Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2

“Tenang saja, Mas. Saya tidak sendirian. Kan ada Widuri yang akan menemani,” kata Wintang lagi, memotong keraguan sang suami, menoleh ke arah gadis kecil menggemaskan yang menyembulkan kepalanya dari balik ruangan, memperhatikan kedua orang tuanya secara diam-diam.

Biasanya, jika Wintang sudah menyebut namanya dengan bangga, Widuri akan datang menyahut, membenarkan apa yang sang ibunda katakan dengan mantap. Namun kali ini, Widuri tidak melakukannya. Ia justru tampak berbeda dari biasanya.

Tetapi berdiri di ambang pintu dan menyembulkan bagian kepalanya, gadis kecil itu malah menatap binar ke arah sang ayah sambil menggigit pelan bibir bawahnya. Kedua netranya hampir basah dengan keberadaan cairan bening yang berkumpul di bawah pelupuk mata.

Ekspresi penuh harap-harap cemas juga tergambar jelas di wajah pemilik pipi cabi nan menggemaskan tersebut, seolah tidak ingin memberi izin kepada sang ayah untuk pergi meninggalkan dirinya di rumah.

"Ya sudah, Kang Mas berangkat dulu," kata Denjaka setelah berpikir beberapa saat, berpamitan kepada Wintang.

Tak ingin memberatkan langkah sang suami, Wintang memaksakan senyum di bibirnya terus merekah, mengangguk pelan sembari meraih tangan sang suami dan menciumnya dengan takzim.

"Hati-hati di jalan, Mas. Semoga Allah senantiasa melindungimu," kata Wintang pelan, menyisipkan doa dalam izin yang ia berikan.

"Aamiin .... Terima kasih banyak, Dik," balas Denjaka menatap lekat wajah istri soleha, satu-satunya perhiasan dunia yang ia punya.

Seolah merasa berat untuk meninggalkan Wintang sendirian menjaga kedua anaknya di rumah, Denjaka menyentuh pipi Wintang dengan sangat lembut. Di wajah Denjaka tersirat jelas sebuah keraguan yang tidak dapat disingkirkan yang menahan langkah kakinya untuk pergi.

Kalau bukan karena seseorang sedang membutuhkan bantuan darinya, sudah bisa dipastikan, Denjaka tidak akan pergi ke mana-mana, lebih memilih menemani sang istri menjaga kedua anaknya di hari yang sudah semakin malam ini.

Selanjutnya, suasana mendadak hening. Tak ada satu patah kata pun yang terucap dari bibir keduanya, hanya saling menatap dengan sirat mata penuh makna.

"Cepat pergilah .... Dan jangan lupa lekas kembali," lirih Wintang memberi pesan, ingin menyudahi suasana yang semakin membuat hatinya jadi tidak rela ditinggalkan oleh sang suami.

Tidak ingin membuat Mbah Tarjo menunggu terlalu lama, Denjaka terpaksa mengakhirinya, menyudahi menatap wajah sang istri dengan sangat begitu lekat, memalingkan wajahnya dengan sangat berat.

"Ya sudah, Kang Mas pergi dulu," kata Denjaka sembari beranjak pergi melangkahkan kaki keluar dari rumah.

"Assalamualaikum," kata Denjaka lagi.

"Waalaikumsalam," jawab Wintang, terus menatap punggung sang suami yang perlahan mulai menjauh.

Seolah harapan agar sang ayah tidak jadi pergi tidak dapat terwujudkan, bocah lima tahun itu langsung berlari dan berteriak, berusaha menghentikan langkah sang ayah yang sebenarnya belum seberapa jauh.

"Bapak ...!" teriak Widuri kencang sambil berlari, berusaha mengejar Denjaka yang sudah sampai di luar.

Dengan cepat, Wintang menangkap tubuh mungil itu, memeluknya dengan sangat erat, menghalau niat hati Widuri yang ingin menahan sang ayah untuk pergi dan tetap berada di sisinya sampai besok pagi.

"Lepas, Bu. Widuri mau mengejar Bapak," pinta bocah kecil itu sudah menangis, berlinang air mata.

"Widuri sama ibu di rumah. Bapak pergi sebentar, ya," kata Wintang, mencoba membujuk sang putri kesayangan yang tingkahnya tak seperti biasanya.

Sebagai anak perempuan, Widuri memang sangat dekat dengan Denjaka, apalagi selama ini Denjaka selalu meluangkan waktu untuk menyempatkan diri bermain dan berbincang dengan anak-anaknya, menghadirkan sosok ayah berkualitas untuk kedua anaknya, wajar jika Widuri sedekat itu dengan sosok pria yang selalu menjadi idola di dalam hidupnya.

