi justru membuatku semakin penasaran.

(Sebenarnya, ada apa di dalam gudang itu? Mengapa tadi Ina berkata ada seseorang yang melempar kain dari gudang?)

Kuberanikan diri melangkah menuju pintu gudang. Jantungku berdebar makin tak karuan.

Perlahan, aku meraih gagang pintu.

Meyakinkan hati agar benar-benar siap saat ada sesuatu yang mengerikan di balik pintu tersebut.

Dan saat pintunya terbuka, ternyata hanya tumpukan buku dan barang-barang sejenis lemari kecil yang terbuat dari kayu di dalam sana.

Aku memperhatikan isi dalam gudang dengan saksama.

Sudut mata mengitari seisi ruangan gudang dengan sangat rinci.

Memastikan agar tak ada satu pun yang lewat dari pengawasan mataku.

(Benar-benar gelap dan penuh debu)

Aku masih terus fokus memperhatikan setiap sudut di ruangan itu sampai aku tak sadar, tiba-tiba ada tangan yang memegang bahuku dari belakang!

Aku kaget dan menoleh.

"Kamu sedang apa di sini, Mas?" tanya Bapak yang tadi mengantar kami ke rumah ini.

"Ahh ... Bapak. Kukira siapa, bikin kaget aja," jawabku dengan nada sedikit kesal.

Si Bapak tersenyum, lalu menjelaskan bahwa gudang ini hanya sebagai tempat penyimpanan barang-barang yang sudah lama tidak dipakai.

Aku pun iseng bertanya pada beliau.

"Pak, Bapak yang satunya lagi tadi ke mana, ya? Saya tidak melihatnya ikut masuk sejak kita di dalam rumah ini."

"Ohh, dia ada di halaman samping, Mas. Katanya mau ambil beberapa buah mangga untuk dibawa pulang, istrinya suka buah mangga," jawabnya santai.

"Terus ngomong-ngomong, nama Bapak siapa, ya?" tanyaku.

"Nanti kalau ada tetangga yang bertanya, kan saya jadi bingung mau jawab tinggal di rumah siapa," lanjutku mencari bahan obrolan agar suasana tegang yang sedari tadi menyelimuti, bisa sedikit mencair.

"Panggil saja papa Mirna. Orang di sini lebih mengenal saya dengan panggilan nama anak dan sudah terbiasa seperti itu," ujarnya menjelaskan.

“Hmm gitu ya, Pak,” jawabku.

"Terus tadi saya lupa, Pak, ini namanya pulau apa, ya?"

Kemudian, beliau menjawab, "Ini Pulau Madapolo, Mas, artinya kepala buaya."

Aku mendengarkan dengan seksama, sementara beliau tetap melanjutkan penjelasan.

"Kenapa pulau ini disebut Madapolo? Karena dulu, orang pertama yang menemukan pulau ini, hanya berniat singgah. Mereka jauh-jauh datang dari pulau bacan ke sini, untuk mencari ikan. Tapi karena cuaca memburuk, akhirnya mereka memutuskan untuk menyandarkan perahu di pulau ini," jelasnya panjang lebar.

"Terus, bagaimana bisa pulau ini disebut pulau kepala buaya, Pak?" Kini aku makin jauh lebih penasaran dengan cerita yang beliau paparkan karena ingin tahu, apa hubungan pulau ini dengan sebutan Madapolo.

"Jadi begini, Mas. Orang yang datang ke pulau ini, saat sampai, mereka melihat kepala buaya raksasa muncul tak jauh dari pinggir pantai. Lokasi tempat kepala buaya raksasa muncul itu yang sekarang dijadikan pelabuhan," katanya.

"Oh ... begitu. Oke, pak, saya paham sekarang." jawabku seraya mengangguk karena mulai paham sejarah pulau ini.

"Mas, saya dan saudara mau pamit dulu, ya. Nanti selesai magrib, saya ke sini lagi untuk mampir," lanjutnya sembari bersiap-siap pulang dan berpamitan.

Setelah kedua bapak itu pergi, kami melanjutkan beres-beres barang bawaan.

Aku disuruh tinggal di kamar paling belakang, yang berhadapan langsung dengan dapur.

Sedangkan Ina dan Rafli, memilih kamar tengah, lalu Asih dan Shelly di kamar paling depan.

Kami mencoba merapikan barang di kamar masing-masing karena lelah dan mual yang masih terasa efek mabuk laut saat perjalanan di atas kapal tadi.

Aku memutuskan untuk merebahkan diri agar tubuh bisa sedikit rileks, niatnya ingin supaya bisa tidur sejenak.

Namun baru saja merebahkan tubuh di atas ranjang, beberapa menit kemudian tiba-tiba terdengar kembali suara berisik dari arah kamar Ina dan Rafli.

BLETAK!

BRUKK!

Juga terdengar suara orang berlari.

Aku langsung buru-buru bangkit dari kasur dan bergegas menuju ke luar kamar, sekedar memastikan dan memeriksa ada apa dengan Rafli dan Ina, lalu ... benar saja.

Ina terduduk di ruang tamu, ada Rafli juga yang seperti sedang mencoba menenangkan Ina.

Kulihat, wanita itu menangis, Ina terlihat menutup matanya dengan kedua telapak tangan sambil sesekali menunjuk ke arah kamar mereka.

Ekspresinya benar-benar sangat ketakutan!

Aku berpikir, mungkin dari awal kita di sini, Ina lebih sering dapat gangguan karena ia sedang hamil, dan kondisi kandungannya telah menginjak usia delapan bulan.

Rafli masih saja mencoba menenangkan Ina yang masih menangis ketakutan.

Lalu aku berinisiatif untuk coba melihat ada apa sebenarnya di dalam kamar mereka.

Saat masuk ke dalam kamar, aku memperhatikan ada beberapa lemari antik.

Kasur dari ukiran kayu dengan ukuran yang lebih dari cukup untuk tidur berdua.

Namun, pandanganku seakan tertarik pada atap kamar ini.

"Ada sesuatu di atas atap itu," kataku dengan nada rendah, agar Rafli dan Ina tidak mendengar.

Saat aku melihat ke bagian atap kamar yang tanpa sekat apa pun sehingga terlihat bagian susunan gentingnya.

Di sudut atas, ada sesosok makhluk yang lebih menyeramkan dari yang pertama kulihat di dapur tadi!

Aku berusaha mengungkap sosok yang ada di atap sana.

Bentuknya kecil, seperti manusia kerdil.

Tubuh dipenuhi bulu hitam yang lebat.

Sepasang matanya melotot padaku.

Sepertinya, mata itu terlalu besar untuk ukuran mata normal.

Bahkan bulatan matanya hampir mirip seperti telur mata sapi, hanya saja dengan lingkaran tepian matanya yang lebih teratur.

Makhluk itu menjulurkan lidah yang sangat panjang, sambil sesekali air liurnya jatuh menetes ke lantai kamar.

Aku tertegun saat menatap makhluk tersebut.

Seumur hidup, baru kali ini melihat sosok makhluk astral yang sangat mengerikan seperti itu.

Kemudian kucoba untuk mengusirnya semampuku, sampai makhluk itu hilang dari pandangan.

Lalu, kembali menghampiri Ina dan Rafli di luar kamar.

"Kita cari tempat lain saja, jangan di sini. Aku tidak tahan dengan gangguannya!" kata Ina berulang kali sambil menangis.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel