Mengajak Wisata
Di depan gang, Mas Rangga menurunkanku. Sebelum aku berlalu dia mencegahku sebentar.
"Kinan, boleh aku meminta nomermu?" tanya Mas Rangga.
Aku berpikir sejenak. Mas Rangga menunggu jawabanku. Akhirnya kukeluarkan ponsel pemberian adikku dan menunjukkan nomernya pada Mas Rangga.
"Terima kasih ya, Kinan," jawabnya seraya tersenyum menawan.
Mas Rangga memang tampan. Dibandingkan dengan suamiku dia jauh lebih ganteng. Tapi aku tak tahu kenapa dari awal aku pindah ke kampung suamiku, dia tertarik padaku.
Dulu awal-awal nikah saat pria itu selalu mendekatiku, aku selalu menjauhinya. Tak mau orang-orang berpikiran buruk tentangku.
Mbak Risa, istri Mas Rangga terlihat tak pernah menyukaiku tanpa kutahu apa alasannya. Saat kusapa dengan tersenyum pun dia selalu melengos tak menanggapi.
****
"Kinan, dari mana aja kamu? Kenapa tak ada saat aku menjemputmu?" tanya Mas Bagas dengan mata melotot.
"Kamu terlalu lama, Mas. Jadi aku jalan kaki saja," jawabku menunduk.
"Kenapa gak bilang dari awal, aku kan jadi bolak-balik cari kamu," seru Mas Bagas emosi.
"Kamu sendiri lebih mementingkan perempuan lain dari pada aku, Mas!" ucapku membela diri.
"Apa salah aku menolong Nita? Kasihan dia jalan kaki sendiri bawa barang banyak pula," sahut Mas Bagas tak mau disalahkan.
"Apa kamu tak kasihan dengan istrimu yang membawa barang dan menggendong anakmu?" ucapku.
"Kamu terlalu banyak omong, Kinan! Aku sudah menyuruhmu menunggu, kamu saja yang tak sabar." seru Mas Bagas emosi.
"Aku kasihan sama Caca, Mas. Di sana banyak nyamuk, udara malam juga gak baik buatnya," sahutku lagi.
"Udah jangan banyak alasan. Cuma masalah kecil saja kamu perbesar." sahutnya. Padahal dia sendiri yang marah-marah malah menuduhku memperbesar masalah.
Aku merasa sangat kesal pada suamiku itu. Kubawa Caca yang telah tertidur masuk kamar. Kurebahkan gadis kecilku di pembaringan.
Setelah yakin Caca tertidur pulas, kutinggalkan dia di kamar. Tenggorokanku terasa kering, ingin mengambil air minum di dapur.
Kulihat Mas Bagas makan dengan lahapnya di depan televisi. Kudekati dia, melihat apa yang dia makan. Ternyata dia makan nasi Padang daging rendang. Aku menelan salivaku, ingin sekali mencicipinya sedikit saja.
"Apa lihat-lihat? Kalau pingin, beli aja sendiri." ketus Mas Bagas.
Aku mengelus dada menahan sakit hati. Begitu tak berharganya aku di matanya. Hingga berbagi makanan pun dia tak mau.
Aku memilih pergi meninggalkannya dari pada mendapat ucapan pedas lagi.
"Kinan, ini uang belanjamu. Udah aku siapkan, jangan boros harus cukup sampai sebulan." ujar suamiku.
Kuambil uang yang diberikannya. Kuhitung jumlahnya ternyata ada 1 juta kurang 40 ribu.
"Yang 40 ribu kubuat beli nasi Padang," ucapnya sebelum aku bertanya.
"Kamu beli nasi padang 2 bungkus, Mas? Lalu satunya mana?" tanyaku karena 1 nasi Padang seharga 20 ribu.
"Yang satu aku berikan pada Nita tadi pas nganterin dia," jawabnya tanpa rasa bersalah.
Hatiku mencelos mendengar jawaban pria yang ada di hadapanku. Begitu tega dia denganku. Bukan soal nasi Padang seharga 20 ribu. Tapi soal seberapa dia menghargaiku.
Mas Bagas bergaji 4,5 juta tapi dia memberiku uang belanja tak sampai setengah dari gajinya. Bahkan sekarang dipotong 40 ribu olehnya.
Tak terasa air mataku menetes tak tertahan. Sakit sekali hati ini. Tak ingatkah dulu bagaimana dia meyakinkan hatiku agar menerima cintanya. Hingga nasehat Bapak pun tak aku hiraukan.
Tak ingin dia melihatku menangis karena yang ada dia akan semakin mengomel. Aku pergi ke kamar dan menumpahkan air mata secara bebas.
"Bapak ... Aku kangen, Pak," gumamku dalam hati.
Aku ingat betul bagaimana sayangnya Bapak dulu terhadapku. Setiap dia memperoleh makanan entah dari kenduri atau dari bosnya, maka dia rela tak memakannya demi membuat kami kenyang.
Orangtuaku memang bukan orang berada. Tapi mereka selalu memperhatikan kesejahteraan anak-anaknya.
Setidaknya aku bisa makan enak saat bersama orangtuaku dulu. Tak pernah mereka mencaci maki dengan ucapan kasar. Setiap hari selalu dihabiskan dengan bercanda dan berkumpul bersama.
Aku jadi merindukan masa-masa bersama keluargaku. Tapi saat ini aku tak berani pulang ke rumah. Bapak tak lagi menganggapku anaknya.
Lelah menangis membuatku ketiduran. Hingga aku merasa ada tangan yang memeluk tubuhku dari belakang. Tangan itu tak akan berhenti bergerilya hingga dia akan mendapatkan jatahnya.
Begitulah suamiku, dia hanya mendekatiku jika dia menginginkan sesuatu. Namun, setelah itu dia akan kembali pada tabiat awalnya. Aku merasa dia tak lagi mencintaiku.
****
Keesokan harinya, seperti biasa aku bangun subuh untuk melakukan mandi wajib. Setelah itu kulaksanakan dua rakaat sebagai kewajibanku sebagai umat islam.
Kucuci beras dan menanaknya, setelah itu aku mengolah bahan makanan yang ada di kulkas. Ada sayur kacang panjang, udang dan tempe kutumis jadi satu.
Aku harus hemat dengan menu makanan yang aku sediakan. Jika tidak maka uang itu akan habis sebelum akhir bulan. Pasti Mas Bagas marah dan tak mau tahu aku harus tetap menyediakan makanan untuknya.
Mas Bagas berangkat kerja tanpa banyak drama. Sarapan dan bekal makan siang dengan menu yang sama, kecuali untuk bekal kutambahkan telor dadar.
Kucuci pakaian yang telah kurendam subuh tadi. Setelah membilasnya dua kali, kuberikan pewangi. Tak ingin suamiku protes karena bajunya bau apek setelah dijemur.
Alhamdulillah kerjaan selesei juga, karena tadi Ibu Mertua mengambil Caca dan di bawah ke rumahnya.
Saat hendak keluar menjemput Caca, ponselku berdering. Kulihat nama di layar ternyata Mas Rangga-suami Mbak Risa-yang menelpon.
Ragu aku menjawabnya. Takut jika nantinya akan menimbulkan masalah buatku. Kuputuskan untuk meninggalkan saja ponselku di rumah tanpa peduli panggilan masuk terus berbunyi.
****
Aku mengikuti kegiatan PKK yang diadakan di kampung ini. Awalnya aku menolak untuk ikut, tapi Indah-tetanggaku- terus memaksa agar tidak berdiam diri saja di rumah.
"Mas, aku mau PKK dulu ya," ucapku meminta ijin dari suami.
"Ambilin aku makan dulu, jangan lupa minumnya sekalian," sahut Mas Bagas, suamiku yang sedang asyik bermain ponsel.
Aku segera mengambilkan suamiku makan lalu kuletakkan makanan itu di hadapannya.
"Mas, itu sudah aku siapin." ucapku seraya menggendong Caca yang sedari tadi rebahan di depan televisi.
"Kinan, ini chas dulu ponselku. Baru kamu pergi." ucap Mas Bagas seraya menyerahkan ponselnya padaku.
Begitulah sikap Mas Bagas. Apapun selalu mengandalkanku. Dia selalu minta dilayani mulai dari bangun tidur hingga akan tidur kembali.
Setelah memenuhi semua permintaan Mas Bagas, aku menjemput Mbak Indah di rumahnya dengan Caca dalam gendonganku.
"Mbak, udah siap?" tanyaku saat memasuki rumah Mbak Indah.
Di sini Mbak Indah tetangga sekaligus teman dekatku. Aku selalu bercerita tentang banyak hal padanya. Bahkan sifat suamiku pun dia tahu, karena dia masih ada hubungan saudara dengan Mas Bagas.
"Bentar, Kinan. Indah di kamar masih siap-siap."Mas Yudha, suami Mbak Indah yang menjawab.
"Iya, Mas. Acaranya juga belum dimulai kok." jawabku seraya menurunkan Caca.
Mbak Indah dan Mas Yudha suka sekali dengan anak kecil. Mereka suka mengajak anakku saat bepergian. Entah untuk belanja bulanan atau sekedar mencari makan. Dan pulangnya bisa dipastikan mereka akan memberi sesuatu untuk Caca.
Sedangkan anak mereka-Nada-sudah besar dan mandiri. Kadangkala Nada juga suka membawa Caca saat dia lagi gak ada kegiatan.
Mbak Indah keluar dari kamar. Wajahnya terlihat begitu cantik dengan seragam PKK warna kuning batik yang digunakannya. Aku mengagumi wanita itu, selain baik dia juga cantik dan tidak sombong.
Di acara PKK Ibu ketua mengumumkan akan diadakan wisata ke pantai. Diharapkan agar semua bisa ikut, boleh membawa keluarganya masing-masing.
Aku senang sekali secara sudah lama aku tak pernah diajak bepergian oleh Mas Bagas.
"Nanti ikut kan, Kinan?" Mbak Indah bertanya kepadaku.
"Iya, Mbak. Aku pingin sekali ikut. Nanti mau ngomong dulu sama Mas Bagas." sahutku.
"Aku mengajak Mas Yudha dan Nada. Mereka pasti akan senang sekali. Sebagian besar Ibu-Ibu juga mengajak suami dan anaknya. Kalau bisa, kamu ajak suamimu juga, Kinan." saran Mbak Indah.
"Iya, Mbak. Semoga saja Mas Bagas mau." ucapku ragu.
Biasanya suamiku itu susah sekali jika kuajak bepergian, kecuali dia yang memang ada perlu. Makanya kemana -mana aku selalu sendirian. Kadang timbul rasa iri melihat istri-istri yang lain diantar suaminya kemana pun.
Setibanya di rumah kuberitahukan kabar itu kepada suamiku.
"Mas, PKK akan ngadain wisata ke pantai. Apa kamu mau ikut?" tanyaku pada Mas Bagas.
"Males, lagian kamu boros banget pake acara pergi-pergi segala," jawabnya cuek.
"Aku gratis, Mas. Untuk anggota biaya udah ditanggung kasnya. Sedangkan jika kamu ikut cuma nambah 100 ribu saja," sahutku menjelaskan.
"Tetap aja males. Kalau kamu mau, pergi saja sendiri. Gak pede aku jalan sama kamu," jawabnya seraya melirik sinis padaku.
Selalu jawaban pedas yang aku dapatkan. Padahal aku cuma ingin bisa bersama dengannya seperti pasangan yang lainnya. Aku rindu masa-masa indah dulu.
Apakah aku begitu buruk sekarang, sehingga suamiku selalu tak mau dekat-dekat denganku? Sudah begitu tak bernilai kah aku ini?
