Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB. 6 Memulai Hidup Baru di Kuskovo

Setelah selesai makan malam, Liliya lalu mengikuti langkah Bibi Belka yang akan mengarahkannya ke lorong panjang yang sepi. Dinding-dinding rumah itu terasa dingin, seolah-olah menyerap semua kehangatan yang pernah ada. Liliya berjalan pelan, merasakan beban berat yang tidak hanya di pundaknya akan tetapi juga di hatinya.

Bayangan tentang kematian kedua orangtuanya, masih menjadi misteri baginya. Rasa sedih masih merasuki jiwa dan sanubarinya tapi demi untuk bertahan hidup, Liliya harus menjalani semuanya dengan ikhlas dan lapang dada.

Lamunan gadis itu seketika menjadi buyar, mendengar ucapan dari Bibi Belka.

“Liliya, mulai malam ini, kamar ini adalah tempat tinggalmu,” ucap Bibi Belka lembut, menghentikan langkah mereka di depan sebuah pintu kayu besar.

Bibi Belka lalu mendorong pintu itu dengan perlahan, memperlihatkan sebuah kamar yang rapi dengan pencahayaan hangat. Ada ranjang besar di tengahnya, dengan seprai putih bersih yang terlipat sempurna. Di sudut ruangan, sebuah lemari besar berdiri tegak. Namun, perhatian Liliya segera tertuju pada sesuatu yang mengguncang emosinya.

Di salah satu dinding kamar itu, tergantung foto kedua orang tuanya.

Mata Liliya segera memanas, dan air matanya mulai mengalir tanpa henti. Dia tak kuasa menahan tangisannya. Sang gadis lalu mendekat ke foto itu dengan langkah goyah. Hatinya seakan remuk, melihat senyuman kedua orang tuanya yang sangat dirindukannya.

Wajah-wajah itu yang seolah sedang memandangnya penuh kasih sayang, kini hanya tinggal kenangan.

“Bibi ....” Liliya mulai menangis tersedu-sedu, suaranya pecah di antara tangisannya.

“Kenapa semua ini terjadi? Siapa orang yang telah tega kepada Papa dan Mama?” isaknya tak tertahankan.

Bibi Belka, yang sudah menduga momen ini akan datang, segera memeluk Liliya erat-erat. Pelukan itu penuh dengan kehangatan, namun tetap tak mampu mengusir rasa sakit yang kini mendekam di hati Liliya.

“Liliya Sayang, Bibi tahu ini berat bagimu.” Bibi Belka berbisik, suaranya tenang namun terdengar bergetar sepertinya ikut merasakan kesedihan hati gadis muda itu.

“Bibi tahu betapa kamu merindukan mereka. Akan tetapi, hidup harus terus berjalan. Kamu harus kuat, Liliya. Kamu harus bisa melanjutkan hidup, walaupun tanpa kedua orang tuamu,” ujarnya sambil membelai lembut rambut gadis itu.

Liliya hanya bisa menangis lebih keras dalam pelukan Bibi Belka. Keduanya berdiri di tengah kamar itu, hanya diselimuti keheningan dan isak tangis yang sesekali terdengar.

“Sabar dan tabahlah, Liliya. Bibi yakin apa yang menimpamu saat ini atas kematian kedua orang tuamu. Pasti akan mendatangkan kebaikan bagimu di masa depan,” sergah Bibi Belka sambil menasihati gadis itu.

Setelah beberapa lama, ketika tangis Liliya mulai mereda, Bibi Belka melepaskan pelukannya dan menatap gadis itu dengan penuh kasih.

“Liliya, mulai saat ini kamu tidak akan sendirian. Bibi dan juga Igor akan selalu ada di sini untukmu. Kamu harus semangat dan fokuslah untuk membalas semuanya!” tuturnya lagi.

Liliya akhirnya mengangguk lemah, meski hatinya masih terasa kosong. Dia harus kuat mulai saat ini.

“Sekarang, coba istirahat. Kamu pasti sangat lelah setelah semua yang terjadi,” ucap Bibi Belka sambil tersenyum tipis.

“Besok adalah hari baru untukmu. Tidurlah dulu malam ini.”

Setelah berkata begitu,

Bibi Belka lalu berjalan ke arah pintu, lalu menoleh lagi sebelum keluar.

“Liliya, jika kamu butuh sesuatu. Jangan segan-segan untuk panggil Bibi, ya?”

