Kejutan Untuk Duo Ular
"Mau perawatan apa bu?" tanya Sasya.
Ibu masih diam, bingung mungkin karena ini kali pertama dia ikut ke salon. Selama ini ibu hanya suka berbelanja tanpa mau ke salon. Aku sedikit heran kenapa kali ini wanita dengan penampilan norak itu ikut ke salon.
"Sama kaya kamu saja, Sa. Ibu gak tahu," jawabnya dengan suara pelan. Mungkin dia malu.
Aku sendiri saja harus tutup muka saat ibu mertua ikut ke salon. Bukan karena dia baru pertama kali menginjakkan kaki di sini. Tapi karena penampilannya sangat kampungan. Hari ini hancurlah reputasi ku sebagai Alia pengusaha mebel.
Dulu aku selalu maklum dan berusaha memahami bagaimana pun penampilan ibu Mas Alvan. Namun setelah mengetahui pengkhianatannya, rasa benci pun tubuh dengan sendirinya di hati.
Dengan wajah sumringah Sasya memilih semua perawatan tubuh. Dari facial, spa, dan lain sebagainya. Aku sampai geleng-geleng kepala melihatnya. Terlihat jelas jika mereka memanfaatkan harta kekayaanku. Mereka memang keluarga parasit.
Hari ini aku hanya memilih perawatan rambut saja. Bukan tanpa alasan, aku ingin menjalankan rencana agar mereka berdua sedikit kapok bermain-main denganku.
Senyum mengembang tergambar jelas di wajahku saat membayangkan terkejutnya duo ular. Ya Tuhan, semoga Engkau memaafkan diriku ini.
Kami menjalani perawatan masing-masing. Aku dan duo ular menjalani perawatan di tempat yang berbeda karena memang kami memilih perawatan yang tidak sama.
Guyuran air mendinginkan panasnya kepala. Memikirkan berbagai cara cantik untuk membalas pengkhianatan mereka tidaklah mudah. Jika bisa dilihat mungkin kepalaku sudah mengeluarkan asap saking panasnya. Pijitan pelan dari Mbak Umi membuatku merasa mengantuk saja.
Walaupun mengantuk tapi aku berusaha untuk tidak terlelap. Aku tak ingin rencanaku hancur karena tertidur.
Tak terasa sudah satu jam aku menjalani perawatan rambut. Sasya dan ibu masih ada di dalam karena perawatan yang mereka pilih banyak. Hampir semua perawatan di salon ini mereka jalani.
"Mbak bayarnya nanti ya, ibu saya masih di dalam. Saya mau mengambil dompet di mobil dulu." ucapku pada karyawan bagian kasir.
"Baik mbak."
Mereka pasti memperbolehkan aku membayar nanti karena aku adalah salah satu pelanggan tetap di salon ini. Walau sudah lama tak berkunjung kemari. Namun mereka masih hafal betul denganku.
Melangkah menuju mobil yang terparkir tak jauh dari salon. Ku buka bagasi mobil. Ku keluarkan kartu kredit dan kartu debit lalu memasukkannya ke paper bag yang berisi pakaian bayi.
Ya, peper bag berisi pakaian bayi itu sempat ku pindahkan tanpa sepengetahuan ibu maupun Sasya. Sebelum kami berangkat ibu mengeluh sakit perut dan harus ke kamar mandi. Sasya sendiri lebih memilih menunggu di ruang tamu. Kesempatan itu ku gunakan untuk memindahkan peper bag ke bagasi mobil.
Allah memang menyayangi hambanya. Terbukti hari ini Allah memberi banyak pertolongan. Mulai membuka kebusukan keluarga Mas Alvan hingga mempermudah rencanaku hari ini.
Alhamdulillah,tak hentinya aku bersyukur.
Krucuuuk... Krucuuuk ....
Rupanya cancing di perut sudah protes meminta jatah. Niat hati ingin diet tapi sepertinya hari ini ku urungkan saja. Aku harus bertenaga untuk menghadapi duo ular. Meleng sedikit saja ular itu bisa lepas dari genggaman.
Ku lihat sekeliling,mencari rumah makan terdekat. Tepat di samping bangunan salon ada sebuah rumah makan yang menjual bakso dan mie ayam. Segera ku langkahkan kaki menuju ke rumah makan.
"Mau pesan apa mbak?" tanya seorang wanita muda yang memakai hijab instan berwarna biru tua itu.
Ku lihat menu makanan yang ditempel di dinding ruko. Berbagai jenis bakso ada di sini. Dari bakso lava, bakso beranak, bakso urat dan bakso telur.
"Bakso beranak satu, Mas. Tanpa mie ya," ucapku lalu duduk di bangku pojok sebelah kanan.
"Minumnya apa Mbak?" Seorang pelayan menyusul ke tempat dudukku.
"Es jeruk dengan gula sediki." Pelayan itu mengangguk lalu pergi dari hadapanku.
Tak berapa lama seorang pelayan mengantarkan bakso pesananku. Dalam mangkuk hanya ada satu buah bakso. Kuah di tempatkan di mangkuk berbeda karena bakso satu saja sudah memenuhi mangkuk.
Ku potong dengan sendok bakso itu. Di dalam bakso masih ada bakso kecil sekitar enam atau tujuh. Segera ku makan menu kesukaanku itu. Orang yang diet pasti akan gagal jika dihadapannya sudah tersaji bakso seperti ini.
Tak butuh waktu lama satu mangkuk bakso beranak sudah berpindah ke dalam perutku. Alhamdulillah kenyang. Aku sudah siap meladeni duo ular.
Setelah membayar aku segera kembali ke salon. Semoga saja duo ular itu belum selesai hingga tak menimbulkan kecurigaan.
Menghembuskan nafas perlahan, aku lega saat ibu dan adik iparku masih menjalani perawatan. Nampaknya keberuntungan masih berada di pihak ku
Duduk di kursi tak jauh dari kasir. Ku keluarkan benda pipih di dalam tas. Segera ku nonaktifkan ponselku agar rencana yang ku susun dapat berjalan mulus. Rasanya tak sabar melihat ekspresi mereka.
Ibu dan Sasya ke luar bersamaan. Senyum sumringah tergambar jelas di wajah ibu. Setelah perawatan wanita yang telah membesarkan suamiku itu nampak cantik. Andai dia tak berkhianat sudah pasti aku akan memuji kecantikannya. Namun karena dia ular berkepala dua, enggan mulut ini memujinya.
Tapi kenapa wajah Sasya cemberut seperti itu. Sudah seperti ibu rumah tangga yang belum mendapatkan jatah bulanan saja.
"Kenapa Sya?" tanyaku pura-pura perduli. Padahal kenyataannya aku tengah menahan tawa.
"Ini nih mbak, pegawai salonnya gak becus. Mintanya cuman dirapiin tapi malah dipotong. Kan jadi jelek mbak!"
Jelas saja Sasya marah, anak itu memang tidak suka dengan model rambut pendek tapi kini rambut kesayangannya hanya tinggal sebahu. Hahaha... Rasakan! Ini tak seberapa dengan rasa sakit hatiku karena pengkhianatan kalian.
"Apa benar begitu mbak?" tanyaku pada Lita sambil mengedipkan mata.
"Tidak Mbak, orang dia minta dipotong kok. Ya saya potong. Eh, setelah satu kali potong dia malah marah-marah tapi tetap mau dipotong, kan aneh."
"Lha iya kenapa kamu tidak protes dari tadi Sya?
"Sayang kan Mbak baru enak-enak di salon harus berdebat. Makannya Aku pilih protes diakhir kaya begini."
Aku hanya geleng-geleng kepala melihat sikap mereka. Astaga, benar-benar keluarga tak punya malu.
"Kalau begitu ya gak usah protes, Sya! Bikin malu!" ucapku kesal.
Sasya hanya diam lalu asyik memainkan ponsel.
Perdebatan yang ku kira akan menjadi besar ternyata hanya seperti ini. Sungguh membuatku kecewa.
Aku berjalan mendekati kasir, menanyakan berapa total yang harus ku bayar.
"Ya Allah!" Aku berpura-pura panik sambil membolak-balikan isi dompet.
Ibu dan Sasya saling senggol lalu menatapku bersamaan. Raut bingung tergambar jelas di wajah duo ular.
"Tunggu saatnya kalian senam jantung!" batinku.
"Ada apa Al?" tanya ibu penasaran.
"Aduh, bu. Kartu debit dan kartu kredit aku tidak ada. Bagaimana ini Bu?" Ku pasang wajah panik.
Ibu semakin tegang, keringat membasahi pelipis padahal ruangan ini berAC.
"Mbak Alia jangan bercanda dong!" Sasya mendekat ke arahku.Tanpa meminta izin adik iparku itu langsung merebut tasku dandan mengeluarkan semua isinya. Tak hanya itu dompetku pun menjadi target berikutnya.
"Percuma kamu cari sampai besok juga gak bakalan ketemu," batinku puas.
"Bagaimana dong Mbak? Mbak Alia gak bawa uang kontan?" Sasya semakin panik.
"Mbak bawa tapi hanya cukup untuk perawatan Mbak saja." Aku pura-pura merasa bersalah. Meski kenyataannya aku tengah berbahagia.
"Pakai m-banking aja lah Mbak!" rengeknya.
"Aduh ponsel Mbak mati dari tadi."
Sasya melotot ke arahku. Tatapannya seperti srigala yang hendak menerkam rusa. Aku hanya diam.
"Apa ibu dan Sasya tidak memiliki uang?"
"Ya enggak lah Mbak, kan Mbak yang ngajak ke salon!" ketus Sasya.
Hello, tidak salah apa ya? Bukannya dia yang mengajak ke salon tapi kenapa aku yang disalahkan?
"Mau bayar kontan atau pakai debit Mbak?" tanya pegawai yang aku tak tahu siapa. Mungkin dia pegawai baru, karena baru kali ini aku melihatnya.
"Ini untuk perawatan saya saja mbak. Untuk ibu dan dan Mbaknya ini belum ada." Ku serahkan lembaran uang merah pada kasir.
"Bagaimana dong Bu?" Sasya mengguncangkan tubuh ibu. Sementara ibu hanya diam dengan wajah pucat pasi.
"Mbak ini niat bayar atau gak sih!" bentak Lita.
"Jangan seenaknya sendiri dong Mbak, kami kuat bayar kok. Memangnya Mbaknya gak tahu siapa saya!"
Lagi-lagi aku hanya menggelangkan kepala melihat tingkah Sasya. Di saat terjepit pun dia masih saja sombong. Apa dia tak sadar harta siapa yang selama ini dia nikmati.
"Aku tahu, mbak tapi pura-pura protes agar perawatannya gratis kan! Maaf mbak, di sini bukan panti sosial!" Wajah Sasya semakin merah padam.
Percekcokan Lita dan Sasya semakin panas hingga membuat kami menjadi tontonan gratis. Aku diam sambil menyaksikan perdebatan mereka. Hitung-hitung merilekskan pikiran karena ulah mereka.
Pura-pura sakit sambil memegangi perut aku sedikit berlari ke belakang. Biarlah mereka menyelesaikan urusan mereka sendiri. Aku hanya ingin menyadarkan siapa sebenarnya Nadzwa Alia Kusuma.
