Pesan dari Rangga
Ponselku terus berdering. Kuhentikan sejenak menyuapi Caca. Kuangkat telepon dari Mas Rangga.
"Halo, ada apa lagi, Mas?" tanyaku pada Mas Rangga di seberang sana.
"Kinan, paket makanannya udah kamu terima? Gimana enak, 'kan?" ucap Mas Rangga di seberang sana.
Aku terhenyak, ternyata yang mengirim makanan itu adalah Mas Rangga bukan suamiku. Kenapa aku bisa berpikir bahwa Mas Bagaslah pengirimnya. Tak mungkin dia akan secepat itu berubah. Bodohnya aku ....
"Halo Kinan? Kamu masih disitu, 'kan?" tanya Mas Rangga lagi.
"I-iya, Mas. Aku masih di sini. Jadi kamu yang mengirim makanan itu buatku? Tapi untuk apa, Mas?" tanyaku polos dan terbata.
"Iya aku sengaja mengirimnya buat kamu. Maaf jika tak mengabarimu dulu dan membuat bingung. Aku cuma ingin berbagi hal kecil denganmu," jawabnya.
"Terima kasih, Mas. Sebenarnya kamu gak perlu repot-repot karena aku merasa gak enak sendiri," ucapku.
"Gak apa-apa, Kinan. Kamu harus terbiasa menerima sesuatu dariku. Yaudah, selamat menikmati, semoga kamu suka ya," sahutnya lagi lalu menutup teleponnya.
Dan tadi dia bilang aku harus terbiasa menerima sesuatu darinya. Apa maksud dari pria itu sebenarnya?
Aku merasa malu menerima pemberiannya begitu saja. Takut jika Mas Rangga punya maksud buruk terhadapku. Tapi setelah aku pikir, mana mungkin dia mempunyai maksud buruk sedangkan aku tidak pernah menyakitinya.
Aku memilih tak banyak berpikir lagi dan memakan makanan pemberian Mas Rangga. Menurutku tak baik jika menolak rejeki apalagi aku memang sudah sangat jarang membeli jajanan karena uang belanja yang memang sangat terbatas. Jangankan untuk jajan, bisa untuk makan sebulan saja sudah bersyukur.
****
Sore hari seperti biasa, aku mengajak Caca bermain di depan rumah dengan Ibu-Ibu lain yang juga memiliki balita.
Suasana sore di kampung ini memang ramai. Banyak anak kecil bermain atau sekedar jajan di luar. Beberapa Ibu-Ibu juga kulihat bergerombol membahas apa saja yang menurut mereka menarik.
Caca sudah mulai belajar berjalan, jadi aku harus mengikutinya takut jika dia terjatuh. Bocah itu memang sedang aktif-aktifnya.
Dari jauh kulihat Mas Rangga baru pulang dari kerja, dia masih memakai sepatu dan tas yang terselempang di bahunya.
Aku dengar sekarang dia sudah membuka usaha interior sendiri meskipun masih baru. Sebelumnya, dia masih kerja ikut dengan orang lain. Pantas saja Mbak Risa sekarang semakin sombong.
Sudah jadi pembicaraan orang-orang di kampung bagaimana sikap Mbak Risa dan keluarganya yang selalu tinggi hati. Di sini memang Mas Rangga masih tinggal bersama dengan Mertuanya.
Motor Mas Rangga semakin mendekat, saat melewatiku dia tersenyum manis sekali namun tak berani menyapa karena ada banyak Ibu-Ibu di sini.
Refleks aku membalas senyuman manis pria itu. Saat aku amati, Mas Rangga terlihat benar-benar tampan. Itulah kenapa istrinya selalu cemburu buta kepadanya.
Entah kenapa hatiku merasa lebih baik setelah melihat senyuman Mas Rangga. Apakah aku mulai menyukainya, entahlah ....
Setiap Mas Rangga berbicara dengan perempuan lain yang masih tetangga bisa dipastikan Mbak Risa akan terus mengawasi, tidak melepaskan pandangannya walau sekejap saja.
Jika Mas Rangga keluar dan lama kembali, maka perempuan itu akan bingung mencarinya ke sana ke sini. Kadang dia sibuk menelpon suaminya itu agar segera kembali ke rumah.
Tak lama terdengar suara motor Mas Bagas. Caca melihat ke arah Ayahnya itu. Ia tersenyum bahagia dan berlari kecil ke Mas Bagas. Meskipun kerap kali dibentak dan dimarahi, tak membuat bocah kecil itu kapok mendekati Ayahnya.
Caca mengarahkan tangannya ke Mas Bagas, putriku ingin digendong oleh Ayahnya. Tangan Mas Bagas menepis tangan kecil itu dan dia berlalu masuk ke dalam.
Caca menangis menjerit memanggil Ayahnya, tubuhnya berontak saat aku mencoba mengangkatnya. Aku tak ingin dia mendapat bentakan lagi dari Mas Bagas.
Kubawa bocah itu ke kamar dan kuberikan mainan. Setelah beberapa saat aku bujuk, akhirnya dia bisa tenang kembali dan bermain dengan mainan yang tadi kuberi.
