2. Marry Me!
Chapter 2
Marry Me!
Prilly berniat untuk memanggil sopir melalui ponsel untuk menjemputnya karena tidak ingin pulang dijemput oleh Alexander. Sementara Anthony, kakaknya pasti sedang sibuk di kantornya karena dia adalah CEO di perusahaan baru yang didirikannya di bawah naungan perusahaan keluarganya. Atau mungkin sedang sedang sibuk dengan pacar-pacarnya.
Prilly merasa kesal sendiri, entah apa yang membuat dia semakin kesal setiap mengingat wajah dan perkataan Alexander kemarin. Tiba-tiba sebuah sedan hitam berhenti di depannya, dan sudah jelas Alexander yang datang menjemputnya. Prilly tidak mungkin menolak atau kabur. Meskipun merasa sangat canggung, tapi Prilly harus menghadapi situasi ini.
Alexander turun dari mobil, memakai setelan Jas mahalnya dan membawa seikat bunga mawar merah dan tiba-tiba berlutut di hadapan Prilly.
"Prilly Silviana Smith, will you merry me?"
Seperti jatuh dari atas langit, Prilly terkejut dan tidak tahu harus berkata apa. Semua orang yang melihat mereka mulai bersorak sorai dan para gadis menatapnya dengan tatapan iri.
Prilly Silviana Smith, ia adalah salah satu putri keluarga terkaya di London. Ia juga mahasiswa berprestasi di Fakultas Ilmu Hukum. Meskipun ia putri miliarder, namun ia memasuki universitas dengan jalur beasiswa. Dan saat ini, ia juga terdaftar sebagai seorang mahasiswa di Fakultas Ilmu Ekonomi di universitas yang sama.
Wajah cantik yang siapa pun pasti akan mudah mengingatnya, mata berwarna hazel, rambutnya yang berwarna coklat tua, kulitnya putih susu tetapi terlihat pucat, alisnya tebal dan rapi, tidak memerlukan eyebrow maupun sulam alis seperti kebanyakan gadis-gadis masa kini. Ia memiliki belahan yang minimalis pada dagunya, perawakannya yang cukup langsing namun berisi di bagian-bagian tertentu membuat para pria yang melihatnya tidak bisa mengalihkan pandangannya.
Karena Prilly tidak terlalu tinggi, hanya seratus lima puluh sentimeter membuatnya seperti tidak akan pernah tersentuh oleh lajunya waktu. Ia terlihat seperti gadis remaja berumur enam belas tahun dengan postur kecil mungilnya itu.
Sedangkan Alexander Johanson adalah pria dengan hidung mancung, alis tebal dan bibir sempurna, ditambah dengan tinggi yang menjulang, manik matanya berwarna abu-abu, memancarkan tatapan dingin seperti gundukan salju. Rambutnya berwarna kuning keemasan, rahangnya sangat kokoh, menandakan ia adalah pria yang tegas.
"Sungguh romantis."
"Oh, aku juga ingin dilamar."
"Gadis yang beruntung."
"Ayo terima!"
Suara-suara berisik itu membuat Prilly terbangun dari keterkejutannya.
"Alex, Alex." Prilly tergagap. "Apa kau gila?" guman Prilly mengomel pelan dan menatap Alex dengan kemarahan tersembunyi di balik mata hazelnya yang indah.
"Will you merry me?" Alexander mengulangi pertanyaannya.
Prilly hanya diam kemudian mengangguk dengan linglung, sambil menerima bunga dan Alexander segera memasukkan sebuah cincin di jari manisnya dan semua yang menyaksikan bersorak-sorai, kemudian tanpa sadar dia telah berada dalam pelukan Alexander.
"Cium... cium... cium!" Suara-suara itu semakin membuat linglung dan terasa sebuah kecupan mendarat di bibir Prilly.
Sebuah kecupan mendarat di bibir Prilly dan demi Tuhan, itu adalah ciuman pertama Prilly. Bahkan Prilly masih linglung ketika memasuki mobil, ia berharap ini hanya mimpi. Suasana semakin canggung, Prilly hanya diam menatap ke arah jendela mobil.
"Alex, aku...," tergagap Prilly mencoba untuk membuka percakapan.
"Kau telah menyetujuinya tadi. Tidak ada alasan untuk mundur," kata Alexander dengan nada tidak peduli.
"Aku hanya tidak ingin membuatmu malu," kata Prilly perlahan.
"Tidak, kau sudah setuju dengan lamaranku dan semua keluarga kita sudah mengetahuinya," sahut Alexander.
"Apa kau bilang?" untuk kesekian kali Prilly terkejut. "Bagaimana bisa?"
"Aku membawa tim yang merekam semuanya dan mengirimkan videonya ke seluruh keluarga kita," jawab Alexander dengan tenang.
Prilly ingin menangis, marah dan mengumpat. Tetapi ia tahu, hal itu tidak akan merubah apa-apa. Alexander Johanson adalah pria yang tidak bisa dibantah sedikit pun, tentu saja ia mengetahui hal itu. Tidak ada jalan untuk kembali, tidak ada. Prilly mau tidak mau harus menjalaninya.
Prilly melirik pria di sampingnya, pria ini tumbuh sebagai anak orang kaya raya yang semua keinginannya terpenuhi dengan cepat. Dia adalah pewaris tunggal dari perusahaan keluarganya, yang merajai bisnis di seluruh dunia. Orang tua mereka bersahabat sejak kecil dan mereka juga tumbuh bersama. Keadaan ini, sama seperti Alexander ketika kecil yang sedang menginginkan sebuah mainan baru. Karena tidak bisa menunggu lama, dia akan terus berusaha sampai ia mendapatkannya dan Prilly benci sifat Alexander yang selalu tidak bisa menunggu.
"Prilly, Aku mencintaimu selama dua puluh tahun. Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi, kau harus jadi milikku," kata Alexander dengan tenangnya.
Prilly hanya diam sampai mereka tiba di mansion orang tuanya. Tanpa sepengetahuan Prilly, keluarganya susah berkumpul dan seolah-olah semua orang telah menunggu mereka. Prilly semakin dibuat bingung ketika Diana dan Richard Johanson, yang tidak lain adalah orang tua Alexander juga berada di mansion keluarganya. Bahkan di sana ada Victoria Johanson, sahabat ibu Prilly.
"Mommy, Daddy, Kak Anthony...." Prilly menatap mereka, ingin sekali menjelaskan kesalahpahaman ini.
"Oh, anak Mommy sudah tumbuh menjadi gadis dewasa," sambut Sandra sambil memeluk anak gadisnya.
"Kau tidak pernah bercerita kepada Mommy, kalau kalian saling mencintai," gerutu Sandra.
Prilly hanya bisa bengong tidak bisa menanggapi apapun yang sedang terjadi.
"Selamat, Sayang," kata ayahnya, Federick Smith. "Oh, Daddy tidak menyangka, gadis kecil Daddy sudah dewasa." Erick -panggilan dari Frederick- tampak menggoda Prilly sambil memeluknya.
"Selamat, Sayang, mulai sekarang, akhirnya tugasku berkurang satu. Aku serahkan penjagaan adikku padamu, Alex," kata Anthony memberikan selamat pada adiknya.
"Tentu saja, dan kau jaga saja pacar-pacar sialanmu itu Anthony," Alexander menjawab dengan datar. "Hei, lepaskan calon istriku. Kau memeluknya terlalu lama."
"Dia adikku, kami sedarah. Aku bahkan bisa tidur dengannya tanpa harus menikah," sungut Anthony.
"Lihat betapa menyebalkannya kau, Alex," gerutu Anthony sambil melepaskan Prilly dari pelukan Anthony.
"Oh, Prilly, putri kecilku yang manis," Diana sangat antusias. Dia sangat menyayangi Prilly seperti putrinya sendiri. "Akhirnya kau menjadi putriku," Diana menciumi pipi Prilly.
"Prilly, sebentar lagi, kau akan menjadi Prilly Silviana Johanson," kata Richard Johanson, ayah Alexander sambil mengusap kepala calon menantunya.
"Prilly, selamat, aku turut gembira untukmu. Semoga kau bahagia," kata Victoria, memberikan ucapan pada Prilly dan memeluk gadis itu.
Prilly menatap mata biru Victoria dengan tatapan yang tak akan dimengerti oleh siapa pun yang berada di ruangan itu. Semua yang berada di ruangan itu, tidak ada satupun mengerti perasaan Prilly. Rasanya Prilly semakin putus asa.
Tidak lama kemudian, Victoria berpamitan untuk kembali ke kediamannya, yang tidak jauh dari mansion keluarga Prilly dan mansion keluarga Alexander tentunya dan malam itu menjadi sangat panjang dan membosankan bagi Prilly. Mereka membiacarakan mempersiapkan pernikahan yang akan dilaksanakan minggu depan.
Prilly masih linglung, apa harus secepat itu? Ia merasa seperti sedang bermimpi buruk. Harus menikah dengan orang yang tidak dicintainya. Prilly hanya pernah jatuh cinta pada seseorang yang bermata biru, yang pernah muncul di ingatan masa kecilnya. Yang tidak pernah ia temui kembali sejak ia berumur sepuluh tahun. Pria itu tak lain adalah putra dari Victoria Johanson, sepupu dari Alexander, calon suaminya. Mungkin pria itu telah memiliki seorang kekasih. Prilly yang sedikit pemalu dan pendiam tidak pernah berusaha menanyakan pada siapa pun tentang keberadaan pria yang diam-diam ia rindukan selama hampir sepuluh tahun itu.
***
Satu minggu berlalu dengan begitu cepat, Prilly ingin sekali kabur. Tetapi tidak ada alasan apa pun baginya untuk melarikan diri. Dia juga tidak mungkin melarikan diri, mau melarikan diri ke mana? Dia tidak punya teman akrab, semua temannya, Alexander pasti mengetahuinya. Jadi, tidak ada tempat baginya untuk bersembunyi.
Besok adalah hari pernikahannya, sepulang fitting gaun pengantin, Prilly hanya diam mengurung diri di dalam kamar. Ia mengenakan masker wajah, tidak ingin kulit wajahnya teelihat lelah besok.
"Prilly, aku boleh masuk?" suara kakaknya dari balik pintu setelah mengetuk pintu.
Prilly hanya diam di sofa dengan malas, hanya ujung matanya melirik kepada kakaknya yang tetap masuk ke kamarnya meskipun ia tidak menyahut untuk memberi izin.
"Hei, besok adalah pernikahanmu, kenapa kau murung begini? Seolah-olah dunia akan kiamat," sungut Anthony, sambil menghempaskan tubuhnya di samping adiknya.
"Kak...." Tenggorokan Prilly terasa tersekat saat dia menatap mata hazel Anthony kakaknya.
"Kak, aku...." Prilly berkata ragu-ragu. "Aku tidak mencintai Alex." Sekuat tenaga Prilly melanjutkan kata-katanya.
"Aku tahu," kata Anthony sambil membelai kepala Prilly. Dia merasa bersalah tidak bisa menolong adiknya. Dalam hati kecilnya, dia tidak bisa memaafkan diri sendiri.
"Tapi seperti yang kau tahu, Alex, dia tidak akan melepaskan dengan mudah apa pun yang diinginkannya," lanjutnya dengan sabar. "Bahkan, meskipun seribu kali kau menolaknya, dia akan tetap datang padamu dengam berbagai macam cara." Anthony meyakinkan Prilly. "Tapi, aku yakin dia pasti akan menjagamu, dia telah bersamamu sejak kau baru lahir." Anthony menjelaskan panjang lebar.
"Aku tidak mencintainya." Prilly menegaskan sekali lagi.
"Cinta akan datang kemudian. Kau pasti bisa belajar mencintainya." Anthony mengusap puncak kepala adiknya. "Apa kau sudah memiliki pacar?" tanyanya kemudian.
Prilly terdiam, apakah Prilly harus mengatakan sesuatu yang menjadi rahasia dalam dirinya selama ini? Rahasia yang telah ia pendam seumur hidupnya. Hanya dirinya dan Tuhan saja yang mengetahuinya.
Prilly hanya diam di pelukan kakaknya, ia tak mampu mengucapkan apapun. Suasana ini sama seperti dulu, Prilly kecil akan menangis di pelukan kakaknya ketika suasana hatinya buruk, pelukan kakaknya adalah tempat berlindung terbaiknya.
Anthony jelas tahu adiknya tidak nyaman dengan semua ini. Alexander pasti memaksakan kehendaknya lagi, tetapi besok adalah hari pernikahan. Sudah terlambat untuk membatalkannya. Seandainya Prilly mengatakan ini lebih awal, mungkin Anthony bisa membantu.
Jangan lupa tinggalkan jejak komentar kalian.
Salam manis dari Cherry yang manis.
