Pustaka
Bahasa Indonesia

Otopsi Asing

89.0K · Tamat
Romansa Universe
80
Bab
570
View
8.0
Rating

Ringkasan

Mayat seorang pria ditengah pandemi membuat hidup seorang forensik terusik, rupanya ada rahasia lain dibalik kehadiran mayat tersebut yang berhubungan dengan masa lalu dan masa depannya.

BaperThrillerSuspense

Bab 1 Mayat?

Bab 1Mayat?

“Terimakasih pak atas kepercayaanya. Saya akan berusaha memberikan yang terbaik yang saya bisa,” ucapku seraya menjabat tangan Pak Bram, pria yang menawarkan aku pekerjaan.

Dulu sebelum wabah sialan itu datang, kehidupanku terasa aman dan tentram. Aku masih bekerja seperti biasa, bahkan dulu menyajikan menu berbahan daging saja terasa mudah. Berbeda setelah datangnya wabah yang membuat semua orang tak ada yang berani keluar.

Betapa ganasnya wabah yang terjadi di kota ini membuat jasa yang aku tawarkan tak lagi terpakai. Dulu setiap ada yang membutuhkan bantuanku untuk menguburkan dan memandikan jenazah sudah pasti akulah yang mereka cari. Namun sekarang, tak ada satupun yang mencariku. Kini semua orang yang meninggal harus di makamkan dengan cara yang baru, yaitu membiarkan musnah dengan sendirinya di tengah hutan.

Kini jasaku tak lagi dibutuhkan. Aku sudah mencoba berbagai peruntungan, namun hasilnya tetap saja nihil. Tak ada orang yang mau menerimaku bekerja, keahlianku hanyalah menghadapi manusia yang sudah tak bernyawa. Aku hanya bisa memandikan tubuh manusia yang sudah terbujur kaku setelah itu menguburkannya sesuai dengan kepercayaannya.

Membuka usaha? Usaha apa yang bisa ku buat disaat semua orang takut untuk keluar rumah? Di saat semua orang lebih memilih untuk membuat makanan sendiri membuat camilan sendiri dan memilih untuk tak berbelanja. Padahal aku harus menghidupi seorang putra dan juga wanita yang aku cintai.

Tak jarang aku dan Medina, istriku berdebat tentang masalah ekonomi. Ia selalu memaksaku untuk bekerja, namun apa daya? Aku telah berusaha kesana-kemari mencari pekerjaan, tapi aku tak kunjung mendapatkannya.

Seperti siang ini, ia mendatangiku dan berkata “Jadi kepala rumah tangga kok gak punya tanggung jawab. Anak sama istri gak dikasih makan. Harusnya dulu aku menikah sama laki-laki pilihan orang tua ku saja, kalau tahu hidupku akan begini,” gerutu Medina seraya merapikan meja makan, “Tiap hari bersihin meja makan terus, tapi gak ada yang dimakan,” ucapnya seraya membanting peralatan dapur.

“Ya sudah, mau mu bagaimana? Berpisah?” tanyaku.

Tiba-tiba ia diam seribu basa, “Berpisahpun sekarang tak ada gunanya kan?” ucapnya seraya berlalu meninggalkanku.

Aku sudah mengusahakan segala cara agar dapat bertahan hidup di saat seperti ini. Namun di tengah wabah begini hal itu sepertinya hanyalah isapan jempol belaka. Pemerintah di kotaku telah menggunakan berbagai cara agar kotaku ini bisa kembali pulih seperti sedia kala. Tapi lagi lagi kami harus menelan pil pahit, pasalnya wabah flu kupu-kupu masih terus mengintai kami di sini.

Betapa ganasnya wabah ini. bagaimana tidak? mereka yang terkena wabah flu kupu-kupu akan mengalami sakit keras di pagi hari dan meninggal di sore hari, begitu seterusnya hingga tak tahu kapan akan berakhir. Sudah ribuan jiwa melayang karena mengabaikan peringatan yang diberikan pihak pemerintahan dan juga pihak ahli kedokteran.

Bagai menemukan air di padang pasir yang tandus. Aku mendapatkan tawaran kerja dari seorang pria bernama Bram. Pria yang tanpa sengaja aku temui saat ia mengalami kesulitan di tengah jalan.

Saat itu kota Azurape, tengah di guyur hujan lebat. Semua orang merasa bersyukur atas turunya hujan di kota yang sudah hampir 1 tahun tak mengalami musim hujan. Mereka berharap dengan turunnya hujan bisa membuat wabah yang menimpa mereka ikut larut dalam derasnya air hujan.

Wabah kali benar-benar membuat semua orang ketakutan dan merasa cemas. Wabah ini menyebar melalui sentuhan kulit, selain itu virus ini juga bisa menyebar hanya dengan di hinggapi oleh kupu-kupu berwarna hitam pekat . Menyebabkan rasa terbakar di sekujur tubuh, dan juga membuat detak jantung melemah. Gemuruh angin dan juga suara kicauan burung yang berterbangan menjadi pertanda akan datangnya kupu-kupu pembawa kematian ini.

Kota ini bagaikan kota mati, padahal dulunya kota ini menjadi kota percontohan bagi kota lain. Selain sistematis pemerintahan yang tepat, kemajuan ekonomi yang bisa di bilang lebih pesat dibanding dengan kota lain. Tapi kini, jalanan yang biasanya ramai di padati pengendara berubah menjadi jalanan yang tak berfungsi, jika dulu orang harus berhati-hati ketika menyebrang kini? Jangankan untuk menyebrang untuk mendirikan tenda saja terasa aman dan tenang. Mall yang sebelumnya di penuhi oleh orang-orang berlalu lalang kini bak bangunan tua yang sudah lama tak berpenghuni.

Anehnya hanya satu bangunan yang masih ramai, bahkan sangat amat ramai. Apalagi jika bukan Rumah Sakit. Namun hal ini bukanlah kabar yang menggembirakan. Penuhnya rumah sakit justru membuat keadaan kotaku terasa semakin mengenaskan.

Sejujurnya aku sangat malas jika harus pergi keluar rumah, aku takut jika sewaktu-waktu angin yang membawa flu kupu-kupu itu datang dan menghabisku. Selain itu, aku juga tak memiliki cukup uang untuk membeli barang yang di pesan oleh istriku.

Sepanjang jalan menuju apotek, aku tak melihat satupun rumah warga yang terbuka. Semua rumah tertutup rapat-rapat. Mereka takut jika mereka akan menjadi korban selanjutnya atas keganasan angin yang menyebarkan flu kupu-kupu pembawa kematian. Ya begitulah kami menyebutnya. Angin yang datang seakan memberikan kesejukkan namun pada detik selanjutnya ia menjadi angin yang membawa malapetaka bagi siapa saja.

Dengan berat hati aku mengendari motor bututku, menuju apotek yang paling dekat dengan rumahku. Di tengah perjalanan aku melihat seorang pria bertubuh gempal berdiri di depan mobinya dengan wajah kebingungan. Aku memperlambat laju motorku, aku menepikan motorku di depan mobil pria itu.

Aku mendekatinya, ia terkejut dan bersiap melayangkan bogemannya ke arah wajahku. Dengan secepat kilat aku menghindari pukulannya, air mukanya terlihat sangat ketakutan. Ia masih terus melayangkan pukulan demi pukulan ke arahku.

Sssttt grabb

Aku menangkap sebelah tangannya, “Maaf Pak, sepertinya bapak salah sangka dengan saya,” ujarku meluruskan kesalah pahaman ini. Ia menatapku tak suka, “Saya Frank pak. Dari jauh saya lihat bapak tengah kebingungan saya hendak menolong bapak. Tapi sepertinya bapak tidak berkenan untuk menerima uluran tangan saya. Kalau begitu lebih baik saya melanjutkan saja perjalanan saya,” ucapku lantas melepaskan cengkramanku.

Tiba-tiba terdengar kicauan burung yang menjadi tanda akan datangnya segerombolan kupu-kupu pembawa kematian, “Sepertinya sebentar lagi dia akan datang. Saya permisi Pak,” ucapku tenang namun mampu membuat pria itu ketakutan.

Nampak tubuhnya bergetar, aku sengaja memperlambat langkah menunggu ia mengucapkan sesuatu, “Tunggu,” yak ini yang kumau, ia mengucapkannya. Aku membalik badan dan menatapnya, aku menaikkan sebelah alis karena pria itu tak kunjung mengatakan permintaannya.

“Mo—“ ucapnya terhenti tepat saat suara kicauan burung bersahutan. Dengan secepat kilat aku menutup kap mobil pria itu dan menariknya masuk kedalam mobilnya dan tak lupa menutup semua celah.

Cukup lama aku dan pria ini terjebak di dalam mobil. Beratus bahkan mungkin beribu kupu-kupu menabrak mobil milik pria ini. bahkan motorku yang terparkir rapi di depannya limbung karena tertabrak gerombolan kup-kupu itu.

Setelah ku rasa keadaan lebih aman, aku menuruni mobilnya. Aku membuka kap mobilnya. Berbekal dengan ilmu yang aku miliki, aku mencoba membetulkan mobilnya. Aku membutuhkan waktu beberapa menit untuk bisa membuat mobilnya menyala dan dapat berjalan lagi.

“Ini kartu nama saya, hubungi saya jika kamu membutuhkan bantuan,” ucapnya seraya memberiku kartu nama miliknya “Bram Altaz Syairul” lirihku seraya menatap kepergiannya.

Malam hari, seseorang mendatangi rumahku, dan mengatakan jika esok pagi aku di undang oleh Pak Bram untuk mendatangi kantornya. Aku terkejut, mana ada perusahan yang masih buka di tengah wabah yang mematikan ini.

Medina mendatangiku dan bertanya maksud kedatangan pria itu, “Siapa Mas?” tanyanya saat aku sampai di meja makan.

“Anak buah Pak Bram,” sahutku singkat.

“Pak Bram?” ulangnya mengerutkan kening.

“Iya Pak Bram, pria yang aku tolong tadi siang,” jelasku singkat, sepertinya Medina belum puas dengan jawabanku pasalnya kerutan di keningnya belum juga menghilang. “Dia mengutus seseorang untuk menyuruhku datan ke kantornya esok pagi,” jelasku seraya menyendokkan nasi putih ke dalam piringku.

“Untuk?” tanyanya seraya menatapku curiga.

“Entahlah, mungkin memberi pekerjaan, mungkin juga memberiku imbalan, atau mungkin menyuruhku melakukan hal gila... seperti menjadi kelinci percobaan untuk perusahaannya,” ucapku menatap Medina lekat.

“Ya sudah datangi saja. Mungkin saja ini sudah menjadi rejekimu. Ingatlah bahwa aku akan selalu mendampingi dan mendoakanmu. Kau harus ingat mas, Daniel semakin lama semakin besar. Yang nantinya akan membutuhkan banyak biaya. Lagipula ini kesempatan yang bagus untukmu. Selain mendapatkan uang, kau juga mendapatkan pekerjaankan? Jadi aku tak harus malu dengan tetangga,” ujarnya seraya menyajikan aku nasi putih dan juga ikan asin untuk Daniel, putraku.

Semalaman aku mempertimbangkan ucapan Medina hingga aku tak dapat memejamkan mata. Padahal Medina istirku dan juga Daniel putra semata wayangku telah asyik menjelajahi alam mimpi.

Aku menatap lekat-lekat sebuah gedung yang ada di depanku. Gedung yang menjulang tinggi menembus langit. Aku menarik nafas dalam-dalam dan mulai melangkahkan kakiku memasuki bangunan itu. Aku melangkah dengan pasti setelah menimbangnya semalaman suntuk.

Setelah berbincang dengan Pak Bram, ia memberiku tugas untuk menjadi seorang Nekropsi. Aku memang sering mengurus mayat, tapi sejujurnya aku tidak terlalu memahami perihal tugas dan cara kerja seorang Nekropsi. Tapi Pak Bram kekeh untuk menjadikanku seorang Nekropsi. Karena himpitan ekonomi dan kebutuhan yang kian lama kian mendesak. Aku menerima tawaran Pak Bram.

Pak Bram mengatakan jika aku harus tinggal di rumah yang sudah ia sediakan. Karena di sana telah disiapkan segala keperluanku untuk mengemban tugas ini. Mau tak mau aku harus mengikuti prosedur yang telah di tetapkan oleh Pak Bram.

Hari ini juga aku merapikan barang-barangku, Medina dan juga Daniel. Pak Bram mengijinkan ku untuk mengajak Medina dan Daniel untuk ikut pindah bersamaku.

Aku berkeliling mengamati setiap inci dari bagian rumah ini. Rumah ini berada tak jauh dari pusat kota. Di setiap ruangan terdapat tombol-tombol rahasia yang akan menghubungkanku pada ruangan ruangan tersembunyi lainnya. Aku sampai pada bagian paling belakang dari rumah ini. aku mengamati sekeliling, sepintas tak ada yang menarik dari ruangan ini. Hanya sebuah ruangan dimana terdapat susunan buku dan juga meja kerja yang berada di paling pojok ruangan ini.

Mataku tertuju pada sebuah buku yang terlihat paling unik diantara jajaran buku lainnya. Aku mengambil buku itu, betapa terkejutnya aku ketika buku itu berhasil aku ambil. Beberapa lantai bergeser membuat sebuah lubang. Saat aku mengembalikan buku itu lagi lagi aku di buat terkejut dengan kecanggihan rumah ini. sebuah tangga yang akan mengantarkan ku pada ruang bawah tanah keluar dari sisi lantai yang bergeser.

Aku menuruni anak tangga secara perlahan dan hati-hati. Gelap itu yang aku rasakan pertama kali saat kakiku berhasil menyelesaikan anak tangga. Aku mendongak menatap lantai yang bergeser menutup lantai. Aku mencoba meraba-raba mencari saklar lampu.

Dan grabbb aku mendapatkannya. Aku menyesuaikan penglihatanku yang masih kabur dengan apa yang ada disekitarku. terdapat beberapa ranjang yang tertata rapi di tengah ruangan. Ada juga beberapa peralatan medis seperti gunting, sarung tangan, penutup kepala, dan juga lampu yang tertata begitu rapi disana. Tak lupa di bagian paling belakang ada sebuah lemari penyimpanan. “Jadi ini yang dimaksud Pak Bram, ruangan rahasia,” ujarku pada diri sendiri. Setelah puas mengamati sekitar. Aku mencari cara agar bisa kembali ke atas sebelum Medina dan Daniel mencariku.

Langit terang berganti menjadi jingga. Aku telah usai merapikan barang-barangku. Kini Medina tengah menyiapkan makan malam. Aku tak menyangka Pak Bram benar-benar menyiapkan segala sesuatunya, mulai dari furniture, keperluan dapur hingga alat transportasi. Ya Pak Bram menyediakanku mobil yang dapat aku gunakan untuk mengemban tugasku.

Hari semakin larut. Aku, Medina dan Daniel tengah bersiap untuk menjelajahi alam mimpi. Saat kami tengah terlelap dalam tidur, samar-samar aku mendengar suara ketukan pintu. Aku meraih kacamataku dan melangkahkan kakiku menuju pintu utama.

Saat aku membuka pintu aku tak menemukan siapapun di sana. Aku hendak melangkahkan kakiku, namun sesuatu menghalangi jalanku. Aku menundukkan kepalaku mencari tahu apa yang ada di bawah sana.

Aku hampir terpekik terkejut, namun sedetik selanjutnya aku baru mengingat pekerjaan baruku. Aku menggotong mayat tanpa keterangan itu ke dalam rumahku dan berjalan cepat menuju ruang bawah tanah.

Aku membaringnya di salah satu brankar. Aku mulai membuka satu persatu pakaiannya. Di dalam sakunya aku menemukan secarik kertas bertuliskan “Temukan penyebab kematiannya,” sepertinya ini menjadi tugas pertamaku.

Aku meneliti setiap inchi bagian tubuhnya. Hingga mataku terfokus pada sebuah tatto bergambar tengkorak yang dihiasi mawar layu di sekelilingnya membentuk sebuah bingkai. Aku mencatat semua yang aku temukan dari tubuhnya. Aku memperhatikannya sekali lagi, memastikan tak ada yang tertinggal dari pengamatanku.

Setelah usai mengamati aku berjalan meninggalkannya dan berjalan menuju meja kerjaku. Aku mulai membuat list apa saja yang harus aku lakukan pertama kali. Dan sepertinya ini bukanlah tugas yang mudah bagiku.

Dapatkah Frank memecahkan penyebab kematian mayat misterius itu?