Sakit hatiku melihat perlakuan Mas Bagas ke putrinya sendiri. Lelaki itu selalu memasang wajah muramnya di depan kami. Tak pernah dia memberikan senyum tulusnya untuk anak istrinya.
Saat aku memgambil air wudhu karena terdengar adzan maghrib berkumandang, kulihat suamiku itu makan sesuatu yang dibawanya saat pulang kerja. Jangankan menawariku, menoleh pun tidak. Seakan-akan aku ini tidak ada di hadapannya.
Aku tersenyum miris. Bagaimana mungkin lelaki seperti dia mempunyai pikiran mengirimi istrinya paket makanan.
"Tega sekali kamu, Mas," batinku.
****
Sepanjang malam kuhabiskan waktuku bersama dengan Caca. Aku ingin anakku tidak merasakan kesepian seperti yang aku rasakan. Dia harus berpikiran bahwa ada Ibunya yang sangat menyayanginya.
Mas Bagas bahkan tidak menghiraukan kami semenjak pulang kerja tadi. Dan aku memilih tak peduli. Dia mungkin marah, tapi aku jauh lebih sakit hati. Belum kering luka yang selama ini dibuatnya, ditambahinya lagi setiap hari hingga hati ini tak pernah sembuh dari luka.
Aku melirik ponselku yang tergeletak di atas nakas. Kenapa aku jadi ingin menghubungi Mas Rangga. Kenapa tiba-tiba aku memikirkan pria itu. Ingin berbagi hatiku yang sepi dengannya meskipun aku tahu ini salah.
Kuurungkan niatku karena aku takut Mbak Risa yang akan membuka pesanku. Bisa hancur aku ditangannya jika kedapatan menghubungi suaminya.
KLUNTING!!
Satu pesan masuk di ponselku. Kuraih dan kubuka pesan itu. Bibirku tersenyum ketika melihat nama si pengirim pesan.
[Sudah tidur, Kinan] tanya Mas Rangga.
[Belum, Mas] jawabku.
[Pasti lagi mikirin aku kan ya] balasnya diiringi emoticon senyum dan tutup mulut.
Aku tersenyum dalam hati. Tebakan lelaki itu benar 100%. Tapi aku malu jika harus mengakuinya, jadi aku membalasnya dengan alasan yang lain.
[Belum ngantuk aja, Mas] balasku.
Malam itu kami saling berbalas pesan. Mas Rangga menceritakan tentang perasaannya selama ini padaku. Dia merasa punya ketertarikan padaku sejak aku menginjakkan kaki di kampung ini.
Mas Rangga juga mengatakan kerap kali mengetahui sikap kasar suamiku itu. Dia cuma ingin membuat aku merasa tidak sendiri.
[Kinan, besok kita sarapan bareng ya] ucap Mas Rangga.
[Apa?! Aku gak salah denger, 'kan] balasku.
[Besok aku jemput di depan toko indoapril, depan gang jam 9 pagi] balasnya.
Aku tak tahu harus membalas apa, jujur aku sangat takut jika harus menemui pria itu. Bagaimana jika ada tetangga yang melihat kami keluar bersama.
Lama menunggu balasan pesanku, akhirnya Mas Rangga mengirimkan pesan lagi.
[Nggak usah takut, semuanya akan baik-baik saja. Yaudah selamat tidur, sampai ketemu besok pagi ya] ucap Mas Rangga dalam pesannya.
Aku memilih tak membalas pesannya lagi dan menyimpan ponselku di bawah bantal setelah sebelumnya kuhapus riwayat panggilan dan pesan masuk.
Belum dapat kuputuskan apakah besok akan menemui pria itu atau tidak. Hatiku mengatakan tidak tapi pikiranku tak dapat menolaknya.
Kudengar pintu kamar di buka, Mas Bagas masuk dan duduk di sisi ranjang. Aku memilih memejamkan mataku pura-pura tidur.
"Kinan, besok masakin aku gulai ikan," ucapnya seraya mengguncang bahuku.
Kubuka mataku dan melihatnya tengah memandangku."Liat besok aja, Mas. Mak Sarni suka kehabisan ikannya," sahutku.
"Makanya kalau bangun yang pagi biar gak keduluan sama emak-emak yang lain," sahutnya.
"Yaudah biarin aku tidur sekarang, biar besok gak kesiangan," balasku.
"Oh iya, tadi kamu beli martabak dua dus? Boros banget sih jadi istri. Awas aja kalau akhir bulan sampai kehabisan duit belanja," cerocosnya asal tuduh.
Mungkin suamiku menemukan dus martabak yang ada di kulkas. Aku memang belum menghabiskannya. Tak membaginya pada Ibu Mertuaku juga takut nanti dia tanya kapan aku belinya karena setahu dia aku hanya di rumah sepanjang hari.
Aku diam tak menanggapi pertanyaan Mas Bagas. Udah males saja dengan ucapannya yang selalu buruk. Lebih baik aku tidur. Dan sepertinya dia tak menuntutku untuk menjawabnya seperti tadi pagi.
Baru kutarik selimutku untuk segera tidur, Mas Bagas sudah menariknya lagi.
"Dek, kita main bentar ya?"
