Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4

Bimo menghadang Laili, saat tangannya menarik lengan wanita itu, Andara menepis dan mengajak Laila masuk.

“Jangan pernah menyakiti kakakku lagi!” ancam Andara menunjuk Bimo.

Mereka meninggalkan Bimo yang masih mematung di sana.

Hampir satu jam Andara menjalani pemeriksaan, semua pertanyaan ia jabarkan dengan gamblang, alasan kenapa ia memukul Bimo sampai perlakuan kakak iparnya itu terhadap Laila. Andara sudah menyiapkan semua bukti, saat Laila melarikan diri malam-malam karena KDRT dari Bimo, diam-diam ia memfoto wajah sang kakak yang sedang tertidur. Juga merekam pembicaraannya dengan Pak Kades saat mengambil sertifikat rumah.

Semua bukti bisa membebaskan Andara dari tuntutan keluarga Bimo, tetapi uang bisa saja mengubah segalanya. Laila dan Andara tidak tahu drama apa yang telah disiapkan oleh ibu Bimo.

Mereka keluar kantor polisi dengan perasaan lega. Andara mengajak Laila untuk mampir ke warung bakso langganan mereka. Sesampainya di sana, Andara memilih tempat paling pojok dan menghadap ke jalan, ia memesan 2 porsi bakso urat dan es teh manis. Tidak menunggu lama, pesanan mereka pun tiba.

“Rasanya sudah lama sekali bisa makan senikmat ini,” tutur Laila dengan lahap memakan baksonya.

Andara menatap Laila dengan sendu. Ia tahu betapa berat beban kakaknya selama ini. Bahkan untuk membeli seporsi bakso seharga 10 ribu pun Laila tidak mampu. Wanita itu harus berjuang sendirian, mengirit pengeluaran agar besok masih bisa makan, berjalan setiap pagi di stasiun agar mendapat uang untuk makan dan biaya lainnya, sedangkan sang suami, entah ke mana uangnya. Sejak dua tahun pernikahan laki-laki itu tidak pernah lagi memberi nafkah kepada kakaknya. Andara menyeka sudut matanya, ia takut Laila melihat kalau saat ini ia sedang menahan perih menatap sang kakak yang dengan lahap menikmati semangkuk bakso. Seperti orang yang tidak pernah makan.

Andara mengelap keringat di dahi Laila, “Pelan-pelan, Kak, nanti keselak.”

Laila meringis malu, “Maaf, ya.”

Andara hanya tersenyum menganggapi sang Kakak. “Mau nambah lagi, Kak?” tawarnya.

Laila hanya menggeleng.

“Apa kamu bisa bebas dari tuduhan mereka?” Laila menegak es teh di hadapannya, tampak raut risau dari wajahnya.

“Kakak tenang saja, jangan khawatir, semua pasti akan baik-baik saja.”

“Tapi, Kakak tau betul bagaimana keluarga itu.”

“Udah, yok, pulang!” ajak Andara mengalihkan pembicaraan.

Sebelum pulang mereka memesankan 2 porsi bakso untuk Aminah dan Naya. Tidak dipungkiri di dalam hati Andara juga merasakan kecemasan, berhadapan dengan keluarga Bimo sama saja berhadapan dengan singa. Mereka akan menghalalkan segala cara untuk mengubah fakta. Namun ia tidak ingin terlihat khawatir di depan kakak dan juga ibunya.

***

“Bimo gak mau Mama laporin Andara ke polisi!” bentak Bimo

“Sudah berani kamu bentak Mama? Lihat muka kamu udah babak belur seperti itu!” sungut Ratna. “Apa pun yang terjadi Mama harus kasih pelajaran kepada mereka agar tidak seenaknya saja menuduh kamu!”

“Ma ..., tidak perlu sampai ke polisi. Ini masalah rumah tangga Bimo, Mama gak usah ikut campur.”

“Gak usah ikut campur? Jadi begini balasan kamu? Begini cara kamu? Mama membela harga diri kamu, tapi kamu malah bilang Mama ikut campur?” ujar Ratna dengan raut sedih.

Ratna menitikkan air mata karena Bimo telah menuduh dan membentaknya.

“Bukan begitu, Ma. Bimo Cuma mau kita selesaikan secara baik-baik, tidak perlu sampai ke polisi, ini cuma salah paham,” tutur Bimo lembut. Ia takut melukai hati ibunya. Bimo akan merasa bersalah jika sang ibu sudah menangis seperti itu.

“Mama tidak ingin kamu disakiti oleh mereka lagi.” Ratna menyeka ujung matanya dengan tisu. Dramanya berhasil membuat Bimo iba.

Bimo memeluk Ratna, mengecup kepala wanita yang selalu berdandan menor itu. Merasa sang ibu telah tenang, Bimo pamit ke kamar, meninggalkan Ratna yang masih duduk sendiri di ruang keluarga.

Ratna menghapus air matanya dan tersenyum licik. Ia mengambil ponsel yang tergeletak di meja, mencari kontak seseorang dan menghubunginya.

“Aku akan membantumu menjadi anggota dewan asal kau tidak berkhianat dan mau membuat anak itu dipenjara,” ujar Ratna pada seseorang di seberang telepon.

Setelah memutus sambungan teleponnya, Ratna berdiri sambil tangan bersedekap di dada, “Lihat saja apa yang akan aku lakukan, kalian telah menabu genderang perang padaku.” Ratna bermonolog sendiri.

Di dalam kamar, Bimo menatap foto pernikahannya yang sudah pecah karena lemparan vas bunga beberapa hari yang lalu. Tanpa ia sadari, air matanya menetes. Ia masih berharap rumah tangga yang telah dibina selama 6 tahun ini dapat diperbaiki. Ia tidak ingin kehilangan Laila dan Naya. Otaknya dipenuhi dengan berbagai pikiran, bagaimana jika Laila meninggalkannya dan mendapatkan pria lain. Ia tidak rela jika wanita yang telah memberinya seorang putri itu berdampingan dengan orang lain. Cemburu tanpa alasan membuat Bimo terlalu terobsesi dengan Laila, sehingga pikiran liat memenuhi isi kepalanya.

“Kenapa semuanya jadi begini? Harusnya kita masih bersama dan bahagia. Harusnya kamu lebih patuh kepadaku. Bukankah kamu bilang harta kita bersama, seharusnya kamu membelaku, tidak perlu marah aku meminjam sertifikat rumah itu untuk melunasi semua hutangku. Harusnya kamu mendukungku, Laila.” Bimo berbicara sendiri di depan foto itu.

Laki-laki dengan rahang tegas dan sedikit jambang di wajahnya itu, berteriak, melempar semua benda yang berada di dekatnya. Kesal, merasa bersalah, dan frustrasi jadi satu. Ingin menyalahkan diri sendiri karena kebo*dohannya, tetapi ia terlalu malu untuk mengakuinya. Takut jika ayahnya tahu apa yang dia berbuat selama ini.

***

Di tempat lain, Laila tengah bersimpuh di hadapan Allah, menengadahkan tangan dan mencurahkan isi hatinya. Memohon agar langkah yang ia pilih adalah yang terbaik untuk kehidupan dan masa depan ia dan Naya. Air mata membasahi pipi mulusnya. Menerawang kejadian beberapa tahun belakang, betapa sulitnya ia bertahan dengan kondisi Bimo yang temperamen dan pemalas. Setiap hari dihabiskan dengan tidur karena malam hari suaminya itu mabuk-mabukan.

Laila masih ingat betul pertama kali ia menerima pukulan dari Bimo. Siang itu, Laila sedang membereskan jualan, tiba-tiba Bimo datang dan langsung menarik tangannya. Laki-laki itu menampar Laila di depan umum. Terkejut dan juga malu, ia bingung kenapa suaminya tiba-tiba datang dan memukulnya.

Laila yang terkejut saat itu hanya diam mendengar umpatan dan tuduhan Bimo yang mengatakan bahwa ia sengaja berjualan di stasiun untuk menggoda laki-laki di sana. Hatinya perih mendengar tuduhan Bimo yang tidak beralasan. Nyatanya, ia terpaksa untuk memenuhi kebutuhan karena Bimo yang tidak pernah memberinya uang.

Bimo menyeret Laila pulang, semua orang yang berada di sana menatap ke arah mereka. Ada yang berbisik-bisik mengumpat tindakan Bimo, ada pula yang menyalahkan Laila karena tahu Bimo merupakan anak orang terpandang dan Laila dengan sengaja membuat malu keluarga Bimo.

Laila yang sedang menangis di atas sajadah, terkejut mendengar teriakan dari luar. Seseorang membuka pintu kamarnya, lalu menarik Laila secara paksa.

“Ikut aku!”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel