Pustaka
Bahasa Indonesia

Putri Rahasia Tuan Damian

19.0K · Ongoing
Riri riyanti
45
Bab
725
View
9.0
Rating

Ringkasan

Evelyn sangat paham bahwa akibat dari berhubungan badan tanpa memakai pengaman adalah sebuah kehamilan. Namun, ia terlena ketika Damian yang melakukan hal itu padanya. Cinta itu pembodohan, dan Evelyn membenarkannya ketika dirinya harus melahirkan seorang diri di usia yang masih sangat muda. Damian, pria itu menghilang saat Evelyn mengetahui fakta bahwa dirinya tengah berbadan dua. Siapa sangka bahwa bertahun-tahun kemudian mereka kembali berjumpa? Keadaan kini sudah berbeda, Damian telah memiliki tambatan hati lain, telah bertunangan dan akan segera menikah. Sedangkan buah cinta Evelyn dengan pria itu pun sudah mulai tumbuh sebagai seorang balita. Akankah Evelyn meminta pertanggungjawabannya? Ataukah wanita itu justru memilih untuk tetap menjaga rahasia dengan terus menganggap balita cantik itu sebagai adiknya? "Namanya Luna. Dia ... adikku." - Evelyn.

Mengandung Diluar NikahPengkhianatanTuan MudaRomansaMetropolitanKampusKeluargaMenyedihkanDewasaBaper

1. Status yang disembunyikan

"Dan pada akhirnya Sang Putri bersama Pangeran pun hidup bahagia selamanya. Tamat. Sekarang Luna bobo, ya?" permintaan itu teralun dari mulut Evelyn Adhitama seiring ia menutup buku dongeng Cinderella di pangkuannya. Pandangan menenangkan penuh kasih itu berpindah pada paras menggemaskan gadis kecil yang berbaring di sisinya.

"Tapi, Luna belum ngantuk, Kak." Balita berusia 5 tahun itu menggeleng kecil seraya menatap polos pada kedua mata Evelyn.

Meskipun ucapan balita cantik bermata biru itu terdengar seperti kalimat penolakan biasa, namun hal tersebut nyatanya berhasil membuat senyuman wanita itu berubah pedih. Selalu saja begitu setiap kali Luna memanggilnya 'Kakak', karena faktanya Luna adalah anak kandungnya, janin yang selama kurang lebih 9 bulan lamanya telah bersemayam di rahimnya.

Tanpa terasa sudah 5 tahun berlalu setelah ia melahirkan, melewati lembah kematian seorang diri di atas meja operasi tanpa pasangan. Dan kini, bayi kecilnya sudah semakin besar. Selama itu pula ia membiarkan anaknya menganggap dirinya sebagai seorang kakak, sesuai kesepakatan. Tentu kedua orang tua Evelyn yang memutuskan.

"Tapi besok Luna harus bersekolah, Sayang ... nanti kalau Luna mengantuk di kelas bagaimana? Luna tidak mau dimarahi ibu guru, bukan?" sejenak mengabaikan rasa tidak nyaman karena teringat masa silam, Evelyn mencoba memberikan pengertian.

"Tidak mau!" Dan gelengan kepala Luna adalah jawaban atas pertanyaan di akhir kalimat Evelyn tadi, sesuatu yang membuatnya mengukir senyum tipis kemudian membelai rambut halus nan legam si balita. Warna rambut yang ia wariskan pada anaknya.

Luna Arkania Adhitama memanglah anak yang terlahir di luar ikatan pernikahan. Damian Alexander, pria berdarah Jerman yang menjadi ayah biologis balita itu menghilang ketika Evelyn baru saja mengetahui fakta bahwa dirinya tengah berbadan dua. Ketika itu dirinya masihlah siswi SMA tahun ke dua, sedangkan si pria adalah kakak kelas sekaligus ... sahabatnya.

Benar, mereka memang bukanlah pasangan kekasih atau semacamnya. Bermula dari sentuhan kedua bibir karena terbawa suasana, mengantarkan hubungan pertemanan mereka berubah arah. Pertama kalinya mereka melakukan kontak fisik secara tidak sengaja, yang selanjutnya menjadi terbiasa.

Meski mereka tidak terikat hubungan asmara, tetapi diam-diam Evelyn mencintai Damian. Ya, cinta rahasia. Itulah alasan kenapa dirinya menyerahkan diri pada si pria.

"Makanya Luna harus bobo. Deal?" Evelyn mencoba menawarkan kesepakatan.

Belum sempat Luna menjawab, suara pintu kamar yang terbuka menyita atensi mereka. Ada Arini yang muncul di baliknya dengan membawa segelas susu hangat di atas nampan.

"Astaga ... sudah larut malam begini kenapa anak bungsu Mama belum tidur juga, hm?" wanita baya itu memasang senyum teduh pada Luna, cucu yang ia anggap sebagai anak.

Sedangkan mata biru balita itu tampak berbinar melihat apa yang Arini bawakan untuknya. Ia segera mendudukkan dirinya menyambut wanita yang ia anggap sebagai 'Mama'. "Belum minum susu, Ma!"

"Baiklah. Susu hangat untuk anak Mama yang cantik segera datang ...." Senyum Arini melebar saat ia mengayunkan langkah mendekat, lalu menyerahkan segelas susu yang ia bawa untuk Luna. Setelahnya, ia mendudukkan diri di tepi tempat tidur si balita—yang kini sedang meminum susu darinya.

"Pelan-pelan minumnya, Sayang," tegur Evelyn saat ia melihat Luna meminum susunya dengan tergesa.

"Sudah." Dan Luna berhasil menandaskan minumannya dengan cepat. Ia tersenyum lebar, memperlihatkan barisan gigi susunya yang rapi.

"Nah, sekarang Luna bobo. Karena besok setelah Luna pulang sekolah, kita semua akan pergi bersama." Arini berucap seraya mengambil gelas kosong di tangan Luna, meletakkannya di atas nampan seperti posisi semula.

"Woah ... liburan, Ma?" bukan hanya Luna yang terkejut atas ucapan Arini, Evelyn juga merasakan hal serupa. Mereka berdua menatap bersamaan pada si wanita baya, penuh tanya sekaligus bahagia.

"Bisa dibilang begitu."

"Asyik!" atas konfirmasi pembenaran dari Arini, Luna berteriak senang di tempatnya. Setelah itu si gadis kecil segera memosisikan diri untuk tidur. "Kalau begitu, Luna mau bobo sekarang," lanjutnya.

"Good girl. Mimpi indah, Sayang." Arini menghadiahkan ciuman di dahi kemudian membenarkan selimut Luna sebelum ia mengajak Evelyn untuk turut keluar dari kamar si balita.

***

Gelap dan senyap. Suasana itu tidak sedikit pun mengganggu, justru hal tersebut seakan semakin menambah fokusnya ketika menelaah kata demi kata atau angka-angka yang terpampang di layar monitor laptop.

Pria berdarah blasteran berusia nyaris seperempat abad itu sudah hampir setahun ini kembali menetap di Indonesia setelah 5 tahun lebih mengambil pendidikan di Jerman. Ia memegang jabatan cukup tinggi di agensi periklanan yang keluarganya dirikan. Menuruti keinginan ayah dan ibunya, dirinya berambisi menjadi seorang pebisnis besar yang sebentar lagi akan menggeser posisi Sang ayah di perusahaan.

"Jangan terlalu memforsir tenagamu, Nak. Kita makan malam bersama dulu, Papa sudah menunggu di bawah." Suara bernada lembut itu berhasil membuyarkan konsentrasi Damian Alexander. Dan ketika ia menoleh ke asal suara, sosok Sasmitha, ibunya, sudah berdiri di ambang pintu kamarnya yang telah terbuka.

Damian memang sengaja tidak segera keluar dari kamar, meneruskan pekerjaan yang barangkali masih tersisa adalah opsi yang selalu dirinya ambil setelah pulang dari kantor. Bahkan tirai tebal yang menutupi jendela sudah ia tutup rapat meskipun senja masih menampakkan kemilau cahayanya.

"Kalian makan saja dulu." Damian membalas acuh lalu kembali memusatkan perhatian pada layar monitor. Tangan kanannya kembali menggerakkan kursor seakan presensi sang ibu bukanlah hal penting yang harus dirinya berikan atensi. "Aku sebentar lagi selesai dan akan langsung kembali ke kantor. Aku ada pertemuan penting malam ini dengan seorang copywriter baru dan sepertinya tidak akan sempat jika harus makan malam bersama," lanjutnya.

"Kau selalu saja beralasan." Ada hela napas berat di sela ucapan Sang ibunda. Wanita baya itu mengayunkan langkah kaki mendekati putranya, menatap punggung tegap itu dengan pedih. "Sudah lama sekali kita tidak duduk bersama di meja makan, Nak. Apa kau tidak merasa? Apa kau masih menaruh kebencian pada orang tuamu ini?"

Damian memejamkan mata mendengar ucapan ibunya. Ia menghentikan gerakannya seketika, ada gurat kesal yang samar menghiasi wajah tampan itu ketika ia mengurut pangkal hidungnya. "Bukan begitu. Mungkin memang belum ada kesempatan, lain kali kita makan bersama."

"Kau begitu dekat, namun terasa begitu jauh. Kau benar-benar menjadi orang yang berbeda."

"Itu hanya perasaan Mama saja. Bukankah aku yang seperti inilah yang kalian inginkan?" kepala pria itu menoleh ke belakang, dengan alis pirangnya yang terangkat saat menatap mata ibunya. "Aku sudah menuruti apa mau kalian, bukan? Seharusnya kalian merasa senang."

Jujur saja, Damian sudah lelah dijadikan pengganti Darren, Kakaknya. Ia Damian, dan ia punya kuasa untuk menentang. Ia bukan lagi boneka milik kedua orang tuanya.

Di usianya yang semakin matang membuat banyak perubahan di diri pria itu. Bukan hanya pemikiran, postur tubuh pria itu pun semakin tinggi dan kekar akibat olah raga rutin yang ia lakukan. Damian bukan lagi laki-laki tanggung yang hanya mampu menurut perintah orang tua, keadaan membuatnya bermertamorfosis menjadi pria yang sedikit dingin, terlebih kepada ayah dan ibunya.

"... maaf," lirih Sasmitha. Kepalanya perlahan menunduk sendu. Ia tentu sadar bahwa ucapan Damian mengandung sindiran. Sejujurnya ia pun merasa bersalah karena telah memaksakan kehendak, namun semua sudah terlanjur.

Dan kenyataannya, permintaan maaf Sasmitha justru membuat suasana hati Damian semakin memburuk saja. Dengan gerakan cukup kasar ia menutup laptopnya.

"Aku sudah selesai. Bolehkah aku meminta Mama untuk keluar dari kamarku? Aku akan berganti baju."

Sasmitha mematung sebentar mendengar nada ketus putranya. Namun, di detik berikutnya wanita itu memilih angkat kaki.

Dan ketika Sasmitha menghilang di balik pintu dengan membawa wajah pilu, di situ lah Damian meremas rambutnya. Sejujurnya ia merasa menjadi manusia paling berdosa setiap kali ia bersikap dingin seperti itu pada ibunya, namun rasa sakit di hati membuatnya memilih bersikap begitu.

Dan nyatanya pria itu belum menyadari bahwa dirinya pun memiliki dosa besar terhadap Evelyn, sahabat yang ia tinggalkan begitu saja ketika keluarganya memutuskan untuk pindah ke Jerman, negara kelahiran ayahnya.

Akankah suatu saat nanti Damian mengetahui fakta bahwa dirinya telah menyandang status sebagai seorang ayah?

***

Tbc...