Bab 7
Di tempat lain ….
“Dik, bawa Widuri ke tempat yang aman!” Bumi menyerahkan Widuri dari gendongannya kepada Wintang.
Tak ada banyak waktu, Wintang yang sejak awal diserang perasaan tak menentu hanya bisa menurut, mengambil alih Widuri dan membawanya pergi ke sudut ruangan. Air matanya sudah berlelehan sejak tadi. Rasa takut yang hinggap menyerang dadanya, membuat Wintang merasa sangat sesak, sampai-sampai membuat Wintang merasa kesulitan untuk sekedar bernafas. Melihat keadaan Pandu saat ini, tak ada yang bisa ia lakukan selain menangis pasrah serta memanjatkan doa tiada henti, berharap Allah Subhanahu wata’ala masih sudi memperpanjang umur bocah kecil berwajah tampan kesayangannya itu.
Semakin lama, tubuh pandu semakin bergetar hebat. Tubuhnya mendadak kejang dengan bagian dada sedikit terangkat ke atas.
“Audzubillahi minas syaiton nirojim, Bismillahirrohmanirrohim—,” ucap Bumi dengan lantang, lengkap dengan lengan baju yang sudah ia singsingkan serta lengkap dengan posisi kuda-kuda yang ia sempurnakan.
“Allahu akbar!” Lanjut Bumi lagi, menarik ke bawah telapak tangan yang ia letakkan mengambang tepat di atas kepala Pandu.
Tak terduga, kedua mata yang sudah beberapa tahun belakangan selalu terpejam, kini mendadak terbuka lebar, melotot ke atas, mendelik begitu saja, masih dengan tubuh yang bergemetar hebat tak karuan.
Untuk sesaat, Bumi terkejut bukan main. Ia sama sekali tidak menduga serta tidak tahu apa yang sebenarnya kini sedang terjadi kepada keponakan kesayangannya itu.
“Kang Mas Pandu, Bu …,” ucap Widuri lirih, merasa ketakutan, khawatir Kang Masnya itu kenapa-kenapa.
Widuri memang masih sangat kecil untuk anak seusianya. Namun, kepekaan yang Widuri miliki begitu kuat. Ia sudah memiliki kemampuan untuk mengartikan setiap situasi yang ia lihat, wajar jika kini ia juga ikut merasa takut akan kehilangan sang kakak tersayang.
“Tenang sayang, Kang Mas Pandu akan baik-baik saja, Nduk. 'Kan ada Pak De Bumi di sini,” balas Wintang berusaha menjamin bahwa semua akan baik-baik saja, setengah berbohong, demi menenangkan putri kecil kesayangannya.
Tak lupa, Wintang juga memeluk erat sang putri kesayangan, membiarkan gadis kecil itu menyandarkan kepalanya di atas dada miliknya agar bisa merasa sedikit agak nyaman sementara dirinya sendiri tak kalah merasakan ketakutan yang jauh lebih besar. Menyaksikan apa yang Pandu alami saat ini, naluri seorang ibu yang ia miliki memberi tahu dirinya bahwa putra kesayangannya itu tidak sedang baik-baik saja, namun berusaha ditepis oleh Wintang sebisa yang ia bisa, berusaha keras meyakinkan diri sendiri dengan kebohongan dan harapan palsu yang ia tanamkan sendiri juga.
Menyadari bahwa kemampuan yang ia punya tak mampu menangani apa yang saat ini sedang terjadi kepada Pandu Sang Mandala, keponakan kesayangannya, Bumi memutuskan menyudahi usaha yang ia lakukan. Bukan menyerah, melainkan memikirkan apa yang harus ia lakukan untuk langkah selanjutnya.
Bumi tampak gelagapan, ia pasti sangat kebingungan. Niat hati ingin melindungi adik serta kedua keponakannya dengan sepenuh hati, apalah daya, semua di luar batas kemampuannya. Mungkin, kalau Denjaka berada di sini bersama dengan dirinya, Bumi tak akan kewalahan seperti sekarang ini. Setidaknya, ada teman yang bisa ia ajak untuk bertukar pikiran menentukan jalan dan keputusan yang harus ditentukan.
Dengan penuh rasa kecewa kepada dirinya sendiri, Bumi menoleh ke belakang, tepat ke arah di mana Wintang sedang memeluk Widuri sangat dalam. Menyingkirkan segala keegoisan di hatinya, tanpa peduli seluruh dunia akan menganggap dirinya seorang pecundang sekalipun, Bumi menatap Wintang penuh harap.
“Dik, aku butuh bantuanmu,” kata Bumi dengan suara tercekat.
Berhasil menangkap jika keadaan semakin tidak baik-baik saja, Wintang melepaskan tangan mungil Widuri yang saat ini sedang memeluk erat dirinya.
“Ada apa Kang Mas? Katakanlah …,” balas Wintang, berusaha menutupi rasa cemas.
“Jaga Pandu baik-baik selama aku pergi,” jawab Bumi terdengar putus asa.
Tak tahu apa yang akan sang kakak lakukan sekarang, Wintang menatap wajah beraut penuh kecemasan itu dengan nanar, mencoba menelisik, mencari jawaban yang mungkin saja terselip.
“Kang Mas mau pergi ke mana?” tanya Wintang tak tahan menahan rasa penasaran.
“Aku akan pergi ke rumah Pak Lek Ali. Kita butuh bantuannya,” balas Bumi lagi, tertunduk lesu, tak dapat memikirkan cara lain lagi.
Tanpa sempat menunggu Wintang memberi jawaban, Bumi beranjak pergi membawa sejuta kesedihan serta ketakutan mendalam. Takut jika keponakannya kali ini akan kalah pada ketetapan takdir yang telah Allah gariskan.
“Assalamualaikum,” ucap Bumi, tak lupa mengucapkan salam.
“Waalaikumsalam,” jawab Wintang dengan perasaan tak tenang.
Di satu sisi Wintang takut menjaga Pandu dalam keadaan seperti ini sendirian. Di satu sisi yang lain, Wintang juga tidak kuasa melarang Bumi untuk pergi. Sebab, Wintang tahu betul, jika saat ini Pandu memang sedang membutuhkan pertolongan. Dan satu-satunya orang yang bisa ia pikirkan untuk dimintai bantuan hanyalah Ali, Pak Leknya yang masih memutuskan untuk hidup seorang diri tanpa kekasih hati sampai sekarang.
Selepas kepergian Bumi, Wintang menggelar sajadah di atas lantai. Dengan wudhu yang selalu terjaga, Wintang memutuskan untuk sembahyang. Wintang ingin mengadu kepada Sang Khalik akan ketakutan yang saat ini memenuhi setiap rongga di dadanya hingga penuh tanpa ada cela yang tersisa.
“Allahu akbar.” Wintang mengangkat kedua tangannya sejajar dengan garis telinga, mulai mengangkat takbir sembari berlinangan air mata.
“Bapak, Widuri takut …,” gumam Widuri, duduk berjongkok di sudut ruangan, membenamkan wajahnya ke lutut, berharap sang ayah akan segera datang dan ada menemaninya di sini mengobati segala ketakutan yang ia rasakan.
Gadis kecil itu sangat pintar. Selama Wintang menyelesaikan shalatnya, ia hanya diam, meredam ketakutannya seorang diri tanpa mengganggu apa yang sedang sang ibu lakukan. Sesekali, Widuri melirik ke arah tempat tidur di mana Kang Masnya itu terbaring, dalam keadaan yang masih sama seperti sebelumnya.
Seperti yang sudah-sudah, Widuri melirik lagi ke arah Pandu. Namun kali ini, bocah kecil itu mendadak berhenti menangis. Air mata yang masih tertinggal di pipi cabinya langsung ia usap, menghapus semua tanpa menyisakan jejak.
“Kang Mas Pandu?” ucap bocah kecil itu.
Senyum di bibirnya sekarang melekat, kedua manik matanya juga berbinar, benar-benar senang menyaksikan apa yang saat ini ia lihat.
Berbeda dari apa yang sebelumnya ia lihat, sosok Pandu kini berdiri di luar kaca jendela, melambaikan tangannya kepada Widuri, mengundang Widuri untuk datang.
Mendapati sang kakak yang sudah lama tak pernah bermain bersama dirinya berada di luar sana dalam keadaan yang terlihat baik-baik saja, Widuri langsung sumringah. Ia sangat senang menyaksikan kakak kesayangannya kini melambaikan tangan dan mengajaknya untuk bermain bersama.
Gejolak rindu semakin tidak tertahankan. Ingin segera mengobati kerinduan di hatinya, Widuri langsung berdiri, kemudian melangkahkan kaki penuh semangat keluar dari kamar seorang diri tanpa berkata apa-apa kepada Wintang, sekedar berpamitan.
Kaki kecil Widuri berlari. Sambil membawa boneka kesayangan di tangannya, Widuri berniat untuk menghampiri Pandu yang entah bagaimana bisa berada di luar rumah begitu saja.
