Pustaka
Bahasa Indonesia

Pebinor vs Gorilla

95.0K · Tamat
Romansa Universe
90
Bab
2.0K
View
8.0
Rating

Ringkasan

Dunia Vindi yang bahagia langsung berbalik seratus delapan puluh derajat, manakala Reno – seorang dokter anak selingkuh dan menjadi pebinor. Reno berselingkuh dengan model terkenal yang memiliki suami seorang pelawak tak laku dengan julukan Gorilla. Vindi yang masih belum bisa move on berusaha membalas dendam dan merebut Reno kembali. Salah satunya dengan membuat Gorilla jatuh cinta padanya. Naasnya, Gorilla itu terlalu baik pada Vindi. Membuat Vindi bingung, siapa yang akan ia pilih : Pebinor atau Gorilla?

RomansaMetropolitanDokterPerselingkuhanPengkhianatanPernikahan

Bab 1 Sebuah Perselingkuhan

Bab 1 Sebuah Perselingkuhan

“Walah, malah dibuatkan kopi. Ini kopi untuk vitalitas kejantanan pria kan, Ma? Pisangku tambah besar nanti. Aku sibuk, lho, Ma, hari ini.”

“Bukan, Pa. Kopi biasa, kok. Mama tidak mungkin membuatkan yang tidak-tidak,” sanggah Vindi.

Sebuah keluarga kecil yang terlihat harmonis, kini melakukan rutinitas pagi, yaitu sarapan. Vindi adalah istri dari Reno.

Mereka berdua tengah menikmati sarapannya. Ralat, lebih tepatnya hanya Vindi, karena nyatanya, Reno amat tergesa.

"Hati-hati, Pa!" peringat Vindi.

Baru saja kata itu terlontar, kini Reno berulah. Bukannya disengaja, pada dasarnya saja Reno yang tak hati-hati.

Kini, ia menyemburkan kopi yang baru saja diseruput. Reno tersedak oleh kopi panas yang bahkan masih mengepul. Sudah tahu panas, masih saja diseruput tanpa ditiup terlebih dahulu.

"Basah, Ma," ucap Reno frustasi sembari memandangi pahanya yang terkena semburan kopi.

Vindi pun mengikuti arah pandang Reno yang menjurus pada pangkal paha pria itu yang terkena noda kopi. Tangan Vindi terulur mengambil beberapa lembar tisu.

Wanita dengan lesung pipi indah ini menatap Reno dengan sayang, yang kian lesu dan langsung memegang pundak pria itu. Dia jadi tidak enak.

"Sini, aku bersihin. Tidak usah khawatir, Pa. Cuma noda kayak begini bisa dihilangin, kok. Yang penting jangan hilangin ...." ucap Vindi sengaja ia jeda sembari menyisihkan cangkir kopi tersebut.

Reno pun menatap istri cantiknya dengan menaikkan sebelah alis. Ia ingin tahu kelanjutan ucapan Vindi.

"Jangan hilangin apa, Ma?"

Vindi terkekeh sembari mengusap secara perlahan di pangkal paha Reno. Sontak, ada desiran aneh yang dirasakan Reno. Sungguh, ini membuatnya frustasi. Baru saja paha yang disentuh, tapi — argh, sudahlah!

"Jangan hilangin cinta Papa untuk Mama," jawab Vindi tersipu malu.

Reno yang mendengar itu terkekeh pelan sembari menyisihkan anak rambut yang membuat wajah Vindi tertutupi. Dia pikir jangan pisangnya yang besar, yang jangan dihilangin.

Sungguh, Reno tak bosan untuk memandangi wajah cantik istrinya. Sudah cantik, punya bentuk tubuh ideal dan aduhai.

Terlebih, dengan melihat Vindi yang sekarang ini sedang tersipu. Memberi kesan plus di mata Reno. Vindi sangat cantik dan menggemaskan. Meskipun ada yang mengganjal, yang hingga sekarang tidak ia ungkap.

"Tidak bakal, sayangku," ucap Reno meyakinkan — mungkin. Kemudian, mencium sekilas pipi Vindi yang sontak membuat Vindi makin merona.

"Beneran?" tanya Vindi meyakinkan.

"Semoga saja, ya!" jawab Reno terkekeh.

Vindi kembali membersihkan noda kopi di pangkal paha Reno. Membuat Reno merem melek merasakan kembali sentuhan sensual istrinya. Reno sangat menikmati, tapi ia harus menghentikan ini semua, karena sudah memiliki janji dengan seseorang.

Bila diteruskan, sudah pasti Reno khilaf dan minta jatah di pagi hari. Ck, dasar pria!

"Sudah, Ma. Jangan diteruskan, nanti kita berakhir di springbed. Aku geli."

Vindi mendengus. Suaminya itu bila sudah seperti ini pasti pikirannya berkelana kemana-mana.

Memang, Reno itu tipe pria yang begitulah, bisa ditebak. Naluri pria-nya kian mengembara bila sudah berhadapan dengan wanita cantik. Tentu saja dengan Vindi, istrinya.

"Jangan mulai, Pa! Masih pagi!" cibir Vindi menanggapi ucapan nyeleneh suaminya.

Reno tersenyum miring. Mendekatkan wajahnya pada wajah Vindi.

Vindi pun menyerngit, kala merasakan hembusan napas Reno. Sontak, Vindi menutup mata.

Entah apa yang akan dilakukan Reno. Dengan jahil, Reno meniup wajah Vindi yang sontak membuat wanita itu terkejut dan langsung membuka mata.

"Apaan sih, Pa?" sergah Vindi memukul pelan lengan Reno.

"Tidak tahan! Kamu cantik, bening lagi." Jawab Reno enteng.

Sungguh, mata Reno selalu saja berbinar kala melihat kecantikan seorang wanita. Lebih-lebih seperti Vindi, istrinya sendiri.

"Ish, Papa, sudah deh. Terus, kenapa buru-buru begitu?" tanya Vindi sembari bangkit, membuang tisu bekas noda.

Vindi kembali lagi dan merapikan dasi Reno. Kemudian, beralih menyisir rambut Reno dengan jemarinya sembari menunggu jawaban yang tak kunjung datang.

"Kok tidak jawab?" tanya Vindi lagi membuat Reno terkekeh.

"Aku ada janji sama Bianca, supermodel kondang bersama suaminya, Tarno, untuk program kehamilan," jawab Reno.

Mendengar kata model, sontak membuat pikiran Vindi kacau. Ia sudah memprediksi bila yang namanya model itu sudah pasti tinggi, cantik, seksi dan masih banyak lagi pokoknya.

Terlebih, ini model kondang. Entah mengapa ia tak suka mendengar kabar itu.

"Awas loh kecantol, Pa!" seru Vindi memperingati suaminya.

Takut-takut, bila Reno khilaf. Karena, Reno itu memang tipikal pria yang kerap kali lihat yang bening-bening suka lupa daratan.

"Mungkin saja terjadi," ucap Reno yang entah serius atau hanya bercanda saja. Itu terdengar horor di telinga Vindi.

Sontak membuat Vindi kaget dengan ucapan Reno yang baru saja berlalu. Hingga, pikiran kalutnya tak sadar mengantarkan Vindi pada keterkejutan kembali.

Secara tak sengaja tangannya menyenggol cangkir kopi yang ia sisihkan tadi. Bukannya berbalik kala mendengar suara pecahan, Reno tetap melanjutkan langkahnya.

Vindi menatap nanar pada pecahan cangkir itu. Yang awalnya mulus, kini retak, bahkan hancur berkeping-keping.

Sama persis bila diibaratkan dengan hati yang mudah retak. Setelahnya, Vindi membereskan kekacauan yang ia buat.

***

Reno sudah sampai di rumah sakit beberapa menit lalu. Kini, dirinya sudah berada di ruang praktek. Ketika memeriksa beberapa berkas, fokus Reno dialihkan oleh ketukan pintu yang menggelegar.

"Silakan masuk!" ucap Reno keras.

Pintu itu dibuka oleh pria yang memiliki tampang di bawah rata-rata, begitu pandangan semua orang, karena dia dikenal sebagai pelawak. Walaupun demikian, sejatinya lelaki ini cukup tampan dan imut.

Terlihat, pria itu mempersilahkan masuk seorang wanita yang super cantik. Reno langsung melupakan berkasnya dan beralih menatap wanita tersebut.

Di ruang praktek ini menjadi saksi bisu bila Reno kini baru saja kedatangan seorang wanita cantik yang langsung berjalan ke arahnya, yaitu Bianca. Bianca memang datang bukan seorang diri. Ia ditemani oleh seorang lelaki yang dicap sebagai pelawak super jelek, yaitu Tarno, suami Bianca. Julukannya saja Gorilla.

Terlihat, Tarno itu sangat penurut yang seperti saat ini tengah disuruh Bianca membawa tas, yang sebenarnya beratnya saja tak seberapa. Memang, Bianca banyak tingkah.

"Jangan sampai lecet tasnya! Bawa yang benar!" ucap Bianca memberi instruksi pada Tarno.

Jangan tanya jawaban Tarno apa, karena ia hanya mengangguk saja. Patuh sekali! Tak ada penolakan di sana. Lebih mirip babu, ketimbang suami.

"Sorongin dong kursinya! Aku mau duduk!" perintah Bianca lagi.

Tarno pun menurut dan mempersilahkan Bianca duduk menghadap Reno. Reno pun sedari tadi terdiam melihat interaksi pasangan suami istri itu.

Lebih mirip atasan dan bawahan saja. Namun, mata tajam bak elang itu lebih suka memandang wajah Bianca yang cantiknya tak bisa dijabarin lagi menggunakan kata-kata.

Tarno yang pasrah saja seperti itu, tentu saja mengundang pertanyaan. Ini semua, dikarenakan Tarno yang cukup stres, karena karirnya yang menurun.

Sekarang ini, ia hanya pasrah hidup di bawah ketiak Bianca. Mau protes juga tak bisa, karena pada dasarnya, Tarno adalah tipe pria yang penyabar.

Apa pun kemauan Bianca, sudah pasti di-iyakan oleh Tarno. Terlebih, kesetresan ini pula mengganggu pikiran Tarno, sudah pasti dia menjadi penurut berkali lipat. Sungguh, kasihan!

"Selamat pagi, Pak Tarno dan Ibu Bianca." Ucap Reno membuka pembicaraan. Tak lupa juga menjabat tangan Tarno dan Bianca bergantian.

Pandangan mereka berdua pun bertemu — Reno dan Bianca — membuat mereka berdua merasakan desiran aneh di ulu hati. Ada rasa yang tak bisa dijabarkan jika sudah menyangkut soal hati.

Keduanya tersenyum. Perselingkuhan terang-terangan itu dimulai.