Pustaka
Bahasa Indonesia

Pesona Adik Ipar

61.0K · Tamat
Soesan
57
Bab
10.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Mencintai kakak ipar sendiri bukanlah rasa yang diimpikan oleh gadis desa bernama Laras. Kebencian dan rasa acuh kakak tirinya terhadap suami membuat rasa itu tumbuh dengan sendirinya. Cinta yang akhirnya terbalas, namun kerena cinta itu nyawanya dipertaruhkan. Karena cinta itu juga, kegadisannya hampir melayang di tangan yang tidak bertanggung jawab. Kekejaman dan kebencian Rere membuat hidup Laras menderita. Hanya pengorbanan nyawa yang bisa menghentikan semua penderitaannya.

PengkhianatanRomansaSweetPernikahanKeluargaIstriFlash MarriageMenyedihkanDewasa

Chapter 1

Seorang gadis dengan pakaian sederhana dan tas ransel di punggungnya berdiri di tengah keramaian terminal kota. matanya mengarah ke segala arah seolah sedang menunggu seseorang.

Kakinya dihentakkan ke tanah dan kepalanya tertunduk memperhatikan tingkahnya sendiri.

Sebuah mobil hitam berhenti tepat di depannya, kaca mobil terbuka dan seorang pria melongok kepala ke arah gadis itu.

"Apa kamu yang bernama Laras?" tanya pria itu.

Laras melihat pria tersebut dengan rasa ragu.

"kamu siapa?" tanyanya.

"Aku, Bram. Rere menyuruhku untuk menjemputmu."

Laras masih ragu dengan ucapan pria itu.

"Tapi kak Rere tidak bilang padaku kalau menyuruh orang lain untuk menjemputku. Dia bilang dia sendiri yang akan menjemput aku," ucap gadis itu polos.

"Dia sedang ada pemotretan. Bagaimana, kamu mau ikut denganku atau mau menunggunya menjemputmu? Mungkin bulan depan dia baru menjemputmu," ucap pria itu kesal.

"Tunggu! Aku akan menelponnya."

"Tidak ada waktu! Kalau mau ikut sekarang masuklah! Tapi kalau tidak, aku akan meninggalkanmu."

Laras melihat pria itu sekali lagi, sepertinya pria itu tidak berbohong.

Laras masuk ke dalam mobil bagian belakang supir.

"Kamu kira aku sopirmu? Pindah ke depan!" Pria itu merasa geram.

Dengan ragu Laras akhirnya menuruti perintah pria itu.

"Kakak sama adik sama saja, menyebalkan," ucapnya lirih.

"Maaf," ucap Laras mendengar perkataan pria itu.

Sepanjang perjalanan Laras hanya terdiam dan menunduk. Sesekali dia melihat ke arah jalan lurus ke depan.

Pria itu pun tetap fokus pada kemudinya.

Hari ini Bram merasa kesal karena Rere memaksanya untuk menjemput adiknya, Laras dan mengatakan bahwa dia akan tinggal bersama mereka tanpa membicarakan terlebih dahulu dengannya. Bahkan Bram tidak diberi kesempatan untuk mengatakan tidak atau setuju pada keputusannya itu.

Bram memasuki pekarangan rumah yang bisa dibilang mewah dan besar dan menghentikan mobilnya tepat di depan pintu teras.

"Turunlah! Kita sudah sampai."

Laras menuruti perkataan pria itu dan turun mengikuti langkahnya.

"Kak, apa ini rumah kak Rere?" tanya Laras merasa kagum dengan kemewahan rumah itu.

Matanya melihat ke setiap sudut rumah merasa kagum.

"Ini rumahku," jawab pria itu sambil terus berjalan masuk.

"Bukankah Kakak tadi bilang mau mengantarku ke rumah kak Rere? Kenapa kita ke rumah Kakak?"

Bram menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap pada gadis desa itu.

"Ini rumahku dengan Rere?"

"Maksud Kakak, kalian tinggal satu rumah?" ucap Laras tidak percaya.

"Iya. Kenapa?"

"Tapi bukannya kak Rere belum menikah? Kenapa harus tinggal satu rumah dengan seorang pria?"

"Aku dan dia sudah menikah, tapi diam-diam."

"Kenapa seperti itu? Kenapa kak Rere tidak pernah bilang pada kami?" ucap Laras sedih dan kecewa.

"Mana aku tau. Tanya saja pada kakakmu!"

"Jangan-jangan Kak Bram yang bohong."

"Kamu pikir aku penipu? Sudahlah! Aku tidak mau berdebat denganmu. Kamarmu ada di sebelah sana!"

Bram menunjukkan satu kamar di sudut ruangan.

Bram meninggalkan Laras yang masih berdiri memikirkan ucapan pria itu mengenai hubungan Rere dengan Bram.

"Aku yakin pria itu pasti berbohong. Mana mungkin kak Rere melakukan itu tanpa persetujuan ayah dan bunda," ucap Laras sendiri.

Laras berjalan menuju kamar yang ditunjukkan oleh Bram. Dia membuka pintu dan masuk. Laras melihat ke seluruh isi kamar. Matanya kembali merasa kagum dengan apa yang dia lihat.

"Wow! Besar sekali kamar ini."

Laras menuju ke jendela kaca yang ada di salah satu sudut kamar. Matanya melihat ke arah luar, nampak sebuah taman yang sangat asri.

"Luar biasa indah sekali! Beruntung sekali kak Rere mempunyai rumah seperti ini."

Laras berjalan mengitari kamar itu dan duduk di kasur.

"Wah, kasurnya empuk banget." Tangannya menepuk-nepuk kasur.

Gadis itu membaringkan tubuhnya dengan senang dan merasa sangat nyaman. Laras berguling-guling menikmati empuknya kasur seperti anak kecil.

Bram yang sedari tadi memperhatikannya dari balik pintu yang sedikit terbuka merasa heran dan geli dengan tingkah gadis itu.

"Dasar, gadis desa! Terlalu kampungan!" ucapnya lirih.

Laras tersenyum senang memeluk guling.

Setelah beberapa saat gadis itu terlelap karena merasa nyaman.

Malam hari Laras terbangun, kamarnya terasa gelap, dia berjalan meraba-raba mencari saklar untuk menghidupkan lampu.

Duk!

"Aduh!"

Laras meringis kesakitan saat kakinya terantuk kaki meja.

"Sial! Mana sih saklarnya?" ucapnya kesal.

Lama Laras mencari tapi tidak menemukannya.

"Kakak! Kak Bram!" panggil Laras dengan berteriak.

Pintu terbuka, Bram heran melihat ruangan itu gelap gulita.

"Kak Bram, tolongin Laras! Laras tidak tau di mana saklar lampunya," ucap gadis itu polos.

Bram berjalan dan menghidupkan lampu. Ruangan menjadi terang benderang.

Wajah polos Laras tersenyum senang.

"Lagian kenapa sih kamu gelap-gelapan?"

"Laras baru bangun, Kak, tiba-tiba gelap. Aku ga tau di mana saklarnya," ucap gadis itu sambil memegangi jempol kakinya yang sakit.

Bram memperhatikan kaki gadis itu.

"Kenapa kakimu?" Pria itu memicingkan mata ke arah kaki Laras dengan tatapan sedikit sinis dan dingin.

"Kepentok meja. Sakit," ucapnya seperti anak kecil.

Laras adalah gadis berumur delapan belas tahun. Wajahnya cantik natural dan polos.

Dia ke kota karena permintaan ayah tirinya agar dia melanjutkan kuliah di kota dan tinggal bersama Rere, kakak tirinya. Sebenarnya Laras berat menerima permintaan ayahnya itu. Bukan masalah kuliah di kota, tapi masalah tinggal bersama kakak tirinya. Dia tau selama ini Rere tidak pernah bersikap baik padanya bahkan Rere sering menyakitinya dengan omongan kasar.

Kakak tirinya memang tidak menyukai dia dan bundanya. Rere selalu menyalahkan mereka dengan alasan bahwa Laras sudah merebut ayahnya dari dia.

Sebenarnya Laras tidak pernah melakukan itu. Walau Rere sering menyakitinya, tapi Laras masih tetap menyayanginya.

"Makanya lain kali kalau bangun pagi sekalian!"

Bram berjalan ke luar kamar meninggalkan Laras.

"Dasar kakak ipar galak! Kenapa juga kak Rere mau menikah dengan pria seperti itu? Menyebalkan!"

Laras berjalan ke kamar mandi dengan kaki pincang. Dia akan mandi karena badannya terasa lengket.

Setelah selesai mandi dan rapi, Laras keluar kamar karena perutnya keroncongan lapar.

"Huh, lapar sekali perutku," ucapnya memegangi perut.

Laras berjalan ke dapur, dilihatnya meja makan kosong tidak ada makanan satu pun.

"Yah, aku makan apa dong?" ucapnya lesu.

"Kalau mau makan masak sendiri! Bibik sedang cuti jadi tidak ada makanan."

Bram tiba-tiba nongol di belakangnya.

Wajah Laras cemberut. Dia berjalan membuka kulkas, dilihatnya banyak bahan makanan. Matanya terbuka sempurna dan senang.

"Aku buat nasi goreng sayur saja, pasti enak."

Gadis itu mengambil sayuran dan telor. Tangannya begitu terampil memainkan pisau dan alat masak lainnya. Laras memang jago kalau masalah masak memasak, bagaimana tidak? Dia selalu membantu bundanya memasak setiap hari.