Membeli Gadis Cantik
Pagi yang seharusnya diisi dengan jadwal rapat dan laporan bisnis justru dilanggar Slater dengan langkah santai menuju club Ramos-tempat favoritnya melarikan diri dari realita pernikahan yang membosankan. Club itu masih sepi, lampu redup menyala malas, aroma alkohol dan asap cerutu memenuhi udara. Ramos, pemilik club sekaligus teman lamanya, langsung melirik heran begitu melihat Slater duduk santai di sofa VIP, mengenakan jas rapi tapi dengan dasi longgar dan cerutu mahal di tangan.
"Ada apa dengan dirimu? Pagi buta kau duduk di sini alih-alih pergi ke kantor? Apa terjadi sesuatu?" tanya Ramos, menyempil di sampingnya sambil mengambil botol whiskey.
Slater menghembuskan asap cerutunya perlahan. "Suasana hatiku sedang bahagia saat ini," katanya dengan nada dingin namun penuh makna.
Ramos mengangkat alis. "Memangnya kenapa? Seveline memberimu jatah secara percuma? Atau kau sudah mendapatkan posisi pemimpin di perusahaan papamu? Yang mana yang membuat hatimu bahagia?"
Slater berdecak, seolah bosan dengan tebakan Ramos yang meleset jauh. Ia menjentikkan abu cerutunya ke asbak, lalu menatap kosong ke depan. "Wanita angkuh itu terlalu sombong. Dia selalu merasa aku ini hanya numpang hidup. Seolah-olah aku harus bersujud karena menikahinya. Padahal, aku cuma memastikan satu hal-dia tidak akan pernah jatuh cinta padaku. Dan itu yang aku butuhkan. Dia terlalu sibuk mengurusi wajah dan tubuhnya, tak sadar kalau mulut busuknya yang paling menjijikkan."
Ramos hanya diam, mengangguk seolah mengerti.
Slater melirik tajam padanya. "Aku butuh bantuanmu untuk suatu hal."
Ramos bersandar santai. "Apa itu?"
Slater meletakkan cerutu, menuangkan whiskey ke gelasnya, lalu berkata tenang, "Mungkin setelah aku berhasil duduk sebagai pemimpin perusahaan, aku butuh kamu jadi sekretarisku. Alihkan urusan club ini pada anak buahmu. Aku butuh orang yang kupercaya di sekelilingku."
Belum sempat Ramos menjawab, seorang pegawainya datang tergesa, membisikkan sesuatu di telinganya.
"Tuan, pria tua itu datang lagi... dengan putrinya. Kurasa dia mau... menjual gadis itu," bisik sang pegawai dengan wajah penuh rasa iba.
Ramos menghela napas berat, berdiri dengan wajah kesal. Namun sebelum ia bisa bergerak, pria itu sudah datang mendekat sambil menyeret seorang gadis remaja yang masih mengenakan seragam sekolah.
"Tuan! Aku akan menjual putriku padamu. Berapa pun harganya, yang penting aku dapat uang sekarang!" ucap si pria penuh harap, dengan mata merah dan suara mabuk.
Gadis itu berdiri kaku, menunduk ketakutan, jemarinya mencengkram erat lipatan roknya, wajahnya pucat pasi.
Ramos menahan emosi. "Sudah berapa kali aku bilang, aku bukan mucikari! Aku tidak membeli siapa pun! Ini tempat alkohol, bukan pelelangan manusia! Lindungi putrimu, jangan jual dia!"
Namun si pria makin nekat. "Berapa uang yang kau inginkan?"
Saat itu, semua mata menoleh pada Slater yang duduk tenang. Slater meneguk whiskey-nya sekali lagi, lalu menatap lurus pada gadis itu-mata yang penuh beban dan luka yang dalam.
"Berapa uang yang kau butuhkan?" tanya Slater dingin.
Gadis itu langsung menggeleng panik, air mata menggantung di pelupuk matanya.
"500 juta!" seru si pria sambil bersimpuh di kaki Slater, seolah sudah menemukan malaikat penyelamatnya.
Slater mengangguk pelan.
Seketika, keheningan menyelimuti ruangan. Gadis itu tampak makin panik, tubuhnya gemetar, menahan tangis yang hampir pecah.
Dan Ramos hanya berdiri kaku, menatap Slater yang-untuk alasan yang belum diketahui-baru saja membeli sebuah nasib yang belum tentu bisa dia tebus kembali.
Slater menatap pria itu dengan dingin. Sorot matanya tajam, namun datar, tak menunjukkan emosi apapun. Ia menghisap cerutunya sekali lagi, lalu bertanya dengan nada rendah tapi tajam, "Dia bersih?"
Pria itu mengangguk mantap. "Sangat bersih, patuh, tidak kenal pria, dan pintar. Gadis berprestasi. Kau tidak akan kecewa."
Ramos mendekat, berbisik khawatir, "Slater, pikirkan lagi. Dia masih sekolah. Kau sudah menikah. Jangan bertindak gegabah."
Slater tidak menjawab. Ia hanya mengeluarkan cek, menulis jumlah, lalu mengulurkannya pada pria itu. Namun saat pria itu hendak menyambarnya, Slater menariknya kembali.
"Kau sudah memberikannya padaku. Jangan pernah muncul lagi. Jika kau berani mengusiknya, aku sendiri yang akan memotong tangan dan kakimu. Paham?"
Pria itu mengangguk panik. Slater menjatuhkan cek ke lantai dan mengisap cerutunya dengan tenang.
Saat pria itu hendak pergi, putrinya menarik lengan bajunya dengan suara bergetar. "Ayah, kenapa menjualku? Aku bisa bekerja untukmu. Kenapa harus begini?"
Dengan kasar, pria itu mendorong putrinya hingga jatuh dan kepalanya membentur tepi meja.
Slater langsung mematikan cerutunya dan memberi perintah, "Berikan satu pukulan untuknya."
Tanpa pikir panjang, Ramos memukul pria itu hingga tersungkur. Ia mengambil cek yang jatuh dan merobeknya, lalu diganti dengan nominal baru-400 juta.
"Kenapa dikurangi?" tanya pria itu panik.
Slater menunjuk gadis itu dengan tangan yang masih menggenggam cerutu. "Kau membuat barangku lecet."
Pria itu pergi dengan tergesa, sementara gadis itu hanya menangis pelan di lantai. Slater bangkit dan berkata tegas, "Berdirilah!"
Gadis itu berdiri, menunduk penuh ketakutan.
"Siapa namamu?" tanya Slater.
"Argista, tuan," jawabnya lirih.
Tiba-tiba Argista bersimpuh, memohon dengan suara gemetar, "Saya mohon tuan, jangan lakukan apapun pada saya... Saya akan melakukan semua perintah tuan, asal jangan..."
Slater menatapnya lama, lalu menyeringai kecil.
"Jangan apa? Jangan menidurimu? Aku sudah menikah. Siapa yang bilang aku membelimu untuk kepuasanku?"
Ramos dan Argista menatapnya dengan penuh keterkejutan.
Slater mengambil kunci mobil dari meja, melangkah santai keluar dari club.
"Jadi ART di mansionku," ucapnya datar, lalu hilang di balik pintu.
