Bab 12 Pesaing Baru
Bab 12 Pesaing Baru
Malam ini, Clift menatap datar bangunan yang tak jauh dari tempat kafe miliknya. Ia baru mendapat kabar dari beberapa karyawannya jika akan ada kafe baru di sana. Ia menajamkan matanya seberapa sibuknya orang-orang hilir mudik di sana.
Ia merasa sedikit tidak suka dengan bangunan yang akan menjadi saingannya itu. Sudah puluhan tahun ia berbisnis kafenya ini, tapi baru kali ini ada orang yang berani menyaingi kafenya dengan terang-terangan.
Ia mendengar beberapa pelanggan kafenya membicarakan kafe baru yang akan buka itu. Telinganya seperti panas mendengar suara dari sana-sini, pikirannya pun terhantam, harus memikirkan ulang bagaimana caranya agar kafenya tetap berjalan walaupun ada kafe baru yang akan menyaingi kafenya.
“Mas?” panggil Meira yang berada di samping suaminya. Malam ini Meira memang ikut Vincent ke kafe miliknya. Bukan Meira yang meminta melainkan Vincent sendiri yang mengajaknya, entah apa tujuannya.
Vincent menolehkan pandangannya ke arah istrinya, “kenapa?”
“Mas yang kenapa, akhir-akhir ini diam saja?”
“Saya?” Vincent menunjuk dirinya sendiri.
“Iya.”
Vincent menatap datar ke depan, “di depan sana sebentar lagi akan ada kafe baru. Saya tidak menyangka jika ada orang yang terang-terangan menyaingi kafe saya. Dan saya merasa tidak suka dengan kafe itu.”
“Lantas apa yang membuat, Mas tidak suka?”
“Saya merasa tersaingi, Meira!”
“Rezeki sudah ada yang mengatur, Mas,”
“Ah! Pokoknya saya tidak suka,” balas Vincent sambil menendang batu kecil di depannya. “Eh kamu bisa melihat masa depan kan?” tanya Vincent sambil menatap istrinya.
“Kenapa memangnya, Mas?”
Vincent menarik tangan istrinya masuk ke dalam ruangan miliknya di dalam kafe, setelahnya ia mendudukkan tubuh istrinya di sofa ruangannya.
“Sekarang kamu coba terawang masa depan, bagaimana keadaan kafe saya ke depannya?”
“Maksudnya?”
“Kamu kan bisa meramal, cobalah meramal kafeku ini ke depannya.”
“Tapi, Mas---“
“Nurut kalau disuruh sama suami!”
Meira terdiam mendengar bentakan suaminya kembali seperti dulu pertama kali mereka dipertemukan. Kemudian ia memejamkan matanya mencoba menyelami dunianya.
“Meira tidak bisa melihatnya, Mas,” ucap Meira setelah terdiam beberapa saat.
“Masa tidak bisa! Kamu kan bisa meramal kenapa tidak bisa! Coba lagi!”
Meira kembali memejamkan matanya, otaknya ia paksa untuk bekerja.
“Tidak bisa, Mas! Semua gelap.”
“Coba lagi!”
“Tapi, Mas----“
“Saya bilang coba lagi ya coba!”
“Kenapa, Mas paksa, Meira?”
“Saya hanya penasaran dan juga takut, Meira! Cepatlah jalankan saja apa perintahku, Meira!”
“Tidak bisa, Mas! Semua gelap! Otak Meira tidak bisa dipaksa,”
“Jangan coba-coba bohongi saya, Meira!” teriak Clift sambil mencengkeram kuat pundak istrinya.
“Meira tidak bohong, Mas!”
Vincent terdiam sesaat sambil menatap istrinya tajam.
“Apa selama ini, Mas menerima Meira hanya karena, Mas butuh Meira?”
Vincent masih terdiam menatap Meira yang menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Saya hanya menyuruhmu meramal kenapa pikiranmu ke mana-mana!”
“Jawab saja, Mas!”
Vincent menatap istrinya tanpa ekspresi, kemudian pergi dari sana dengan menendang pintu dengan kuat. Meira yang melihat kepergian suaminya ia menyelusupkan wajahnya di balik lipatan tangannya yang ia letakan di atas meja di depannya.
Hatinya seperti dicubit lalu teriris oleh sembilu yang tajam, sakit sekali rasanya. Setelah hatinya diterbangkan namun kemudian ia di jatuhkan tanpa permisi. Dadanya terasa sesak melihat kelakuan suaminya yang berubah-ubah itu. Kadang baik namun kadang kasar seperti malam ini.
Tangisnya yang menderu sangat menyayat hati para pendengarnya, bahkan karyawan suaminya yang kebetulan lewat depan ruangan suaminya yang tidak tertutup rapat menatap Meira kasihan saat melihat istri bosnya yang menangis itu.
Ia ingin berhenti mengejar suaminya namun satu sisi hatinya ada yang menahannya untuk tetap berjuang. Namun bagaimana jika harus berjuang jika pada akhirnya tidak di anggap?
***
Vincent membanting pintu mobilnya setelah mendudukkan tubuhnya di jok kemudi. Tangannya mengepal memukul setir mobil dengan kuat, wajahnya memerah untuk menahan emosi yang hampir meledak.
Pikirannya kacau, entah apa alasannya ia melampiaskan emosinya pada istrinya seperti tadi. Ia menjalankan mobilnya dengan kecepatan yang tinggi menuju suatu tempat yang kali ini melintas dipikirkannya. Ia tidak peduli dengan umpatan para kendaraan lain yang ia salip kendaraannya.
Vincent memasuki ruangan remang cahaya, namun suara yang memekik telinga siapa saja yang mendengarnya. Dentuman musik terus berputar seiring banyaknya orang yang berjoget di sana.
“Vodka satu botol!” teriak Vincent setelah mendudukkan tubuhnya di depan bartender.
Setelah mendapatkan minuman itu Vincent mendudukkan tubuhnya di sofa yang tersedia di sana. Salah seorang perempuan menghampiri dirinya mengusap lengannya.
“Mau saya temani, Mas?” tanya perempuan itu dengan baju yang cukup menggoda sambil mengusap pundak Vincent lembut.
“Duduk! Dan diamlah!” perintah Vincent sambil meminum minuman yang tadi dipesannya.
Tangannya mengusap tubuh perempuan yang berada di sampingnya.
***
Di lain sisi Clift bersama istrinya baru saja selesai bercinta. Clift memeluk mesra tubuh polos istrinya yang berkeringat itu. Nafas keduanya masih belum teratur dan juga peluh yang membasahi seprai mereka.
“Mas?”
“Apa, Sayang?”
“Mas mau punya anak berapa?”
“Sedikasihnya saja.”
“Tapi aku mau punya anak banyak!”
“Susah mengurusnya, Sayang,”
“Pokoknya mau banyak! Aku sudah kesepian karena sendiri sejak kecil di rumah!”
“Tapi banyak anak kecil juga susah mengurusnya, Welny! Cukup dua saja jangan sesuai anjuran pemerintah,” balas Clift sambil terkekeh pelan mendengar ucapannya.
Clift tidak mau memiliki anak banyak karena ia takut ada anaknya yang merasa terasingkan karena kurang kasih sayang. Ia sudah mengalaminya dulu saat di panti kurang diperhatikan.
“Mana cukup dua! Kurang ramai, Mas!”
“Cukup, Welny!”
“Sudahlah yang penting main lagi saja sekarang!”
Clift sudah menindih tubuh istrinya yang berada di sampingnya. Di saat deru nafasnya sudah tak beraturan, kegiatannya terpaksa terhenti saat mendengar dering ponsel istrinya.
Clift mengeram kesal saat dering ponsel itu terus berbunyi saat ia mengabaikan panggilan masuk itu dan terpaksa ia menyuruh istrinya untuk mengangkat panggilan itu. Sedangkan dirinya membenamkan wajahnya di bantal untuk meredam nafsunya yang memuncak itu.
“Halo, siapa ini?” tanya Welny saat sudah mengangkat panggilan yang masuk.
“Hai! Sabar dong Princess! Kau tidak menyimpan nomorku, ya?” balas orang di seberang ponsel yang ternyata seorang pria.
“Siapa?! Anda sebenarnya!”
“Princess kau tidak ingat suaraku? Wow aku terkejut, Princess,” balasnya dengan terkikik pelan.
“Jawab pertanyaan saya atau saya matikan!”
“Wow, baiklah, dengar baik-baik ya, Princess. Aku adalah orang yang sangat mengetahui semua hal tentang kamu, Princess. Mulai dari hal yang terkecil sampai hal yang besar, semua aku tahu Princess. Apa lagi hal yang paling istimewa pada saat itu yang pernah terjadi di antara kita, semua masih terekam jelas diingatkanku, Princess. Aku juga yakin pasti kamu juga masih mengingatnya, Princess? Bukankah begitu?” balas pria di seberang dengan senyum yang mengembang lebar.
Welny terdiam memikirkan perkataan orang di seberang ponselnya itu. Setelah ketemu ia membelalakkan matanya seketika. Kemudian mematikan panggilan itu sepihak dan meletakan ponselnya kasar di atas kasur mereka.
“Siapa?” tanya Clift setelah istrinya kembali masuk ke dalam pelukannya. Ia mendengar semua obrolan istrinya dengan orang yang berada di seberang sana, karena ia meminta istrinya itu untuk mengeraskan suaranya.
“Bukan siapa-siapa,” jawab Welny cepat sambil memeluk suaminya erat.
“Siapa! Jawab saya!”
“Bukan siapa-siapa, Mas,” Welny mengusap rahang suaminya pelan.
Tanpa di sangka Clift menyentak tangan istrinya itu kemudian melepas pelukannya juga.
“Siapa, Welny! Saya mendengar semua perkataan orang di seberang sana!”
“Mas harus percaya sama aku,”
“Siapa! Dan apa yang terjadi di antara kalian!”
“Mas! Harus percaya! Tidak ada hal yang aneh-aneh di antara kami,”
“Jelaskan semuanya Welny!”
“Mas!”
“Jawab pertanyaan saya atau sesuatu yang tidak terlintas di pikiranmu akan terjadi!”
“Tapi, Mas---!”
“Jelaskan atau saya pergi!”
Bersambung....
