Bab 8
Andara berlari menuju Bimo yang sedang menikmati makan malam. Ia menarik kera baju lalu mem*mukul wajah Bimo. Laki-laki yang merupakan kakak iparnya itu terkejut dan tersungkur dari kursi meja makan.
“Apa-apaan kamu!” bentak Bimo sambil berdiri. Cairan merah kental keluar dari sudut bibirnya.
Laila memeluk Naya yang duduk di kursi seberang Bimo. Ia membenamkan wajah anaknya dalam pelukan, tidak ingin sang putri melihat pamannya baku hantam dengan sang ayah. Bergegas Laila mengajak gadis kecil itu ke kamar dan memerintahkan agar Naya tidak keluar. Gadis itu mengangguk.
“Laki-laki benalu!’ umpat Andara.
“Ada apa ini?” tanya Laila bingung.
“Suami tercinta Mbak ini sudah menggadaikan rumah, Mbak!” tutur Andara dengan lantang.
Wanita yang berdiri di antara adik dan suaminya itu terkejut. Kedua telap tangannya menutup mulut lalu menatap ke arah sang suami. Ia menggelakkan kepala tidak percaya kalau Bimo tega berbuat seperti itu.
“Sudah aku katakan jangan kembali pada benalu ini, tapi Mbak tidak mau mendengarkan!” Andara menunjuk Bimo dengan kesal, napasnya memburu, seperti singa yang siap menerkam mangsanya.
“Fitnah apa ini, Andara? Beraninya kau menuduhku sembarangan!” kilah Bimo.
“Cukup, Mas! Tidak perlu bersandiwara. Aku melihatmu tadi siang bersama Pak Kades —“
“Lalu kenapa kalau aku bertemu dengannya? Bukankah hal biasa bawahan berbincang dengan atasannya?” potong Bimo.
“Dengan memberikan sertifikat rumah ini kepadanya!” Andara melemparkan buku bersampul hijau itu ke lantai, tepat di depan Bimo.
Laila yang sejak tadi hanya diam mendengarkan perdebatan mereka, menatap tidak percaya kepada Bimo, “Tega kamu, Mas!” ujar Laila sedih.
Seperti maling yang tertangkap basah, wajah Bimo seketika menjadi pucat, darah seolah-olah enggan mengaliri di tubuhnya. “Ini salah paham, Dek.” Bimo mencoba berasalan, mencari cara untuk membela diri.
“Mau alasan apalagi? Bukti sudah di depan mata,” ujar Andara dengan mata melotot dan penuh penekanan.
“Kamu gak usah ikut campur rumah tanggaku!” bentak Bimo.
“Apa Mas bilang? Gak usah ikut campur? Ini rumah kakakku, Mas lupa kalau rumah ini dibeli jauh sebelum dia mengenal, Mas. Wajar aku membela Mbak Laila, dia saudaraku, sebagai adik laki-laki, aku bertanggung jawab melindunginya dari laki-laki seperti Mas Bimo.”
Bimo bersiap menghajar Andara. Ia melayangkan tin*jun ke wajah adik iparnya itu. Namun Laila yang berada di antara mereka langsung memasang badan di depan Andara. Pu*kulan itu tepat mendarat di wajah Laila. Darah mengalir dari sudut bibir wanita itu.
Andara meradang melihat sang kakak terkena pu*kulan Bimo. Ia menerkam kakak iparnya, menghujani beberapa pu*kulan. Baku hantam tidak terelakkan. Kedua laki-laki itu saling tin*ju dan ten*dang.
Laila menjerit melihat keduanya saling serang. Ia menarik baju sang adik yang berada di atas suaminya.
“Hentikan!” teriak Laila.
Namun keduanya tidak mau mendengar. Laila menangis sambil terus berusaha melerai keduanya hingga seseorang datang dan lempar kursi plastik milik Naya ke arah keduanya. Semua terkejut dan menoleh ke arah orang yang melempar benda tersebut.
“Papa,” ucap Laila dan Bimo bersamaan.
Andara yang berada di atas Bimo, melepaskan cengkeraman di leher Bimo setelah Laila menariknya. Bimo berdiri dan mendekati Hermawan, ayah Bimo.
“Tidak tau malu!” umpat Hermawan menatap Laila dan Andara.
“Itulah kalau menikahi orang tidak berpendidikan. Gaya preman pun dibawa, tidak tahu diri!” Ratna tiba-tiba berdiri di belakang suami dan anaknya.
Andara yang mendengar hinaan dari mertua kakaknya itu langsung menjawab, “Anak Ibu yang tidak tau diri, rumah kakak saya digadaikan pada Pak Kades dengan alasan ibu saya harus dioperasi dan butuh uang,” terang Andara dengan emosi.
“Bisa-bisanya kamu memfitnah anakku. Jangan-jangan kamu sendiri yang butuh uang dan mengarang cerita seperti itu, lalu menuduh Bimo,” tuduh Ratna dengan tatapan sinis.
“Untuk apa saya mengarang cerita dan tega berbuat seperti itu pada kakak saya yang jelas-jelas rumah ini miliknya jauh sebelum mengenal anak ibu yang pemabuk dan tukang judi itu!” Andara tidak mau kalah.
“Diam! Jangan sekali-sekali menuduh Bimo dengan hal yang tidak pernah dia lakukan,” bela Ratna.
“Memang itulah faktanya, Bu. Silakan tanyakan sendiri pada orang yang selalu berlindung di bawah ketiak orang tuanya itu!” Andara menunjuk wajah Bimo yang penuh luka pu*kulan.
“Jaga sopan santumu Anak Muda!” teriak Hermawan. “Jangan sekali-sekali kau menunjuk Bimo, dia adalah kakak iparmu.”
“Cukup!” bentak Laila. “Aku tidak ingin mendengar perdebatan kalian. Mas, tolong katakan dengan jujur, apa benar kamu telah menggadaikan rumah ini?” Laila menatap Bimo, ia berharap suaminya dapat berbicara jujur kali ini.
Bimo tidak menjawab dan hanya menunduk. Laila menghela napas. Ia tahu betul bagaimana suaminya. Selama 6 tahun hidup bersama, Laila sudah hafal kebiasaan Bimo jika berbohong atau berbuat salah. Saat ini pun laki-laki itu sedang berbohong dan telah melakukan kesalahan yang sangat membuat Laila kecewa.
“Silakan Papa dan Mama bawa Mas Bimo pulang,” ujar Laila sambil tetap menatap suaminya, berharap suaminya berkata jujur.
Bimo mendongak, menatap wanita yang berdiri tidak jauh di depannya. Ia tidak percaya kalau Laila akan berbicara demi kian.
“Mereka telah menghina kita,” geram Ratna. “Ayo, pulang!” Ratna menarik tangan Bimo dan mengajaknya keluar dari rumah itu.
Seperti kerbau yang dicolok hidung, Bimo mengekor kedua orang tuanya.
Laila terduduk lemas sambil menangis, tidak menyangka jika Bimo tega melakukan hal itu kepadanya. Selama ini, semua telah ia korbankan, cinta, pekerjaan, bahkan harga diri. Ia berharap Bimo bisa berubah kembali seperti pertama mereka menikah. Namun harapannya kandas, selain suka mabuk dan judi, kini Bimo mulai berani menggadaikan harta miliknya. Rumah yang dibelinya sebelum jauh sebelum mengenal Bimo. Hatinya hancur, tidak ada lagi kata maaf untuk sang suami.
Andara memeluk Laila, hatinya nyeri melihat kakak satu-satunya itu diperlakukan seperti sapi perah. Ada kemarahan yang sangat besar dari sorot matanya. Dalam hati ia berjanji tidak akan memaafkan perbuatan Bimo dan Ratna yang selalu menghina Laila.
“Sudah jangan menangis lagi, Kak. Aku tidak akan membiarkan Kakak disakiti oleh mereka lagi.”
Laila mendongak, melerai pelukan sang adik, lalu mengusap air matanya. “Dari mana kamu tahu rumah ini digadaikan Mas Bimo?”
“Andara mengikutinya, Kak, lalu menemui Pak Kades.”
“Lalu bagaimana kamu bisa mendapatkan sertifikat ini lagi?”
“Kakak gak usah mikirin gimana Andara mendapatnya, yang penting sekarang rumah Mbak sudah selamat”.
***
Di dalam Mobil, Ratna tidak berhenti menghina Laila dan Andara, ia masih tidak terima jika Bimo dituduh menggadaikan rumah milik Laila. Sedangkan, Hermawan hanya diam di samping sang istri yang terus mengoceh seperti beo.
“Mama mau kamu menceraikan Laila,” ujar Ratna dengan lantang.
“Bimo gak mau, Ma!”
“Kamu mau mati karena dipukuli oleh Kakak-Adik itu?” sungut Ratna. “Pokoknya Mama mau kalian berpisah.”
Mobil Pajero Sport hitam itu berhenti di depan rumah mewah milik orang tua Bimo. Bimo turun dari mobil dan membanting pintu mobil.