Namun, meski begitu, Widuri adalah anak yang baik. Dia tidak pernah bertingkah dan menyulitkan ayah serta ibunya. Meski masih sangat kecil, biasanya Widuri sangat penuh dengan pengertian. Ia sama sekali tidak pernah merengek dalam hal apapun. Bisa dibilang, ini adalah kali pertama Widuri bersikap seperti sekarang ini.

Bak tidak ingin dinegosiasi, Widuri memberontak, ia menggeliatkan tubuh kecilnya tanpa henti, berusaha lepas dari pelukan sang ibu, membuat Windang yang sejak tadi berusaha menenangkan putri kesayangannya jadi mulai kewalahan.

"Widuri mau sama Bapak saja!" teriak bocah kecil itu menolak, tetap teguh pada pendirian dan keinginannya.

Meski dengan penuh keraguan meninggalkan anak dan istrinya di rumah sendirian, Denjaka tidak bisa mengabaikan panggilan hatinya, membantu Mbah Tarjo yang membutuhkan bantuannya. Semenjak kehilangan Nyi Sendang Langgeng yang menghilang entah kemana tanpa sempat berpamitan dan meninggalkan pesan satu patah kata pun, Denjaka memang enggan meninggalkan keluarganya. Ia takut, jika Wintang, satu-satunya perempuan yang saat ini mendampingi dirinya juga akan ikut menghilang, meninggalkan dirinya sendirian. Apalagi, ditambah dengan kondisi Pandu saat ini, anak pertamanya yang sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja, membuat Denjaka ingin selalu dekat dengan keluarga kecil miliknya.

Dua tahun lalu, bersamaan dengan menghilangnya Nyi Sendang Langgeng dari kehidupan Denjaka secara tiba-tiba dan meninggalkan tanya tanpa sebuah jawaban, Pandu, bocah laki-laki yang saat itu baru menginjak usia tujuh tahun tiba-tiba jatuh tak sadarkan diri ketika sedang asyik berlatih beberapa jurus ilmu bela diri bersama Denjaka tanpa sebab yang pasti dan tidak kunjung sadarkan diri hingga saat ini. Sudah dua tahun sejak kejadian itu sampai sekarang, bocah laki-laki berhidung bangir dengan dagu terbelah di tengah-tengah yang menggaris sampai ke bibir bagian bawah itu sangat tampan, terlelap tenang dalam tidurnya yang panjang, persis seperti pangeran yang sedang terbuai di dalam buaian.

Ya, sudah dua tahun berjalan, kondisi Pandu seperti sekarang ini. Sekilas, bocah ini terlihat sehat dan baik-baik saja. Bahkan, menurut pemeriksaan Mantri yang ada di desa ini, keadaan Pandu baik-baik saja, kecuali kondisinya yang seperti orang tidur, namun tak kunjung bangun sebagaimana yang harusnya terjadi pada tidur yang dilakukan oleh orang-orang normal pada umumnya.

Segala upaya sudah dilakukan. Dengan kemampuan yang Wintang miliki, Wintang juga sudah berusaha untuk mengobati anak sulungnya itu seorang diri, namun tak kunjung membuahkan hasil. Tidak hanya itu, atas rekomendasi dan di bawah pengawasan ketat dari Bumi secara langsung, Pandu juga sudah pernah di bawa ke rumah sakit satu-satunya yang ada di seberang pulau, namun sama saja, tidak ada perubahan apa-apa.

Selama dua tahun ini, sudah terlalu banyak waktu, biaya, tenaga, serta upaya yang Denjaka dan semua orang lakukan demi kesembuhan Pandu. Tidak ada lagi yang dapat semua orang lakukan selain bersabar dan juga terus berdoa, berharap Allah Subhanahu wa ta'ala segera memberi kesembuhan kepada Pandu.

"Ayo berangkat, Mbah," kata Denjaka, mengajak Mbah Tarjo untuk segera naik ke sepeda motor Honda C70 miliknya.

Sedikit agak kesulitan, Mbah Tarjo mulai naik, duduk di jok belakang, kemudian melingkarkan kedua tangannya erat-erat ke pinggang milik Denjaka, takut dirinya akan tertinggal begitu saja bersamaan tali gas yang dipulas oleh Denjaka.

"Ngeeeeng!"

Denjaka membebaskan sepeda motornya, membiarkan kendaraan roda dua miliknya melesat, memecah jalanan di tengah cahaya gelap nan mencekam. Hujan rintik-rintik mengiringi kepergian keduanya, memperlengkap suasana yang membuat bulu kuduk jadi merinding bersamaan semilir angin dingin yang masuk ke pori-pori sampai menusuk ke dalam tulang.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel