Pustaka
Bahasa Indonesia

Pesona Gadis Oplas

101.0K · Tamat
Romansa Universe
85
Bab
1.0K
View
8.0
Rating

Ringkasan

Nira si gadis buruk rupa tiba-tiba berubah menjadi cantik akibat sebuah insiden kecelakaan yang dialaminya. Identitas, rumah, dan pekerjaannya pun berganti. Lebih parahnya lagi, ternyata ia juga ditunangkan dengan seorang pria yang merupakan bos di tempat ia bekerja sebelumnya. Apakah benar menjadi cantik merupakan suatu berkah atau malah malapetaka baru yang semesta berikan pada Nira?

RomansaMetropolitanPengkhianatanWanita Cantik

Bab 1 Preman Dan Penolong Tak Dikenal

Bab 1 Preman Dan Penolong Tak Dikenal

Di sebuah kafe ternama yang terletak di jantung kota Surabaya, namanya ‘Hugo’s Cafe’, terlihat seorang wanita yang sedang membantu pelayan membereskan meja dengan semangat. Ia sebenarnya hendak pulang lebih dulu karena pekerjaannya sudah selesai. Tapi ia urungkan niatnya, dan langsung membantu pelayan baru yang terlihat sangat keletihan.

“Terima kasih, Nira,” ucap pelayan tersebut dengan mata berkaca-kaca.

“Tidak usah sungkan, lagi pula pekerjaanku sudah selesai. Kau terlihat sangat lelah, aku tidak tega melihatmu bekerja sendirian.” Nira tersenyum tulus pada pelayan tersebut, lantas kembali fokus mengelap meja. Nira bekerja di kafe itu sudah ada sekitar sembilan bulan lamanya, ia mendapat posisi menjadi kasir. Ia memang termasuk pekerja yang sangat aktif dan cepat dalam mengerjakan pekerjaannya. Ia pun sangat dipercaya dan juga ramah terhadap siapa pun.

“Nah, selesai. Aku pulang, ya. Sampai jumpa,” ujar Nira sembari berjalan cepat keluar kafe tanpa menengok lagi ke pelayan itu. Ia terlihat seperti memburu sesuatu.

“Baik, hati-hati di jalan.” Pelayan tersebut melambaikan tangannya, lantas tersenyum, matanya memerhatikan punggung Nira hingga hilang di kelokan jalan.

Malam sudah semakin larut. Rembulan asik bertengger di langit hitam tanpa bintang. Suara kendaraan seperti menghilang di jalanan. Nira memutuskan untuk berjalan kaki setelah ojek online yang ia pesan tidak kunjung datang dan yang lainnya selalu menolak pesanan. Nira menghela nafas, matanya bolak-balik memandangi jam yang sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Jarak dari kafe menuju rumahnya tidak begitu jauh, jika berjalan cepat, mungkin kurang dari satu jam kemudian ia sampai di rumah.

Hal itu tidak membuat dirinya geram. Hanya saja, malam itu ia merasa aneh, mengapa jalanan begitu sepi. Biasanya selalu ada barang dua atau tiga mobil yang berlalu lalang. Nira terus berjalan tanpa memedulikan pikiran-pikiran buruk yang berkelebat di pikirannya. Ia terfokus pada bagaimana ia bisa cepat sampai di rumah. Sepertinya ada yang menunggu kepulangannya. Ya, memang pulang adalah cara terindah untuk melegakan kekhawatiran.

Sudah setengah jam ia berjalan. Tiba-tiba, jalanan di hadapannya kali ini begitu gelap. Sepertinya lampu jalan mati dan belum diperbaiki. Ia berhenti sejenak untuk menahan ketakutannya.

“Sial, mengapa gelap sekali,” lirih Nira. Ia menutup mata beberapa detik, lantas mengumpulkan keberaniannya. Setelah ia siap untuk melangkah, dari arah depan muncul seorang lelaki berperawakan tinggi besar, berkulit hitam, dan ia juga memakai jaket kulit hitam. Nira melangkah mundur dengan perlahan. Namun, dari arah belakang, Nira malah menubruk seseorang.

“Mau ke mana, cantik?” ucap orang tersebut.

Jantung Nira berdegup sangat kencang, ia menoleh ke arah belakang dan menemukan sorot mata yang tajam.

“Ma-maaf.” Nira segera berlari ke arah samping, namun ada seorang lelaki lagi yang mencegatnya. Pada situasi itu, ia benar-benar merasa takut, pikiran buruk mulai menghampirinya. Ia berniat berlari lagi ke arah belakang. Namun, lelaki yang berjaket kulit hitam menghalanginya lagi. Nira baru ingat, di daerah sini memang sering terjadi perampokan oleh sekelompok preman. Sungguh, ia baru pertama kali dihadapkan dengan situasi seperti itu. Para preman semakin mendekatinya sembari menatap Nira dengan tatapan tajam dan menjijikan.

“Siapa kalian? Apa yang kalian inginkan?” ujar Nira dengan suara yang diberani-beranikan. Ia menatap ketiga lelaki itu. Mereka semua berperawakan besar, bedanya, dua orang lainnya memakai kaus hitam, tapi berwajah sawo matang, tidak seperti orang yang berjaket kulit hitam itu.

“Hahaa ... yang kami inginkan? Kami ingin semua uangmu. Sini berikan!” ucap preman itu dengan sangar.

“Tidak, jangan! Tidak akan aku berikan sepeserpun pada kalian!” Nira menggenggam tasnya erat-erat.

“Halah, sini!” Preman itu menarik tas Nira dengan paksa.

“Tidak ... pergi!” Nira tetap mempertahankan tasnya.

“Jika kamu tidak mau terluka, serahkan semua barang berhargamu.”

