Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7 - Bulan Madu

Zulfa Zahra El-Faza

Bulan madu?

Aku menertawakan diriku. Bagaimana tidak? Kata-kata Ibu itu terus terngiang-ngiang di telingaku setibanya aku dan Gus Fatih di Kediri, seperti ada yang menekan tombol repeat di kepalaku berkali-kali.

Tentu saja, aku dipenuhi harapan saat ini. Pondok orang tuaku memang menyediakan tempat privat untuk pasangan yang baru menikah, khususnya para santri yang dulunya menjadi bagian pesantren ini. Entah ide siapa, sejak aku kecil tempat itu memang sudah ada.

Aku tidak pernah tertarik mengetahui sejarahnya.

Tempat itu masih berada di area dekat ndalem yang sekelilingnya dibangun dinding dari batako. Aku hanya pernah dua kali masuk ke sana. Dalamnya seperti taman dengan berbagai tanaman hias dan bunga. Dan, ya, sebuah gazebo berdiri agung di tengahnya, dan aku tidak pernah memasukinya selain melihat ikan hias cantik yang ada di kolam besar sampingnya.

Aku tidak tahu harus menuruti Umi yang menyuruhku bermalam di gazebo itu atau menolaknya lagi kali ini.

Dulu seusai resepsi yang diadakan di sini, Umi sudah menyuruhku dan Gus Fatih beristirahat di gazebo itu. Aku yang sudah terlalu lelah menyalami tamu undangan yang jumlahnya ribuan menolak, memilih istirahat di kamarku sendiri. Tidak ada apa-apa yang terjadi malam itu. Kupikir Gus Fatih juga kelelahan sepertiku, tetapi itu berulang terus selama di Jombang, dan sampai sekarang.

Baiklah. Mungkin aku memang harus menerima tawaran itu. Siapa tahu gazebo itu memang ditakdirkan Allah menjadi saksi keberhasilan usahaku. Saksi bisu cintaku.

Namun, bagaimana aku mengatakannya pada Umi? Bagaimana juga pandangan Gus Fatih nanti jika aku yang meminta sendiri ke Umi?

Sungguh, gengsi itu mahal. Apalagi aku sudah masuk ke kamar ini dan memindahkan baju-baju dari koper kami ke lemari. Masa iya harus menunggu Umi menawari lagi?

“Fa, kamu dicari Umi.”

Aku menoleh pada asal suara bariton milik Gus Fatih yang baru saja masuk ke kamarku.

Ralat! Bukan kamarku lagi, tetapi kamar kami.

Ia melepas kopyahnya ke atas meja dan menanggalkan kemeja biru tuanya sehingga menyisakan kaus oblong putih dan sarung cokelat bermotifnya. Melihat raut mukanya yang beda dari yang tadi membuatku penasaran apa yang habis dibicarakannya dengan Abah dan Umi. Aku tadinya mau bergabung tetapi dilarang Umi. Katanya urusan laki-laki, tetapi Umi? Ah, sudahlah.

“Buruan ke Umi. Sudah ditungguin tadi,” ucap Gus Fatih saat aku sedang memperhatikan rambutnya yang sudah mulai panjang.

“Ah. Nggeh, Mas,” kataku lalu tersenyum kemudian beralih ke pintu.

Sesaat sebelum pintu kututup, aku sempat melirik ke arahnya. Ia membaringkan tubuh di sofa samping tempat tidur dengan ponsel yang menyala di tangannya. Tidak biasanya Gusku itu tersenyum sampai terlihat giginya yang putih di depan ponsel.

Aku pun segera menutup pintu saat Gus Fatih melihat sekilas ke arahku dan segera beranjak mencari keberadaan Umi.

Beginilah aku. Pada lisanku memanggilnya dengan sebutan Mas, tetapi jika dalam hati masih menyebutnya Gus. Dia Masku tetapi belum benar-benar menjadi Masku. Hatiku belum mampu menerima itu. Kiranya jika Gus Fatih sudah benar-benar menerimakulah hatiku dengan sendirinya akan menyebutnya Mas.

Mas, Kang Mas.

***

Setelah bertanya dan diberitahu salah seorang mbak ndalem di mana keberadaan Umi, aku langsung mendatanginya yang ternyata ada di kamar.

Sebelum benar-benar masuk, aku sempat terkunci di depan pintu memandang Umi dengan sesuatu yang ada di tangannya. Pikiranku jadi melayang ke mana-mana.

“Masuklah, sini, Fa!”

Terdengar suara Umi yang menyadari keberadaanku.

“Tutup pintunya sekalian, ya!” imbuh Umi saat selangkah aku memasuki kamar bernuansa abu-abu tuanya.

Sedikit kikuk aku duduk di sampingnya. “Ini apa, Mi?” tanyaku sejenak setelah duduk dan melihat senyum Umi.

“He he.” Umi tertawa kecil. “Ya, apa lagi? Jelas-jelas lingerie begini.”

Aku kesulitan menelan ludahku melihat potongan-potongan kain itu.

Kuhitung-hitung semuanya ada empat atau lima. Eh! Tujuh tenyata. Semuanya berbeda warna dan model.

“Lalu ... Umi manggil Zulfa buat ngomong apa?” tanyaku berusaha mengenyahkan atmosfer tidak nyaman yang saat ini mengerubungiku.

Umi yang sibuk melihat-lihat dan melipat lingerie-lingerie itu berhenti kemudian menatapku. “Apa lagi? Ya, Umi mau kasih ini lah, Fa. Kamu ini bagaimana? Memangnya nggak kasihan sama suamimu tiap hari lihat lingerie-mu yang dulu, itu-itu mulu,” kata Umi lalu melanjutkan pekerjaannya.

Mataku langsung membola—melotot lebih tepatnya. Setengah tidak mempercayai kata-kata Umi. Lingerie sebanyak ini? Lingerie-ku yang sejak pengantin baru saja belum pernah aku memakainya. Sekarang mau ditambah lagi. Lengkap sudah selusin bakal memenuhi lemari.

“Ndak usah lah, Mi.” Aku mencegah tangan Umi yang mengalihkan kain-kain itu ke pangkuanku. “Kan Zulfa sudah punya lima.” Senyumku di depannya. Dan belum Zulfa pakai semua, lanjutku dalam hati.

“Ndak bisa!” Umi menatapku dengan jengkelnya. “Pokoknya kamu harus terima. Umi sendiri lho yang memilihkannya!” tukas Umi menekankan tumpukan kain itu di tanganku. Membuatku mau tidak mau harus menerimanya.

“Padahal kan ada istrinya Mas Alim juga!” gerutuku sengaja.

Umi hanya melirik sekilas dari posisinya sekarang yang beralih membuka laci nakas.

“Mereka bukan manten baru lagi. Anaknya sudah satu, Fa. Lagian Mbakmu sudah punya banyak,” kata Umi duduk lagi di sampingku.

Mas Alim adalah kakak pertamaku. Dua tahun yang lalu dia sudah menikah dengan wanita pilihan Umi, Mbak Ratna. Keluarganya pengasuh pesantren juga di Nganjuk. Dulunya Mbak Ratna nyantri di sini, jadi santri ndalem atas usulan orang tuanya. Sedari lama mereka berdua sudah dijodohkan.

“Ya, sudah. Buat istrinya Mas Adhim saja, Mi,” elakku tak mau kalah sembari sekuat tenaga menahan lengkungan senyuman di bibirku.

Umi langsung mendelik padaku. Aku menurunkan tatapan sehingga tahu kalau di tangannya Umi memegang sesuatu. Sebuah botol bening ukuran tanggung dengan cairan berwarna pekat di dalamnya. Umi pasti mengambil benda itu dari lacinya tadi.

“Seperti tidak tahu Masmu yang satu itu saja, Fa, Fa.” Umi menghela napasnya. “Umi jodohin seperti Masmu yang mbarep, ndak mau dia. Katanya mau cari sendiri, tapi lihat, sampai sekarang mana calonnya? Umi sudah sabar lho ini ngadepinnya.”

Aku kali ini benar-benar tertawa.

Mas Adhim, saudaraku yang tepat sebelumku lahir itu memang begitu. Dia suka aneh sekaligus nyeleneh. Sangarlah istilahnya. Dari tiga bersaudara hanya dia yang suka berbeda. Seperti saat lebaran semasa kami masih kecil dulu dan sama-sama belum ada yang dipondokkan, Masku yang satu itu sudah terlihat sangarnya.

Ketika aku dan Mas Alim sudah ribut pagi-pagi mau ikut salat Id di masjid, Mas Adhim malah santai-santai di depan televisi, padahal dia sudah rapi.

Saat ditanyai Umi, katanya dia tidak mau salat Id di masjid kami. Jemaahnya kurang banyak katanya. Dia maunya salat Id di Masjidil Haram Makkah sana atau setidaknya Masjid Istiqlal Jakarta. Umi langsung menjewer telinganya namun kemudian oleh Abah disuruh membiarkan. Berakhirlah Mas Adhim kecil ikut-ikutan salat Id di depan televisi yang menyiarkan siaran langsung salat Id dari Masjid Istiqlal.

Lucu ya? Aku sendiri ikut menyaksikannya karena di Jakarta waktu pelaksanaan salat Id-nya terlaksana lebih lamban dari wilayah-wilayah Indonesia Timur yang ada di timurnya ibu kota itu, Kediri salah satunya. Dan itu baru satu masalah salat Id! Pokoknya banyak ulahnya Mas Adhim itu. Aku takut tidak bisa berhenti tertawa jika menceritakan semuanya.

“Bener kata Nyai Fatimah kamu ndak mau diperiksa dokter?” tanya Umi yang tiba-tiba membuatku mengerjapkan mata. “Itu, katanya kamu belum hamil?” Umi memperjelas kata-katanya.

“Ooh, iya, Mi,” sahutku sembari memperbaiki posisi duduk.

Sebenarnya aku belum menyiapkan diri untuk pertanyaan seperti ini.

“Bener kamu ndak mau ke dokter?” Umi mengedarkan tatapan menyelidiknya ke wajahku. “Kamu kelihatan pucet lho, Nduk. Kayak orang yang lagi hamil muda biasanya.”

Aku menundukkan kepala.

Umi yang tentu saja melihatnya kemudian ikut menunduk, tetapi ke arahku, bermaksud mencari wajahku. “Yo wes tho, Nduk. Nggak pa-pa. Masih manten baru juga.” Jemari Umi mengangkat daguku. Mata teduhnya menenangkanku. Umi kemudian tertawa. Aku yakin berusaha mencairkan suasana.

Ah, Umi. Andai Umi tahu apa yang terjadi. Umi pasti tidak akan tertawa lagi seperti ini.

Menegakkan kepala, aku mengangguk dengan senyum terbaikku.

Zulfa akan berusaha kok, Mi. Umi tenang saja ....

“Ya sudah, ini ambil sekalian!” kata Umi sembari menyodorkan botol kaca yang tadi.

Aku menerimanya dengan wajah tidak mengerti.

“Buat besok sama nanti,” kata Umi masih tak kupahami.

Yang kulakukan akhirnya hanya mengerutkan dahiku.

Umi tajam menatapku. “Pokoknya sebelum tidur minum aja, dicampur ke wedang juga bisa. Fatih juga pokoknya,” katanya menyunggingkan senyum. “E-eh. Besok juga ndak apa se, Fa. Kamu sama Fatih pasti capek, ya, sekarang? Besok malem saja sekalian pindah ke gazebo!” pungkas Umi dengan senyuman lebar.

“Hah?” Aku benar-benar tidak mengerti apa yang dimaksud Umi. Kalimat Umi yang terakhir saja yang kupahami sempurna. “Ke gazebo, Mi?” Aku menatap Umi dengan lemparan tanya, dengan kedua mata membola tentu saja.

“Iya.” Umi mengulas senyum. “Suamimu juga sudah tak kasih tahu,” tambah Umi berhasil mendebarkan hatiku.

“Ha?! Jadi Mas Fatih sudah tahu?”

Umi hanya mengangguk.

“Ya sudah. Cepet, kamu simpan sana! Sebentar lagi sudah mau Isya. Umi ada perlu ke asrama putri dulu.”

“Nggeh.” Aku mengangguk dan berlalu. Masih kurang percaya dengan pendengaranku.

Gus Fatih tahu? Dan dia ... setuju?!

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku.

***

Setelah makan malam keluarga yang memang biasa dilakukan setelah Isya, aku ikut Mbak Ratna pergi ke kamarnya dan Mas Alim.

Apalagi kalau tidak mau menemui putra mereka, Zidan.

Namun sayang, setibaku di kamarnya ternyata keponakanku yang masih berusia satu tahun dua bulan itu sudah tidur. Berakhirlah aku duduk berdua dengan Mbak Ratna mendengar ceritanya. Sedangkan Mas Alim pergi menghadiri undangan yang entah ke mana.

Dibandingkan Mbak Ratna yang terus bercerita mengenai putra tampan dan kehidupan rumah tangga bahagianya dengan kakakku, aku lebih banyak diam mendengarkan. Sesekali aku tersenyum dan tertawa menanggapi ceritanya dengan tanganku yang tidak henti menggenggam tangan kecil Zidan.

Balita kecil itu sangat tampan. Garis wajahnya begitu mirip dengan Mas Alim, ayahnya. Begitu juga hidungnya. Hanya bibir merah mungilnya saja yang mirip Mbak Ratna. Aku ingin sekali menggendongnya andai saja pangeran kecil itu tidak tidur saat ini.

“Sayang, ya, Zidan sudah tidur?” tanya Mbak Ratna seolah tahu pikiranku.

“Iya, Mbak. Aku pengen gendong dia tadinya,” akuku tersenyum sembari tetap menggenggam tangan Zidan. Dengan lembut aku mengelusnya dengan jemariku. Halus dan lembut.

“Nggak pa-pa. Besok juga bisa.” Mbak Ratna meraih pundakku. Mata teduhnya tersenyum menatapku selaras dengan lengkung di bibir mungilnya.

“Iya.” Aku menganggukkan kepala. Tanganku sudah melepas peganganku pada Zidan.

Kini Mbak Ratna memindahkan putra tampannya itu ke boks bayi yang ada di samping dinding kamar yang memiliki nuansa abu-abu terang seperti kamar Umi dan Abah. Setelahnya kakak iparku itu menurunkun kelambu putih transparan yang ada di boks bayinya setelah sebelumnya mengecup kening Zidan.

Entah kenapa, perasaanku menghangat menyaksikan pemandangan ibu dan anak itu. Seperti ada sesuatu lain yang bangkit di hatiku. Dan aku tidak tahu perasaan semacam apa itu.

Rasanya, aku ingin melakukan itu juga nanti dengan putraku.

“Fa, kamu sendiri sekarang bagaimana?” Mbak Ratna duduk lagi di sampingku.

Aku yang menoleh padanya mengikuti arah pandangnya yang masih melihat ke arah boks bayi Zidan. Hanya sebentar karena aku langsung menoleh ke arahnya lagi setelah merasakan tanganku yang dicekalnya.

“Sudah isi ta?” tanya Mbak Ratna membuatku pias seketika.

Tidak lama aku langsung tertawa. Seperti lainnya, Mbak Ratna juga tidak boleh tahu yang sebenarnya.

“Kamu terlihat kurusan lho, Fa,” kata Mbak Ratna lagi.

Aku masih berusaha tersenyum di depannya. “Iya, Mbak. Masih usaha.” Aku menundukkan kepala.

“Iya, ndak pa-pa. Masih pengantin baru. Sudah biasa itu,” tawa Mbak Ratna di sampingku.

Kini aku mengulas senyum sugguhan. “Iya,” sahutku dengan suara pelan.

“Kamu yang sering makan toge aja, Fa. Mbak dulunya juga gitu hampir tiap hari sampai ada Zidan.”

Aku mengangguk mengiyakan. “Doanya saja, Mbak,” pintaku kemudian, penuh dengan harapan.

Aku tidak tahu alasan sebenarnya Gus Fatih berlaku begini padaku. Sampai sekarang masih banyak dugaan yang memenuhi kepalaku—dan menggangguku. Dari yang Gus Fatih tidak mencintaiku. Tidak menerimaku. Sampai Gus Fatih yang hanya mempermainkanku. Atau …, bisa jadi ada alasan lain selain itu?

Entahlah, ini hanya perasaanku saja atau bagimana. Sikap Gus Fatih yang begini sepertinya terjadi sejak dia pulang dari Mesir, memenuhi panggilan dosennya yang entah untuk apa.

Haruskah aku menanyakannya?

Setelah berbincang-bincang lama dengan Mbak Ratna, aku keluar dari kamarnya. Zidan terbangun dan minta dikeloni Ibunya.

Aku yang belum begitu mengantuk memutuskan pergi ke beranda belakang. Iseng-iseng mencari angin malam dengan segelas wedang jeruk nipis yang baru kubuat.

Aku bertemu Abah di sana. Beliau sedang muthola'ah beberapa kitabnya. Jadi dengan senang hati aku menemani Abah duduk di atas tikar dan sesekali menjawab lontaran tanya Abah yang tiba-tiba padaku. Apalagi kalau tidak menguji pelajaranku selama mondok dulu.

Sekitar dua jam duduk berdua, Abah menyuruhku kembali ke kamar untuk tidur. Kutolak dengan alasan masih ingin menemaninya, tetapi Abah tidak mengizinkan. Katanya kasihan Gus Fatih yang pasti menungguku. Abah tidak tahu saja bagaimana suamiku itu.

Agar Abah tidak berpikir yang tidak-tidak, aku akhirnya menurut. Namun, sebelum ke kamar, aku membuatkan Abah kopi hitam lagi dalam mug besar karena kopi milik Abah yang tadi sudah habis, setelah meletakkan gelas bekas wedangku dan cangkir kopi Abah yang sebelumnya ke wastafel.

Abah tersenyum dan mengusap puncak kepalaku saat aku menaruh mug besar kopi buatanku untuknya ke meja. “Makasih, yo, Nduk,” kata Abah sejenak meletakkan kitabnya.

“Nggeh, Bah. Diminum dulu,” pintaku.

“Iya, ini mau Abah minum.” Abah meraih mug kopiku lalu mulai menghirupnya.

Memperhatikan Abah yang meminum kopi itu aku tersenyum. Senang sekali rasanya melihat Abah meminum kopi yang kubuat.

Untuk seorang anak perempuan sepertiku, membuatkan kopi seperti ini untuk Abah adalah kesempatan yang sangat langka. Tahu sendiri kan dari kecil aku sudah tidak di rumah karena dipondokkan, bahkan saat pulang liburan Abah juga sering keluar rumah menghadiri undangan. Jadi, kupikir mumpung aku di sini dan ada kesempatan, kenapa tidak kubuatkan?

“Ah ...,” desah Abah meletakkan mug kopi ke meja. “Kopi buatanmu sip, Nduk,” kata Abah menunjukkan jempolnya.

Aku tertawa. Abah juga melakukan hal yang sama.

Setelah puas memperhatikan Abah minum, aku izin pergi ke dalam.

“Fatih pasti seneng punya istri sepertimu bisa bikin kopi yang enak, Nduk, Nduk.” Abah masih melancarkan pujian.

Aku yang sudah memasuki pintu menoleh sembari tersenyum. “Nggeh, Bah,” kataku mengangguk.

Menilik waktu. Jam ruang tengah masih jam 10 lebih 10 menit. Jam segini saat di Jombang biasanya Gus Fatih baru selesai mulang diniyah jika tidak pergi ke Wonosalam dan sibuk di perpustakaannya membaca buku. Kalau mengingat sekarang kami ada di sini, maka suamiku itu tidak mungkin melakukan kegiatan yang menjadi rutinitasnya itu. Apalagi di kamarku aku tidak menaruh buku bacaan atau kitab tafsir, yang ada hanya sebuah rak yang penuh akan novel-novel.

Buku bacaan dan kitab-kitab tafsir juga kitab lainnya hanya ada di perpustakaan keluarga yang ada di sebelah kamar Abah dan Umi. Semua orang menaruh buku mereka di situ, temasuk Abah, Umi, aku, dan kedua kakakku—meski semua milik Abah disimpan di ruangan khusus yang tidak boleh dimasuki siapa pun.

Dengan langkah cepat aku berjalan ke kamarku yang ada di paling depan, dekat ruang tamu. Jujur, saat ini aku sangat penasaran dengan apa yang dilakukan Gus Fatih. Masihkan dia menghindariku?

Perlahan aku menggenggam kenop pintu. Saat pintu masih terkuak setengahnya, aku bisa melihat ranjang yang kosong. Tidak ada Gus Fatih yang berbaring di atasnya. Lampu utama pun masih menyala. Daripada terus merasa penasaran, aku masuk dan mendapati Gus Fatih yang sedang berbaring di sofa. Dia sedang menerima telepon sepertinya. Dan ... dalam bahasa Arab!

Aku langsung mengernyit.

Dari siapa?

Aku mendekat ke arahnya, ke meja rias tepatnya yang ada di samping Gus Fatih. Mulai melepas kerudung, mengurai rambut lalu menyisirnya.

Sedikit-sedikit aku mencuri dengar pembicaraannya. Namun sayang, panggilan itu tidak di-loudspeaker sehingga aku tidak bisa mendengar suara seseorang yang ada di seberang sana.

Tak lama, Gus Fatih melirik padaku. Aku pura-pura tidak melihatnya dan segera menyelesaikan sisiranku. Setelah itu ia memutus teleponnya dan pergi ke kamar mandi.

Bingung dengan suasana yang terjadi, aku segera mematikan lampu utama dan tidur. Biar saja, jika Gus Fatih masih ingin terjaga biar dia menyalakannya lagi. Toh, aku sudah mau tidur.

Setelah menyiapkan segelas air putih di nakas sisiku dan nakas sisi Gus Fatih, aku berbaring dan menaikkan selimut. Bagiku hari ini adalah hari yang dipenuhi suasana awkward yang tak terduga.

Aku lelah. Ingin istirahat.

Malam ini biarlah Gus Fatih melakukan apa pun sesukanya. Yang kubutuhkan saat ini adalah menyiapkan diriku untuk besok. Mengumpulkan tenaga.

Ya. Aku memang penasaran dengan apa yang mau dilakukan Gus Fatih setelah ini. Namun, rasa penasaran itu tidak mencegahku memejamkan mata. Hari ini tiba-tiba aku sangat mengantuk daripada malam-malam sebelumnya.

Saat terdengar pintu kamar mandi yang terbuka dan tertutup, aku sudah mau kehilangan kesadaranku setengahnya. Jika Gus Fatih tidak menyalakan lampu utama kemungkinan dia pasti akan terpekur di sofa. Bisa juga jika dia akan tidur di sofa cokelat itu. Sudahlah, aku tidak mau mempersoalkannya dulu.

Kriet ....

Terdengar decitan dari sisi ranjang sebelahku. Dan—

Hup!

Baru saja alam mimpi mau menyambutku kurasakan lengan seseorang melintangi pinggangku. Detik berikutnya napas hangat terasa menerpa rambutku.

Aku salah. Gus Fatih tidur di sampingku!

Ia yang berbaring di belakangku memelukku. Sekarang kurasakan tubuhnya bersinggungan dengan punggungku. Ya Allah .... Dosakah aku tidur membelakangi suamiku? Namun, aku juga sudah telanjur membeku. Apalagi setelah bibirnya menyusup ke telingaku kemudian lirih berbisik;

“Sugeng dalu, Cah Ayu.”

Gus Fatih berhasil memporak-porandakan hatiku.

Suaranya itu berhasil membekukanku.

Aku pun tidak bergerak sama sekali di posisiku.

Ya Allah … ke mana tadi semua rasa kantukku?!

Dan suamiku. Kenapa dia selalu membingungkanku?

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel