Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2. Peringatan Warga

Hendra menepuk pelan pundak Anis yang tertidur nyaman di atas kasur kayu tua mereka. "Ada apa?" tanyanya Hendra sambil mengguncang bahu sang istri. Hendra terlihat panik, sebab Anis terus berceloteh dalam tidurnya, katanya tak jelas namun penuh kecemasan. Perlahan, matanya terbuka, dan tersentak. Anis tercekat, matanya memandang sekeliling ruangan dengan penuh kebingungan. Ternyata mimpi, gumamnya lirih, tapi rasanya seperti nyata. Ia mencoba mengatur nafasnya yang memburu, tangan gemetarnya mengusap wajah.

Hendra duduk di sisi ranjang, mengelus lengan istrinya dengan lembut. “Mungkin kau lelah,” ucapnya, berusaha menenangkan diri. "Sejak kita datang ke sini, kau belum benar-benar istirahat." Hendra menoleh ke jendela, cahaya matahari yang mulai condong menandakan hari sudah sore. “Aku ingin keluar sebentar untuk menemui Pak Kartijan,” lanjutnya sambil bangkit berdiri.

Namun, sebelum Hendra melangkah lebih jauh, Anis tiba-tiba memegang lengannya dengan erat. “Aku ikut,” katanya, suaranya terdengar agak gemetar, seolah takut ditinggalkan sendirian di rumah itu. Hendra terdiam sejenak, lalu mengangguk. Mereka pun bersiap keluar, mengunci pintu rumah tua itu dengan hati-hati sebelum berjalan berdua menuju desa.

Sepanjang perjalanan menuju rumah Pak Kartijan, udara sore yang hangat terasa agak berbeda. Beberapa warga desa yang kebanyakan sudah lanjut usia tampak menyapa Hendra dan Anis. Mereka memandang pasangan itu dengan rasa penasaran, seakan  menyimpan kenangan lama yang baru bangkit kembali. Di antara mereka, Tomo, teman sekolah Hendra dulu, tiba-tiba mendekat dengan langkah lambat tapi penuh semangat. "Hendra!" sapa Tomo dengan senyum lebar. "Sudah lama sekali kau tidak kemari."

Hendra menoleh dan tersenyum. "Iya. Lama sekali. Bagaimana kabarmu?" balas Hendra sopan. Namun, sebelum bisa melanjutkan percakapan lebih jauh, Tomo langsung melontarkan pertanyaan yang membuat Hendra sedikit terkejut. "Apa kau sudah tahu tentang kabar rumah lamamu?" tanyanya sambil berbisik lirih kepada Hendra.

Hendra mengerutkan kening, penasaran. "Kabar apa?" tanyanya, nada suaranya menunjukkan ketidakpahaman. Tomo tertawa kecil, seolah merasa lucu bahwa Hendra benar-benar tidak tahu. "Tentu saja kau tidak tahu, kau terakhir ke sini waktu anakmu masih balita, hahaha dengarkan aku, 25 tahun lalu, ada seorang wanita gila yang menempati rumah suwung ayahmu. Sekitar tiga bulan setelah ayahmu meninggal." Tomo mengajak Hendra dan Anis duduk berbincang di teras rumah, lalu ia memulai ceritanya

POV Tomo

Saat itu, hari masih pagi. Aku ingat dengan jelas, kabut tipis menyelimuti desa ketika aku mendengar kabar pertama kali tentang wanita gila itu. Entah dari mana asalnya, tapi tiba-tiba saja dia muncul, mondar-mandir keluar masuk rumah peninggalan Irawan, ayah Hendra. Rumah itu sudah cukup lama dibiarkan kosong, ditinggalkan begitu saja setelah pak Irawan meninggal. Tak ada yang berani mendekati tempat itu, apalagi barang berharga milik Pak Irawan masih berada di dalamnya.

Wanita itu tak pernah berbicara, hanya menangis atau tersenyum sendiri. Namun, yang paling menyeramkan adalah caranya mengancam siapa saja yang berani mendekatinya. Wanita gila itu selalu mengacungkan parang ke arah warga yang mencoba mendekat. Warga desa tidak berani berbuat banyak, jadi mereka membiarkan saja wanita itu di sana, biar tidak kosong, toh wanita itu hanya duduk di teras depan dan tidak mengganggu. Aku ingat adikku, Broto, pernah berkata, "Biar saja, Mas. Supaya rumah itu tidak suwung lagi.”

Mungkin benar, pikirku waktu itu. Rumah suwung sering kali dianggap membawa mistis di desa ini. Dengan adanya wanita gila itu, paling tidak anggapan 'mistis' sedikit bisa diabaikan. 

Hanya saja aku merasa aneh, karena yang bisa mendekati wanita itu hanya Broto. Adikku itu baru saja lulus kuliah saat wanita itu datang, dan dia memang memiliki cara bergaul yang lebih baik daripada aku atau yang lainnya. Mungkin karena dia berpendidikan, lebih sabar, dan pintar dalam pendekatan emosional, pikirku. Setiap kali aku mencoba bertanya kepadanya tentang wanita itu, dia hanya tersenyum tipis.

Aku mulai curiga dengan adikku. Terutama ketika aku mulai menyadari sesuatu—wanita itu hamil. Perutnya perlahan membesar seiring waktu, dan tidak ada yang tahu siapa ayah dari anak yang dikandungnya. Desas-desus mulai beredar di desa, ada yang mengatakan hamil anak genderuwo penghuni rumah suwung, bahkan ada yang sepemikiran denganku, wanita itu hamil anak Broto, tapi tak ada yang berani berbicara lebih jauh.

Aku ingat, suatu hari aku memberanikan diri bertanya pada ayahku tentang wanita itu dan kedekatan Broto dengannya. Ayahku hanya menghela nafas panjang, dan berkata,  “aku sudah tahu lama, sejak pertama kali wanita itu menginjakkan kaki di rumah suwung itu,” kata ayahku pelan. "Broto sudah bersumpah kalau dia tidak menghamili wanita gila itu. Broto juga  baru pulang sebulan setelah wanita gila itu datang. Lagipula aku perkirakan usia kandungannya sekitar tujuh bulan lebih. Wanita itu sudah hamil sejak sebelum datang ke desa ini."

Aku lega mendengarnya. Mungkin aku salah menilai Broto, pikirku. Bagaimanapun, Broto baru saja menikah dengan Purwati, anak kepala desa. Tidak mungkin dia melakukan sesuatu yang tidak baik di belakang istri barunya. Apalagi mereka baru menikah, belum ada setahun.

Waktu terus berjalan, dan wanita itu tetap berada di rumah suwung. Tidak ada yang tahu pasti bagaimana dia bisa bertahan hidup di sana, hanya saja setiap kali Broto mengunjungi rumah itu, dia selalu membawa makanan atau pakaian untuk wanita tersebut.

Hingga suatu pagi, sekitar tiga bulan setelah wanita itu pertama kali muncul, aku dan ayahku hendak berangkat ke sawah seperti biasa. Matahari belum sepenuhnya terbit, tetapi desa sudah mulai ramai dengan suara-suara aktivitas warga yang mengawali hari mereka. Saat itulah aku mencium bau busuk yang begitu menyengat dari arah rumah suwung.

"Bau apa itu?" tanyaku pada ayahku, yang juga tampak terganggu oleh bau tersebut.

Ayahku mengerutkan kening, memandang ke arah rumah suwung dengan ekspresi yang tidak biasa. "Sepertinya dari rumah itu," jawabnya singkat.

Dengan hati-hati, kami berjalan menuju rumah suwung, mengikuti sumber bau tersebut. Semakin dekat kami, semakin tajam bau busuk yang menyengat hidung. Aku menahan nafas, mencoba mengabaikan rasa mual yang mulai muncul di perutku. Dan di sanalah, kami menemukan wanita gila itu tergeletak tak bernyawa di lantai.

