Bab 4 Kumpulan Puisi
Bab 4 Kumpulan Puisi
Sempat tertegun dengan perkataan Riz, Beeva memejamkan matanya sesaat lalu lanjut melangkah menuntaskan niatnya dan kembali ke kamar. Beeva duduk dekat ibunya di pinggiran tempat tidur.
"Ama, sedang melakukan apa? Mengapa banyak kertas?"
"Ini semua kertas-kertas yang sudah Ama tulis tapi belum dirapikan."
"Ama menulis? Tentang apa?"
"Jadi, Abakmu sangat sering bercerita tentang anak-anaknya kemana pun dia pergi. Saat bertemu tetangga, kalau ada pengajian atau saat kunjungan keluarga. Ama biasanya hanya mendengar dan kata-kata Abakmu itu indah sekali sangat puitis waktu menyampaikan betapa sebagai orang tua, Abak dan Ama itu sayang dan bangga sekali pada kalian. Karena sering diceritakan berulang kali beberapa sudah Ama hafal lalu Ama tuliskan jadi puisi."
"Abak tahu kalau Ama menuliskan semua yang pernah Abak katakan?"
"Iya beliau tahu. Karena kalau Ama sedang menulis lalu tiba-tiba ada bagian yang Ama lupa biasanya Ama tanyakan pada Abak. Abak selalu meminta Ama untuk membaca ulang sebelum Abak melengkapinya," Arsy tersenyum pada selembar kertas yang tengah dipegangnya. Seolah di sana ada bayangan saat ia menulis dan Anwar memintanya membaca puisi itu kemudian menyambungnya dengan kata-kata yang mungkin terlewatkan oleh Arsy.
"Bee penasaran, Ama punya kertas yang ada tulisan tangan Abak?" tanya Beeva seraya meraih dengan hati-hati sebuah buku dan kumpulan kertas-kertas puisi yang masih tercecer belum sempat dibundel rapi.
"Abakmu tidak suka menulis, bahkan sepucuk surat untuk kalian saja masih Ama yang menuliskannya. Semuanya Ama yang tulis tapi Abak yang memberikan banyak ide. Ama hanya merapikan saat menulis dan kalau ada yang masih kurang dilengkapi oleh Abak. Ama ibaratnya sebagai juru tulis saja."
"Oh… Bee mengerti sekarang. Jadi Abak yang bercerita dan Ama menulis dalam bentuk puisi lalu kalau belum lengkap nanti Abak yang ucapkan katanya dan Ama tulis lagi biar puisinya semakin lengkap?"
"Benar seperti itu. Tapi tulisan Ama bukan seperti para pujangga Bee. Hanya mengungkapkan rasa yang ada di dalam hati."
"Iya Ama. Tapi Bee tidak pernah tahu kalau Ama dan Abak bisa punya kumpulan puisi setebal ini," Bee membuka lembar demi lembar buku tebal itu, membacanya selintas beberapa puisi di dalamnya.
"Abakmu itu memiliki hati yang lembut yang ia keluarkan dalam bentuk kata-kata puitis," lirih Arsy. Beeva menatap ibunya tersenyum, setengah menggoda.
"Jadi itu, yang membuat Ama mau disunting Abak?" senyumnya. Arsy tertawa kecil dengan wajah sedikit memerah.
"Kamu, orang tua masih digoda," gerutunya seraya mengusap kertas-kertas di pangkuannya. Kertas di mana suaminya terasa begitu hidup. Kertas-kertas ini adalah saksi betapa indahnya pernikahan mereka, betapa syahdunya cinta di antara mereka.
"Puisi mana yang Ama paling suka? Bee mau baca," tanya Beeva.
"Kata-kata Abakmu begitu puitis, Ama menyukai semua puisinya. Tapi ada satu puisi yang paling disukai Abak, beliau sering meminta Ama membacakan puisi ini," ia meraih buku tebal di tangan Beeva. Membalik lembar demi lembar dan menunjukkan lembar di bagian tengah buku. "Ini, Judulnya Rahasia Kehidupan," ujarnya seraya mengembalikan buku pada Beeva.
Beeva menatap halaman di depannya dan matanya mulai menari di atas setiap kata yang berjejer rapi karya tulisan tangan sang bunda.
"Rahasia Kehidupan"
Dilahirkan bukan pilihanku tapi aku lahir dari cinta kedua orang tuaku
Sebuah keajaiban memiliki organ tubuh dan indera perasa yang lengkap
Walau pun butuh bertahun-tahun untuk memahami sedikit dari berjuta mujizat yang aku nikmati
Bisa hidup merupakan anugerah, hanya saja ada begitu banyak jalan yang harus kupilih
Saat muda aku harus bertumbuh sesuai dengan lingkungan dimana aku tinggal dan dibesarkan
Namun yang tak terelakkan, hidup mendorongku untuk memilih untuk mengabdi pada seseorang atau mengabdi pada sesuatu
Memiliki pendidikan merupakan sebuah kesempatan
Memiliki pekerjaan menjadi tuntutan hidup
Memiliki pasangan hidup berarti membangun komitmen
Menikmati hidup menjadi tujuan semua orang
Walau pun begitu, semuanya membutuhkan kerja keras
Sayang di sayang, semua yang telah kutulis tentang kehidupan
selalu tentang aku dan berpusat pada diriku
Ketika aku memilih untuk mengabdi bagi sesama
Menjadi sesuatu yang sangat sulit untuk kulakukan
Karena aku harus melupakan harga diri dan keinginanku
Aku harus memiliki berlimpah-limpah rasa kasih
Semuanya diluar jangakuan akalku
Tetapi, sebenarnya mengasihi sesama adalah pilihan yang sangat mungkin
Yang aku butuhkan adalah penyerahan diri yang sungguh pada Sang Pemilik Cinta
Hanya pada Nya aku harus mengabdi, sehingga cintaNya merasukiku
Dan aku dapat mencintai sesama dimulai dari dalam keluargaku
Isteri dan anak-anakku
Orang-orang terpenting dalam kehidupanku
Aku mengabdi untuk mereka tanpa meminta imbalan jasa
Aku harapkan kebahagiaan mereka sampai akhir hayatku.
Selesai.
"Indah Ama, sangat indah. Bee jadi semakin rindu pada Abak," ujar Beeva sambil memeluk Amanya dan menghapus air mata yang sudah berderai membasahi pipinya.
"Ama juga rindu pada Abakmu. Kini dia telah pergi dan tak kembali tapi kenangan bersamanya tidak akan pernah pupus atau pun lekang oleh waktu," ujar Arsy, membalas pelukan Beeva dan saling terisak untuk sesaat.
Beberapa menit kemudian Beeva menghapus air matanya dan juga menghapus air mata Amanya lalu membebaskan diri dari pelukan sang bunda.
"Ama punya rencana untuk kumpulan puisi ini?" tanyanya, kembali menyentuh buku dan kertas yang tadi mereka pegang bersama.
"Rencana apa Bee, bagi Ama semua tulisan itu adalah pengingat Abak. Bahwa Abak pernah begitu lama di sisi Ama. Bahwa kami pernah melewati begitu panjang kisah dan mengarungi hidup bersama. Terakhir kali Ama tulis itu sekitar sebulan yang lalu saat Abak mulai tidak bisa berbicara banyak," jawab Arsy.
"Mana coba Bee baca puisi di halaman terakhir yang Ama tulis."
Sang Bunda membuka buku halaman terakhir dan beberapa baris puisi sudah tertoreh rapi di dalamnya
"Senja"
Dia terbaring lemah di sampingku
Menikmati senja bersama dalam hening
Di usia kami yang semakin senja
Cucu pun belum kami dengarkan candanya
Oh, anak-anak yang kami sayangi
Si gadis bungsu merantau tak tentu kabar
Pendidikan tinggilah yang dikejar
Entah kapan bisa bersua lagi
Tanah rantau jadi tanah kelahiran
Sang pemuda nan gagah sebagai pelindung di rumah
Jejak sang Abak yang jadi panutan
Si gadis sulung menjadi perawat di rumah setiap saat
Jejak sang Ama tak pudar tak hilang
Suamiku tercinta, Bapak dari anak-anakku
Kau terlihat semakin renta
Apakah ini pertanda darimu?
Akankah aku melewati senja tanpamu?
Senja akan berujung pada malam, namun malam akan berganti pagi
Kuingin selalu nikmati senja bersama
Walau pun dalam hening seperti ini
Senja akan menjemput kita bersama
Senjaku adalah senjamu
Senjamu adalah senjaku
Selesai.
"Hati Ama begitu lembut. Bee tidak tahu harus berkata apa untuk menghapus kesedihan Ama," Beeva menatap ibunya dengan pandangan pilu.
"Kau bawalah semua puisi ini, agar kau selalu ingat akan kasih sayang Ama dan Abak. Lagipula setiap kali membaca buku itu, hati Ama pedih, Bee. Setiap melihat kumpulan puisi ini hati Ama tersayat-sayat karena tidak rela ditinggal Abak," Arsy meletakkan buku tebal berwarna coklat itu di pangkuan Beeva.
"Ama yakin tidak ingin menyimpan semua buah pikir dari Abak?"
"Ama dan Abak lewati semuanya bersama. Mungkin tidak setiap kata Ama hafal persis. Tapi Ama tahu di mana saja dan kapan setiap judul itu Ama tuliskan. Kau bawalah sebagai kenang-kenangan yang bisa diceritakan pada anak cucu kalau Abak dan Ama sangat mencintai kalian," Arsy menekap pipi Beeva penuh kasih sayang.
"Ama, Bee juga sayang Ama dan Abak. Bee yakin Kakak Nona dan Abang Abrar juga sayang sama Ama dan Abak," ujar Beeva sambil kembali memeluk Amanya erat.
"Apa Kakak dan Abang sudah pernah baca semua puisi ini?" tiba-tiba ia melepaskan pelukannya untuk bisa menatap wajah Amanya.
"Sudah. Dua tahun terakhir, setiap selesai di tulis Ama akan membacakan untuk Abak, Kakak dan Abang."
"Kalau begitu Bee akan bawa buku puisinya?" ia meraih buku puisi itu dan mendekap di depan tubuhnya.
"Juga semua kertas-kertas puisi yang Ama tulis kalau kami dalam perjalanan yang jauh dari rumah," pesan Arsy sambil menyodorkan semua kertas yang belum selesai dirapikan.
"Biar nanti Bee rapikan Ama," menyambut kumpulan kertas yang ada dan menyisipkan ke dalam buku puisi ukuran A4 setebal seratus lembar yang terisi penuh.
"Akan kau apakan semua puisinya?"
"Nanti Bee pikirkan Ama. Ada teman kos Bee yang belajar tentang sastra. Namanya Sri. Yang pasti, puisinya akan Bee simpan dengan baik agar bisa dibaca lagi oleh keturunan Ama dan Abak suatu hari nanti," menjawab dengan tersenyum, Beeva memasukkan apa yang digenggamnya ke dalam koper.
"Ayo kita tidur. Ama ingin berbaring sebentar," Arsy menggapai si bungsu agar tidur di sisinya
"Iya Ama."
Beeva memadamkan lampu kamar dan ikut berbaring di samping Amanya menyambut pekat malam untuk mengejar mimpi.