Liliya hanya menjawab dengan anggukan kecil. Setelah Bibi Belka menutup pintu, gadis itu kembali menatap foto orang tuanya. Hatinya kembali terasa sakit, namun kini hanya isak pelan yang tersisa.

“Mama, Papa. Aku sangat merindukan kalian. Kenapa semua ini bisa terjadi? Apa yang harus aku lakukan sekarang?” tuturnya dalam hati.

Liliya menghapus air matanya dengan punggung tangannya dan memutuskan untuk berkeliling di dalam kamar itu. Dia ingin mengalihkan pikirannya dari kesedihan yang terus menggerogotinya. Matanya menyapu ruangan tersebut, mencoba mengenali tempat yang akan menjadi rumah barunya, meski terasa asing dan dingin.

Gadis itu lalu mendekati lemari besar di sudut ruangan. Dengan rasa penasaran, Liliya membuka pintu lemari tersebut. Di dalamnya, telah tertata rapi berbagai pakaian, semuanya terlihat baru. Liliya mengernyitkan alisnya ketika melihat pakaian itu. Anehnya, ukurannya tampak sangat pas untuk tubuhnya.

"Bagaimana bisa baju-baju ini sesuai dengan ukuran tubuhku?" gumam Liliya pelan, dan merasa semakin bingung.

Liliya lalu meraih salah satu gaun dari gantungan dan mengamatinya lebih dekat. Bahan gaun itu terasa lembut di jari-jarinya, dan potongannya terlihat sangat sesuai dengan tubuhnya. Rasa penasaran semakin menggelitik benaknya. Liliya akhirnya memutuskan untuk mencoba salah satu pakaian tersebut.

Setelah berganti pakaian, Liliya berdiri di depan cermin besar di kamar itu. Dia terdiam, memandangi bayangannya sendiri. Pakaian itu memang pas, seolah-olah dibuat khusus untuknya. Namun, hal ini malah membuatnya semakin curiga.

“Bagaimana mereka bisa tahu ukuran badanku?” Liliya berbisik pada dirinya sendiri.

“Ada apa ini sebenarnya? Kenapa semuanya tampak seperti sudah direncanakan sebelumnya?” Liliya pun semakin curiga dengan situasi yang terjadi kepada dirinya saat ini.

Perasaan aneh mulai menjalar dalam pikiran Liliya.

“Apakah ini semua kebetulan, atau ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini?” Dia tidak tahu jawabannya, namun satu hal yang pasti. Liliya akan bertanya tentang hal ini kepada Bibi Belka besok pagi.

Dengan pikiran yang penuh tanda tanya, Liliya kembali berganti ke piyamanya. Rasa lelah mulai menyergap tubuhnya, mungkin karena semua emosi yang dikeluarkan olehnya hari itu. Meski pikirannya masih dipenuhi kesedihan dan pertanyaan, tubuhnya sudah tak kuat lagi. Liliya lalu berjalan perlahan menuju tempat tidur, lalu membaringkan dirinya di atas seprai putih yang terasa dingin.

Kedua matanya menatap langit-langit kamar, sementara pikirannya melayang kembali ke kenangan bersama kedua orang tuanya. Sebuah kenangan manis muncul dalam benaknya, saat mereka bertiga duduk di meja makan, tertawa bersama. Kenangan itu begitu jelas, hingga dia hampir bisa mendengar suara tawa kedua orang tuanya. Namun, semua itu kini hanya tinggal bayangan.

“Papa, Mama …. Kalian kenapa harus pergi begitu cepat?” bisik Liliya, air matanya kembali mengalir. Tapi kali ini, dia terlalu lelah untuk menangis lebih lama.

Dalam keheningan malam, rasa kantuk akhirnya mengalahkan kesedihannya. Mata Liliya perlahan tertutup, dan tak lama kemudian, dia tertidur dengan tenang, meski hatinya masih dihantui rasa kehilangan yang mendalam.

Kamar itu kini sunyi, hanya desahan lembut napas Liliya yang terdengar. Di luar, angin malam berhembus pelan, membawa ketenangan yang tak dirasakan Liliya. Malam itu, dia tertidur dengan perasaan yang berat, terjaga dalam mimpi yang tak lagi ceria, dan menyisakan satu pertanyaan besar di hatinya, bagaimana Liliya akan melanjutkan hidup tanpa kedua orang tuanya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel