Bab 3. Baju Gamis Buat Ibu
Mobil berhenti tepat di sebuah toko pakaian. Naina memintaku untuk turun. Masih ada toko penjual baju yang masih buka pada malam takbiran. Padahal, waktu saat itu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Namun, keramain seakan tidak membuat para pengeruk rezeki ingin tidur.
Mereka tetap menjajakan baju hingga malam. Beruntung masih ada toko baju yang buka, hingga aku bisa membelikan ibu baju baru. Ya, impian yang selama ini telah tertunda. Melihat ibu memakai gamis baru terlihat cantik.
Bertahun-tahun memimpikan ibu memakai baju baru di hari raya idul fitri. Kemudian, kami akan datang bersilaturahmi ke rumah tetangga. Seperti tradisi yang sudah dijalankan selama ini. Saling maaf, memaafkan di hari idul fitri. Di mana manusia akan kembali suci. Bagai bayi yang baru lahir, lalu dihapuskan dosa-dosanya.
"Kang Danu, ayo turun! Kita belikan baju buat Emak," ucap Naina tersenyum lebar.
"Naina, ini toko baju yang sangat besar. Pasti harganya sangat mahal. Maaf, aku takut duitnya gak cukup buat beli baju Ibu," ujarku berkata jujur.
Baju satu set gamis biasanya akan mencapai harga dua ratus ribu. Sedangkan uang yang kupegang hanya tiga ratus ribu. Tadi bang mandor hanya membNainan uang tip saja. Katanya, gajiku sudah habis untuk dipotong hutang.
Memang selama ini, aku harus gali lubang tutup lubang untuk menutupi kebutuhan. Jika bang mandor membNainan uang tip itu pun sebagai hadiah THR untuk karyawan. Ia juga memberikan dua minuman botol soda. Setiap tahun, perusahaan tempatku bekerja tidak pernah memberikan bonus besar kepada para karyawannya. Meski kami telah bekerja keras. Ya, begitulah masih para pegawai buruh kasar. Kerja keras, tetapi hanya dibayar ala kadarnya saja.
Beruntung bang mandor tempatku bekerja sangat baik. Dia mengizinkan Rafa untuk ikut bekerja. Para pekerja lain tidak diperbolehkan. Hanya aku yang diperlakukan khusus. Walau begitu, teman-teman buruh lainnya tak pernah mengejek ataupun merendahkan. Mereka malah memberi semangat dan dukungan. Bahkan, ada yang ikut menjaga Rafa bila kami harus bergantian bekerja.
"Gak apa-apa, Kang. Biar Eneng saja yang traktir. Uangnya disimpan saja buat beli kebutuhan lainnya. Kebetulan Neng tadi dapat rezeki dari kantor. Wajar, kalau Neng juga ikut berbagi rezeki dengan keluarga Akang."
"Duh, aku jadi gak enak, Neng. Terus merepotkanmu. Aku jadi malu," ucapku menunduk. Tidak berani menatap wajah wanita cantik yang berdiri di hadapanku.
"Insya Allah, Eneng ikhlas. Akang gak perlu balas budi. Anggap saja ini kebaikkan karena Kang Danu sudah berbuat baik dengan menjaga Rafa."
"Masya Allah, mulia banget hati kamu, Neng Naina. Aku malu sama kamu."
Naina hanya tersenyum membalas kalimatku. Dia menggandeng tangan Rafa dan membawanya masuk ke dalam. Kami bak pasangan keluarga yang kecil yang bahagia. Naina cantik mempunyai kulit yang halus dan putih. Sedangkan aku … hanya seorang duda punya anak satu.
Kehidupanku pun tak pernah beruntung. Ditinggal istri karena aku miskin. Jujur, saat itu hatiku sakit karena melihat Hanum memilih pria lain yang lebih kaya raya. Dia pergi meninggalkanku dan juga Rafa yang masih membutuhkan kasih sayangnya.
"Kang Danu, ini gamisnya cocok buat Emak. Bentuknya juga simpel dan mempunyai warna coklat tua. Pas buat orang tua kalau menurutku," ucap Naina sembari menunjukkan gamis bermotif batik. Warna coklat tua serasi untuk seumuran ibu.
"Tapi harganya sangat mahal, Neng. Aku gak sanggup untuk membelinya."
Naina tersenyum, lalu berkata, "Kan saya sudah bilang. Saya yang akan membayar gamisnya, Kang."
"Tapi ini mahal, Neng. Aku gak sanggup untuk bayarnya nanti. Neng Naina sudah banyak membantu. Saya gak enak hutang terus sama Neng Naina."
"Saya gak minta balikin kok, Kang. Niat saya tulus ngasih ini ke Emak. Pasti Emak terlihat cantik bila memakai gamis batik ini," kata Naina tersenyum.
Kemudian, dia meminta pada pelayan toko untuk mengemasnya dalam kantong plastik.
"Ayah, Rafa boleh, ya beli baju Koko? Besok Rafa juga pengen ikut salat idul fitri bareng Ayah," Rafa berkata sambil menunjuk baju Koko warna putih.
"Iya, boleh, Nak. Ayah akan membelikan baju untuk Rafa."
"Hore!" Rafa akhirnya punya baju baru. Asyik! Makasih, ya, Yah?" Rafa langsung memelukku. Begitu aku mengiyakan untuk membeli sepasang baju koko.
Memang, sudah bertahun-tahun aku tak pernah membelikan baju untuk Rafa. Pakaian yang dikenakan dia semua diberikan oleh Wiji. Dia memberikan baju bekas kakaknya yang masih layak pakai. Kebetulan usia keponakan—Wiji sebaya dengan Rafa.
"Berapa harga bajunya, Nyonya?" tanyaku pada yang punya toko.
"Ini kualitas Bandung punya. Harganya satu set seratus lima puluh ribu."
Astaga!
Aku sedikit melotot ke arah penjual. Uang di saku celana hanya tiga ratus ribu untuk makan selama satu Minggu. Jika harus membelikan baju Rafa dengan harga segitu, sudah dipastikan akan berkurang.
"Ayah, jadi gak beli bajunya?" tanya Rafa dengan wajah sendu. Raut mukanya sedikit kecewa. Dia takut aku tidak jadi membelikan baju koko itu.
Untuk sesaat aku menarik napas. Memikirkan harga baju yang akan dibeli. Mungkin untuk orang lain harga itu tidak terlalu mahal. Namun untukku harga segitu terlalu tinggi. Ditambah lagi kebutuhan yang lain masih belum terpenuhi.
"Iya, jadi, Nak," jawabku mengeluarkan uang dari saku celana.
Namun dengan cepat Naina menahan. Lagi-lagi dia membayar baju yang hendak dibeli. Sungguh, aku merasa malu. Untuk kesekian kalinya dia membantu. Membuatku tak enak hati untuk menerima kebaikan dari gadis itu.
"Biar Neng aja yang bayar baju Rafa, Kang."
"Tapi, Neng."
"Udah gak usah nolak. Anggap aja sedekah."
"Aku gak enak bila Neng Naina terus membayar semuanya."
"Neng, kan sudah bilang sama Akang. Neng lakukan ini karena ikhlas gak ada maksud lain."
"Aku tahu Neng ikhlas. Tapi aku malu bila Neng terus membantu."
"Manusia memang harus saling bantu, Kang."
Akhirnya, aku harus mengalah pada Naina. Kubiarkan dia membayar semua baju itu dengan uang pribadinya. Termasuk kemeja untuk persiapan lebaran besok.
Gema takbir masih berkumandang sepanjang malam. Mobil melesat meninggalkan toko pakaian menuju pulang. Jarak yang ditempuh untuk menuju ke rumah tidak terlalu jauh. Hanya berdurasi tiga puluh menit.
Saat kami tiba di rumah, aku melihat halaman dipenuhi para warga. Ada bendera merah tertancap di depan gang. Perasaan ketika menjadi tidak enak. Jantung pun berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya.
Beberapa pasang mata memandangku kala melewati barisan para pria yang berkumpul memakai peci. Beberapa wanita di dalamnya sedang membacakan Yasin dan doa. Sepertinya ada orang yang meninggal. Namun siapa? Dalam hati pun bertanya-tanya.
"Ayah, siapa yang meninggal? Kenapa di rumah kita ramai orang baca doa?" tanya Rafa menggenggam tanganku. Jantungku seketika berdetak dengan kencang. Mungkinkah ….
Perasaan bercampur aduk menjadi satu. Semua hening tak bersuara. Tak ada satu pun yang berbicara mengatakan siapa kiranya tubuh yang sudah membeku itu.
"Ayah tidak tahu, Nak."
"Kang Danu, mungkinkah ibumu …." Kalimat Naina menggantung di udara.
Aku membisu. Tiba-tiba langkah kaki menjadi berat seperti ada batu yang menimpa.
"Assalamualaikum," ucapku masuk ke dalam.
"Waalaikumsalam."
Wiji tiba-tiba menghampiriku, dia menatap Naina yang masih memegang lenganku. Membuat perasaanku menjadi semakin tidak enak.
"Mas Danu, Ibu sudah meninggal."
"Apa?"
***
Bersambung.