Bau busuk berasal dari tubuhnya yang sudah mulai membusuk. Wajahnya pucat, matanya terbuka lebar, menatap kosong ke langit-langit seolah-olah sedang menyaksikan sesuatu yang tak bisa kulihat. Perutnya yang hamil tampak bengkak, dan darah kering mengalir dari tubuhnya, menyebar di lantai kayu tua yang sudah lama tidak terawat.

Aku tercekat, tak mampu bergerak. Pemandangan yang begitu mengerikan, membuat tubuhku kaku di tempatnya. Ayahku hanya berdiri diam di sampingku, wajahnya pucat pasi. Kami tidak tahu harus berkata apa. Hanya satu hal yang dipikirkan saat itu—apa yang sebenarnya terjadi di rumah suwung?

Baik aku maupun ayahku, tidak berani menyentuh wanita itu. Kami memilih memberikan kabar kepada warga, yang diteruskan ke pihak berwajib.

Kembali ke awal.

Tomo mengakhiri ceritanya dengan nafas yang berat, matanya menerawang ke arah rumah suwung di kejauhan. Anis duduk bersandar di kursinya, wajahnya pucat dan dipenuhi rasa takut. Cerita yang baru saja ia dengar membuat bulu kuduknya meremang, bayangan tentang wanita gila yang mati di rumah itu kini terus menghantui pikiran. Tangannya gemetar, dan ia memegangi lengan Hendra dengan erat, seolah mencari perlindungan dari sesuatu yang tak terlihat.

"Kau tahu, aku menemukan jasad wanita gila itu dalam keadaan perut terbelah tapi tidak ditemukan tanda habis melahirkan." Tomo menghela nafas dalam. "Saat aku dan beberapa warga mencari keberadaan janinnya, kami tidak menemukan apapun. Sampai kami memiliki kesimpulan, wanita gila itu memakan jasad bayi yang baru dilahirkannya atau dia hanya berpura-pura hamil."

Hendra mendengarkan sambil mengusap lembut pundak Anis, mencoba menghilangkan rasa cemas yang mengganggu istrinya. “Sudahlah, Bu, itu hanya cerita lama,” katanya pelan, meskipun ada keraguan yang tersembunyi di balik suaranya. “Kita di sini sekarang, dan tidak ada yang perlu ditakutkan. Itu sudah puluhan tahun berlalu, aku yakin. Kalau kita tinggal di sana dan rutin mendekatkan diri kepada yang maha esa, tidak ada sesuatu yang perlu ditakutkan."

Hendra akhirnya pamit kepada Tomo untuk menemui pak Kartijan, kepala desa yang rumahnya berdekatan dengan Tomo.

Kembali Hendra dan Anis mendapat peringatan saat akan tinggal, tapi Hendra memilih mengabaikan ucapan pak Kartijan.

“Daripada Bapak memperingati kami, akan lebih baik kalau hari tua Pak Kartijan digunakan untuk beribadah. Lagipula pak Kartijan sudah cukup tua untuk menjabat kembali sebagai kepala desa, sebaiknya Bapak beristirahat saja dan menyerahkan jabatan itu kepada yang lebih muda,” ujar Hendra.

"Saya juga menginginkan itu, hanya saja anak muda di desa ini memutuskan untuk merantau ke kota. Tinggalah kami para lansia yang masih tinggal di sini," balas Kartijan.

Tak mau berdebat lebih lama, Hendra segera mengajak sang istri pulang. Sepanjang perjalanan, Hendra terus menggerutu.

Sesampai di rumah, Hendra dan Anis dikejutkan dengan pintu rumah yang terbuka. Padahal tadi pagar dalam keadaan gembok terkunci.

"Aneh sekali," kata Anis.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel