Bab 2. Menghilang Dalam Satu Malam
Terbangun oleh kilau keemasan matahari California yang menelusup melalui jendela kaca kamar hotel, pria tampan Julian mengerjap sejenak. Ada tumpukan rasa sesal karena dia ikut tertidur semalam, dan baru bangun pagi ini. Padahal ada tubuh menggiurkan di sampingnya yang menanti untuk ditunggangi.
Tunggu! Ke mana perginya wanita itu?
Julian terkejut ketika meraba ke samping dan tidak menemukan siapa pun. Matanya langsung terbeliak, mencari keberadaan wanita yang tadi malam dia pesan. “Ke mana perginya wanita itu?”
Masih dengan tubuhnya telanjang, Julian menelusuri kamar presiden suit yang disewanya. Memeriksa kembali setiap sudut dengan seksama, termasuk kamar mandi, balkon, dan lemari. Julian mencari petunjuk apa pun yang mungkin ditinggalkan wanita itu—seperti catatan, jejak kaki, atau tanda lain. Namun, yang Julian dapat hanya gaun robek yang tergeletak di lantai, dan seuntai kalung batu ruby yang cantik.
Julian memijat pangkal alisnya untuk meredakan pening yang tiba-tiba menyerang. Dia merasa harus segera berpakaian, dan ketika akan memunguti pakaiannya, dia sadar ada yang hilang. Kemeja dan celananya tak ada.
Jika diingat-ingat, wanita itu hanya memakai gaun, jelas saja ketika gaunya robek, tak bisa dipakai, dia harus memungut sesuatu untuk dikenakan. Julian kesal, dia meninju ranjang dan menghempaskan selimut ke lantai. Namun, seketika rahangnya hampir jatuh ke bumi ketika mendapati noda darah di area tempat dia menggagahi wanita yang dia bayar semalam.
“Da-darah? Tidak mungkin, tidak mungkin dia masih perawan,” ucap Julian dengan raut wajah yang menunjukkan keterkejutannya.
Dalam keadaan wajah yang terkejut, Julian mencari ponselnya, dia ingin menghubungi Megan untuk meminta penjelasan. Namun, belum sempat niat itu terlaksana, dia melihat ada satu pesan dari Megan muncul di layarnya.
Megan Brown: Tuan Kingston, mohon maaf, Kattie tidak bisa kukirim ke sana malam ini. Dia minta izin menemani kakaknya yang sedang melahirkan tanpa suami. Atas dasar kemanusiaan, aku tidak bisa mendesaknya untuk tetap bekerja. Uangmu telah aku kembalikan beserta kompensasi dari kami karena membatalkan pesanan secara tiba-tiba. Semoga hubungan baik kita tetap terjaga.
Julian terkejut, dia terduduk lemas di ranjang. “Jadi … siapa wanita itu?”
Dalam keheningan membentang, perasaan dan pikiran Julian campur aduk. Pria tampan itu tidak menyangka telah meniduri wanita asing—yang tak dikenalnya sama sekali. Padahal tujuannya tadi malam adalah memesan wanita bayaran untuk menemani malamnya, tetapi semua keinginannya tak sesuai rencana.
Di sisi lain, Amber dengan mengenakan kemeja dan celana kedodoran milik pria asing yang tak sama sekali dia kenali. Dia sekarang sedang menangis sambil menatap cermin di hadapannya. Tadi pagi, setelah mendapatkan kesadarannya—Amber baru ingat dia salah masuk kamar hotel semalam.
Amber mencoba mencari kartu pass kamar hotelnya sendiri, yang ternyata terjatuh di sekitar pintu kamar pria asing. Dia memutuskan segera pergi dari sana, dan bersembunyi di kamar hotelnya yang berjarak dua kamar saja dari kamar pria asing itu.
Tubuh Amber terasa sakit semua, tapi hatinya lebih remuk lagi. Dia menyesali kebodohannya yang memilih menghilangkan stress dengan cara minum minuman keras. Andai saja dia tidak mabuk, dia tidak akan kehilangan keperawananya dengan secara mengenaskan. Dia bahkan tidak bisa menuntut pria yang semalam membuka paksa kedua kakinya, karena bagaimana pun, semua ini salahnya.
Masih jelas diingatan Amber, kemarin siang langit California begitu cerah di musim semi yang seakan tak sejalan dengan duka yang menyelimuti pemakaman elit mendiang ayahnya. Di bawah naungan pepohonan palem yang menjulang tinggi, kerabat dan kolega Adam Hayes berkumpul untuk memberikan penghormatan terakhir.
Amber merasa bahwa semua ini adalah mimpinya. Dia menyesel kerp menentang sang ayah. Dalam sekejap takdir seakan mengajaknya bercanda. Ayahnya pergi meninggalkannya untuk selamanya. Hidup Amber seakan benar-benar telah lenyap bagaikan diterpa ombak.
Satu tahun yang lalu, Amber menentang pernikahan Adam dengan Anette Celeste, ibu tirinya yang ambisius. Wanita cantik itu memilih meninggalkan rumah dan hidup sendiri di asrama kampus. Keputusannya itu memicu pertengkaran besar dengan Adam, dan mereka tak pernah berbicara lagi sejak saat itu.
Penyesalan mencengkeram hati Amber. Wanita cantik itu membayangkan bagaimana jika dia tetap di sisi ayahnya, mungkin dia bisa menemani sang ayah di saat-saat terakhirnya. Pikiran itu bagaikan pisau yang menusuk hatinya, membuatnya sesak napas dan sulit untuk berdiri tegak.
Ayah Amber telah tiada, tapi duka Amber masih membara. Dia harus belajar untuk hidup dengan penyesalannya dan berusaha untuk memaafkan dirinya sendiri. Namun ternyata pukulan lain datang. Kematian sang ayah membuat seluruh kreditur menjadi agresif menagih utang ibu tirinya. Semua harta ayahnya disita dan sebagian dibekukan, sampai persidangan ibu tirinya membuktikan bahwa ayahnya tak ada sangkut paut dengan kasus penggelapan dana yang dilakukan ibu tirinya itu.
Dunia cerah Amber seketika gelap, dia kehilangan tumpuan dan tunjangan finansial. Dia bingung harus seperti apa dan Harus ke mana. Kemarin, yang dia pikirkan hanyalah tinggal di hotel selama di California, sebelum kembali ke New York. Namun, dalam semalam takdir lagi-lagi mengirimkan pemainan mencengangkan pada Amber.
“Aku harus bagaimana sekarang? Apa yang harus aku lakukan?” isak Amber tak berdaya.
Usai berjam-jam menangis, meratapi kehidupannya yang runtuh seketika saat sang ayah, satu-satunya pilar dalam hidupnya, meninggal dunia. Di tengah rasa duka yang mendalam, dia harus bangkit dan menata ulang hidupnya yang hancur. Dengan tekad yang kuat, dia memutuskan untuk kembali ke New York untuk melanjutkan kuliahnya.
Di kota yang penuh dengan hiruk pikuk dan peluang, Amber memulai babak baru dalam hidupnya. Dia harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan keras, serta menyeimbangkan antara pendidikan dan mencari pekerjaan paruh waktu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Perjalanan Amber tidak mudah. Dia sering dihadapkan dengan berbagai rintangan dan cobaan. Namun, dia tidak pernah menyerah. Dia selalu ingat pesan ayahnya untuk selalu tegar dan pantang menyerah. Baginya, apa yang terjadi dalam hidupnya merupakan perjalanan yang memang telah diatur oleh semesta. Tidak mudah, tapi dia akan tetap berjuang.
Tiga minggu berlalu, Amber perlahan-lahan mulai bangkit dari keterpurukannya. Dia berhasil mendapatkan pekerjaan paruh waktu yang sesuai dengan minatnya. Belajar dan bekerja di New York membuka mata Amber tentang banyak hal. Dia belajar tentang arti kemandirian, kerja keras, dan arti uang bagi kehidupan.
Namun beberapa hari terakhir ini Amber merasa kurang enak badan. Dia mengalami pusing dan mual parah setiap pagi. Awalnya wanita cantik itu pikir dirinya mengalami asam lambung, tapi ketika sadar tamu bulanannya telat datang—dia mulai menjadi sangat panik.
Benak Amber teringat akan kejadian bodoh yang telah dia lakukan. Salah masuk kamar, yang berdampak sangat besar di hidupnya. Dia tak berani untuk memeriksa ke dokter. Tindakan yang dia lakukan adalah melakukan test kehamilan menggunakan test pack.
Detik demi detik berlalu, tangan Amber mulai gemetar melihat dua garis merah muncul di test pack yang ada di tangannya. Debar jantung wanita cantik itu berpacu dengan keras—dan ketakutan merayapi dirinya.
“A-aku, hamil?”
