Chapter 9
Bab 9
Luka biru itu sudah membaik setelah dikompres. Kini, Aurora dan kakek Bill ngobrol sejenak sambil berkeliling melihat-lihat hasil pahatan kayu.
"Kakimu tidak apa-apa?" tanya Bill.
"Tidak, Kek. Tenang saja." Aurora tersenyum.
Mereka kembali melanjutkan langkah kaki menuju ruangan ujung di mana ada ukiran berbagai binatang. Sudah lama, Aurora tidak datang berkunjung, tentu saja banyak barang-barang baru yang dipajang.
"Kekek yang membuat ini?" tanya Aurora seraya mengangkat kerajinan kayu berbentuk kepala kucing. Warnanya coklat tua mengkilap dengan mata biru seperti dari bahan pernak-pernik yang mahal.
Kakek Bill menggeleng. "Kakek sudah tidak ada banyak tenaga untuk membuat baranh serumit ini."
"Lalu?"
Bill memutar pandangan pada sosok pria berbadan kekar dengan celemek yang masih melekat di tubuh.
"Dia?" Aurora mengangkat dua alis dan sedikit membuka mulut.
Bill mengangguk. "Hampir semua barang-barang di sini dia yang membuatnya."
Aurora membulatkan bibir penuh rasa kagum. Ia sekali lagi mengamati kerajinan tangan kepala kucing itu sebelum ia letakkan kembali di atas rak.
"Siapa namanya?" tanya Aurora.
"Peter."
Aurora membulatkan bibir lalu menoleh ke arah Peter yang masih sibuk mengelap beberapa ukirannya. Tidak disangka kalau sebelum Aurora kembali memutar pandangan, Peter sempat menoleh. Alhasil mereka saling bertatapan beberapa saat.
Tatapan tajam itu rasanya seperti sesuatu yang menusuk hati. Bukan pisau yang akan membuat hati sakit, tapi ini seperti menimbulkan perasaan yang aneh. Jantung mendasak berdegup sangat cepat.
"Peter," panggil Bill.
Peter menoleh lagi. Saat itu Aurora sudah bergeser menuju rank lain di mana ada ukiran kayu yang ukurannya lebih besar.
"Ada apa, Kek?" tanya Peter.
"Kamu temani dia. Kakek ada urusan sebentar."
"Tapi..."
"Tidak ada tapi-tapian," sergah Bill. "Jangan kamu pikir kakek tidak tahu kalau selama ini kamu selalu mengawasinya."
Glek!
Peter menelan ludah dan merasa kalah telak. Sang kakek memang selalu tahu apa yang diperbuat cucunya itu. Tidak bisa membahtah lagi, Peter pun beranjak menghampiri Aurora.
"Kamu?" celetuk Aurora kaget. "Kenapa kamu? Di mana kakek?"
"Pergi."
"Pergi?" Aurora menaikkan kedua alisnya. "Ke mana?"
"Ada urusan."
Aurora menyapu pandangan ke seluruh ruangan mencari sosok Bill, tapi sepertinya kakek tua itu memang sudah pergi. Saat ini Aurora berdiri gugup di samping pria dingin yang mengerikan.
"Aku pernah melihat kamu di pondok itu," ucap Aurora tanpa menoleh.
"Mungkin salah orang."
Aurora membulatkan mata seraya membuka sedikit mulutnya karena terkejut. Aurora tidak mungkin salah lihat. Dari postur tubuh, wajah dan cara bicaranya, semua sama. Pria yang sama dengan yang Aurora jumpai di hutan.
"Aku tidak mungkin salah orang," kata Aurora lagi.
"Berarti kamu salah lihat."
Ck! Aurora berdecak kesal. Sungguh pria ini sangat menjengkelkan. Angkuh, dingin dan acuh. Bagaimana dia melayani pembeli dengan sifatnya yang dingin?
"Permisi ..." tamu wanita datang bersama tiga rekannya.
Peter bergegas menghampiri dan menyambut mereka dengan ramah. "Halo nona-nona cantik ada yang bisa aku bantu?"
Apa? Dia seramah itu? Aurora kini terbengong heran. Baru saja ia membatin tentang cara pria itu melayani pelanggan, dan kini dengan jelas Aurora bisa melihatnya.
Aurora terus mengamati ke mana Peter mengantar para wanita itu. Ia seperti membuntuti sesuatu hal yang penting.
"Kamu semakin tampan saja, Pete," puji salah satu dari mereka sambil mencolek pipi Peter.
Peter tertawa. "Aku memang selalu tampan."
Hueeeek!
Saat itu juga Aurora seolah memuntahkan isi di dalam perutnya. Suara yang cukup keras itu tentu membuat mereka menoleh dengan cepat. Untungnya Aurora bisa dengan cepat menangkup bibir dan bersembunyi.
"Kalian pilih-pilih saja dulu. Aku ada urusan sebentar," kata Peter dan langsung meninggalkan mereka tanpa menunggu jawaban atau persetujuan.
Saat Peter kembali, terlihat Aurora sedang berusaha mengambil sebuah ukiran bingkai foto di rak paling atas. Dari jarak sekitar tiga meter, Peter mengamati sebentar Aurora yang berjinjit-jinjit untuk bisa menggapai bingkai tersebut.
"Aku yang pendek atau rak ini yang terlalu tinggi!" oceh Aurora kesal. Dia berdecak-decak tak peduli tangannya yang menjulur mulai lelah.
Dalam posisi tersebut, Aurora tentu tidak tahu kalau di belakangnya ada seorang pria yang diam-diam tersenyum geli.
"Ah, kenapa susah sekali sih!" Aurora menjatuh kan tangan dan kembali berdiri tegak lalu menghentak-hentak kaki seperti bocah meminta mainan baru.
Usai menggeleng-geleng kepala melihat tingkah konyol Aurora, kini Peter mendekat. Dan tiba-tiba ...
"Eh!" Aurora menjerit kecil. Dari arah belakang, tiba-tiba Peter meraih pinggang lantas mengangkat tubuh Aurora tinggi-tinggi.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Aurora seraya mepuk-nepuk tangan Peter yang mencengkeram kuat bagian pinggang. "Turunkan aku!" serunya.
"Ambil dulu barangnya, aku akan menurunkanmu," kata Peter.
Aurora mendadak tertemenung. Ia memutar kembali pandangan ke arah depan dan mendapati bingkai kayu yang sedari tadi coba ia gapai. Setelah itu, Aurora segera mengambil binggai itu sambil gigit bibir karena mendadak gugup.
"Sudah. Turunkan aku," kata Aurora.
Dengan sangat perlahan dan hati-hari, Peter menurunkan Aurora hingga berdiri tegak lagi di hadapannya.
"Terimakasih," kata Aurora.
"Hm."
Apa sih! Kenapa masih acuh begitu? Dengan para wanita itu dia sangat ramah, kenapa aku tidak? Aurora sungguh merasa kesal.
"Bungkuskan ini untukku." Aurora ikut acuh.
Peter membawa bingkai itu menuju meja kasir. Dia mulai memasukkan bingkai itu dengan hati-hati di dalan kardus pipih. Selagi Peter membungkus bingkainya, Aurora masih sibuk mengamati empat wanita yang berdiri di ujung sana. Wanita itu sungguh modis dan moderen. Dibanding tampilan Aurora saat ini, tentu masih kalah jauh. Aurora hanya seorang putri yang terkurung di dalam istana hingga membuatnya tidak tahu memahu mengenai model terbaru saat ini. Hampir semua isi lemarinya juga barang-barang lama.
"Em, mungkin setelah ini aku harus membeli baju baru," batin Aurora.
Saar Aurora berbalik badan, Peter sudah selesai membungkus barang yang Aurora beli.
"Berapa?" tanya Aurora.
"Bawa saja. Itu gratis," ujar Peter.
"Maksudnya."
"Kakek berbesan padaku tadi."
Aurora mengerutkan dahi. Kalau saja boleh, ingin sekali Aurora memukul kepala pria tinggi di hadapannya saat ini. Aurora sungu kesal dengan cara Peter bicara yang hanya sepotong-potong.
"Huh! Dasar menyebalkan!" Aurora menghentak kaki lalu beranjak pergi meninggalkan toko.
Aurora melanjutkan perjalanan menuju toko baju setelah meninggalkan toko kakek Bill. Sudah lama ia tidak berbelanja, pasti tidak masalah kan jika hari ini beli baju baru?
Selama perjalanan, Aurora terus saja memikirkan sosok Peter. Pria itu dengan mudah merasuki kepala Aurora hingga membuat Aurora terusemikirkan Peter. Cara Peter bersikap dan biasa, membuat Aurora semakin penasaran dengan kehidupannya.
"Beatrice," panggil Aurora.
"Iya, Nona?"
"Besok apa kamu bisa menemaniku ke kebun. Aku ingin sekali melihat para pekerja di sana."
"Apa boleh?" tanya Beatrice. Ia menatap lurus ke arah sang sopir, tapi si sopir diam saja.
"Pasti boleh," ujar Aurora. "Kan aku tidak kesana sendirian. Kamu juga bisa ikut menemani, Rey."
Rey tidak menyahut selain tetap fokus menyetir saja.
***