“Tidak!” teriak Nira sembari menggelengkan kepala.

“Oke, ternyata kamu lebih memilih terluka, ya.” Preman berjaket kulit menggerakkan kepalanya, mengisyaratkan kepada teman-temannya untuk memegangi wanita itu.

Preman berkaus hitam berhasil menarik paksa tas Nira. Kemudian mencopot dengan paksa juga cincin yang berada di jari manis wanita malang itu. Nira tidak bisa bergerak karena tubuhnya ditahan oleh preman. Ketika mereka ingin mengambil gawai yang berada di saku celananya, kaki Nira bergerak dengan cepat, ia menendang selangkangan preman yang sedang memeganginya.

“Argghh, wanita gila!” preman itu memegangi pusat kesakitannya. “Ini masa depanku,” lanjutnya. Ia terlihat seperti orang yang sangat sengsara.

Tidak hanya itu, Nira juga bersiap-siap untuk menendang preman yang memakai jaket kulit, sepertinya ia adalah ketua premannya. Dan benar saja dugaan Nira, lelaki itu memang ketua kelompok preman tersebut setelah Nira melihat identitas yang berada di jaketnya yang bertuliskan ‘Leader’.

“Mau apa kamu? Menendang? Haha, silakan tendang.” Preman itu menantang Nira.

Saat kaki Nira hampir mengenai betis preman itu, kakinya lebih dulu ditangkap dan Nira didorong sampai ia terjatuh ke jalan. Tangannya terluka.

“Aw.. Hiks.” Nira kesakitan. Terutama bokongnya.

“Sudah main-mainnya, ya.” Preman itu menatap Nira dengan tatapan mengejek layaknya kepada anak kecil yang baru jatuh dari sepeda. Ia lantas mengambil gawai yang berada di saku celana Nira.

“Terima kasih, cepat pulang, ya, anak baik.” Ia memperhatikan wajah Nira. “Hmm sepertinya temanku tadi salah lihat, ternyata kamu tidak cantik,” lanjut preman itu sembari tertawa dan lantas menepuk bahu teman-temannya, mengisyaratkan untuk segera pergi dari tempat itu. Mereka meninggalkan Nira yang masih tertatih untuk berdiri. Ia merasa tubuhnya lemas sekali.

“Tolooong ... toloong!” Nira meneteskan air mata. Semua uangnya ada di dalam tas itu. Ia mendadak khawatir, bagaimana jadinya jika ia pulang tidak membawa uang.

“Hey, jangan ambil uangku!” Nira bangkit dari jatuhnya. Kakinya siap melangkah mengejar preman yang membawa tasnya. Tiba-tiba, ia dengan sekilas melihat mobil yang berada di sebrang jalan. Nira dengan penuh keberanian mengejar preman itu, lantas menarik jaketnya, dan meninju si preman sebisanya.

Preman itu merasa geram. “Kau ingin main-main lagi denganku, hah?” ucap preman dengan sangar. Nira mundur beberapa langkah dengan perlahan.

Preman itu menunjukkan kepalan tangan ke hadapan Nira. Ia menelan air liurnya. Kepalan tangan itu begitu besar dan menyeramkan. Saat tinju hampir mendarat di wajah Nira, tiba-tiba ada seseorang yang menangkis tinju tersebut.

Mereka saling berpandangan sinis.

“Dasar pecundang! Berani-beraninya melawan seorang wanita,” ucap lelaki yang memakai setelan jas.

“Kampret! Siapa kau berani mencampuri urusanku?” tanya preman itu.

“Aku? Aku adalah ini ....” Lelaki tersebut meninju hidung si preman hingga berdarah. Si preman menjadi sangat geram, hingga saat itu terjadilah perkelahian tiga lawan satu. Lelaki berjas itu begitu lihai dalam berkelahi, ia mampu menangkis, menghindar, bahkan menyerang para preman. Para preman berhasil dikalahkan, mereka akhirnya kabur dengan luka ringan, dan ada juga yang patah tulang. Lelaki berjas menyerahkan tas Nira beserta gawainya.

“Terima kasih,” ucap Nira. Namun, lelaki berjas itu tidak menghiraukannya sama sekali dan malah langsung pergi menuju mobilnya. Nira sedikit heran dengan tingkah lelaki itu.

“Dia siapa, ya?” pikirnya. “Tunggu, sepertinya aku mengenali mobil itu. Ah, tapi tidak mungkin.” Ia memikirkan seseorang yang tidak asing baginya. Dengan segera ia menepis pikiran itu, ia tidak mau berpikir aneh-aneh lagi, ia sangat bersyukur bisa selamat.

Nira dengan cepat berjalan menuju rumahnya. Ia tidak mau sesuatu keburukan terjadi akibat ia pulang sangat larut malam.

Setelah Nira meninggalkan tempat gelap itu, ada seseorang yang berada di dalam mobil, yang sebenarnya sejak tadi memperhatikan dari kejauhan. Menurutnya, kejadian tadi membuatnya tertarik. Mungkin hal itu menjadi hiburan tersendiri baginya.

“Sudah, Pak,” ucap lelaki berjas kepada bosnya, saat ia baru duduk di kursi kemudi.

“Hanya berandal kampungan. Kerja bagus,” ucap lelaki itu. “Bagaimana si wanita?” lanjutnya.

“Ia terlihat baik-baik saja, Pak. Hmm, mengapa Bapak ingin menolongnya?” tanya sang asisten.

“Aku tidak menolongnya. Lupakan saja, mari kita pergi,” ucap sang bos kepada asistennya dengan tatapan dingin yang ia arahkan ke depan.

“Baik, laksanakan, Pak.” Mobil itu melaju meninggalkan kesepian malam dan sebuah kebingungan.

***

Bersambung