Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 1 Awal Pertemuan

Hampir saja.

Hampir aku tidak mengecap semua keindahan masa muda. Masa ketika kita merasa bebas melakukan segalanya, tanpa takut untuk merasa takut. Yang malah hancur seketika oleh semua godaan dan salahnya pergaulan. Tersesat dan terombang-ambing dalam ketidakbenaran. Dan aku muak.

Hingga dia datang. Seseorang yang amat manis dan mencintaiku. Membawakan aku seikat cinta dengan penuh ketulusan dan kasih sayang. Menyadarkanku, bahwa semuanya belum terlambat untuk diperbaiki.

Selagi dia ada.

Sejak itu, dan hingga kini.

Saat-saat yang berlalu amat cepat itu selalu kukenang. Kata orang, tak ada masa yang paling indah selain masa muda. Itu benar. Saat ketika kau jatuh hati pada seseorang yang telah mengubahmu dengan sentuhan rasa yang teramat dalam. Di sanalah keindahan datang padamu. Ya. Siapa juga yang tak pernah merasakan masa terindah ini?

*****

Malam ini seperti malam-malamku yang biasanya, tak ada yang kulakukan selain berbaring di tempat tidur dan menonton televisi. Siarannya entah tentang apa, yang pasti aku hanya melamun saja, sesekali menerawang jendela kamar wisma pelajar yang terhalang tirai tipis. Hujan deras di luar. Aku bisa mendengar suara gemericik air yang bergantian menabrak bumi.

Betapa membosankannya dunia ini.

Sebenarnya ada banyak tugas sekolah yang harus kuselesaikan. Tapi soal tugas, aku sudah tidak peduli lagi. Lagi pula tingkat kehadiranku juga kurang memenuhi kriteria kelulusan. Jadi, kupikir semuanya sudah terlambat untuk diperbaiki. Biarlah, toh aku juga tidak memiliki niat untuk melanjutkan pendidikan ke universitas.

Dengan seorang dua orang teman, suasana kamar ini sepertinya akan jauh lebih mengasyikan. Mengobrol, sambil meminum kopi panas bersama. Tapi inilah aku, selalu sendirian. Tak ada yang mau berteman dengan berandalan yang hanya masuk sekolah dua kali seminggu. Berarti selama tiga hari itu aku bolos sekolah -sabtu dan minggu libur- menghabiskan waktuku yang membosankan ini di mana pun yang kumau.

-----

Hari senin ini aku masuk sekolah. Masih ada rasa nasionalisme dalam hati seorang berandalan sepertiku. Karena menurutku, meninggalkan upacara bendera lebih buruk daripada berkelahi dengan wali kelas. Aneh memang, tapi kenyataannya aku memiliki perasaan ini. Padahal, berandalan lain pun sering membolos ketika hari senin tiba.

"Berisik kau bocah!!!"

Suara bentakan itu terdengar keras di tengah khidmatnya suasana upacara penaikan bendera, disusul dengan suara teriakan histeris para siswi. Suara itu tidak asing ditelingaku. Ardan, teman satu gengku dulu sebelum aku keluar. Dia terlihat beringas menghajar pengurus OSIS yang bertugas memeriksa barisan. Sepertinya dia anak kelas sebelas. Wajahnya sudah penuh dengan luka lebam tanpa bisa melawan. Anak-anak lain hanya bisa diam ketakutan, melihatnya tanpa berani berbuat sesuatu. Aku mengerti keadaan mereka.

Aku berbeda. Aku tidak bisa diam begitu saja melihat kelakuannya seperti anak-anak baik ini. Aku ingin balas menghajarnya. Guru laki-laki yang hadir belum ada satu pun, hanya kepala sekolah saja. Sepertinya tidak apa-apa jika aku menghajarnya sekarang.

"Kau yang berisik, Ardan!" Teriakku sambil berlari ke arahnya.

Baam! Pukulanku telak mengenai pipinya. Dia terpental, jatuh di sebelah anak OSIS yang baru saja habis dia hajar.

"Kau! Berandalan sepertimu punya hak apa memukulku di tengah upacara seperti ini, hah!?" Ardan masih belum bangun, tangan kanannya mengusap darah yang keluar dari pelipis matanya.

"Cihh!" Kuludahi wajah menyebalkannya dengan tatapan penuh amarah. Dia bergetar.

"Kau bertanya apa hakku memukulmu!?" Aku menarik kerah bajunya yang kusut, memaksanya bangun. "Lalu apa hakmu memukuli seorang anak OSIS yang sedang menjalankan tugasnya, hah!?"

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel