Pustaka
Bahasa Indonesia

My Gabriel

26.0K · Ongoing
Mrs. TM
25
Bab
749
View
9.0
Rating

Ringkasan

Aneta di usir oleh orang tuanya karena ia hamil tanpa mau memberitahu siapa ayah dari bayi tersebut. Dengan terpaksa Aneta pergi dari kota tersebut membawa janin dalam kandungannya. Penderitaan Aneta dimulai dari saat ia memutuskan untuk pergi menjauh dari kehidupan masa lalunya. Sebenarnya bisa saja Aneta pergi ke tempat lelaki yang menghamilinya itu , tapi enggan ia lakukan karena ia tahu itu percuma dan lelaki itu mungkin tidak akan mengakuinya dan berujung Aneta yang di salahkan dalam yang sangat ini. Sampai akhirnya Aneta melahirkan anaknya dan di beri nama Gabriel.

PresdirAnak KecilPernikahanMengandung Diluar Nikah

Bab 1 Terlambat Interview

"Hah … bagaimana ini, aku terlambat tiga puluh lima menit…."

Seorang wanita memakai kemeja putih yang sudah tidak putih lagi, ia segera berlari menuju lift di sebelah kanan lobi sebuah perusahaan kenamaan di negara tersebut.

Semua orang memandang aneh pada wanita itu, bukan karena ia datang terlambat, tapi karena pakaian yang dipakainya yang dianggap kumuh oleh orang yang memandangnya dengan tatapan aneh.

Bahkan ketika di dalam lift pun orang yang berada di dalamnya saling berbisik satu sama lain memandangi wanita itu dari ujung kepala ke ujung kaki.

Mereka pikir perusahaan elite seperti perusahaan itu tidak layak ditempati oleh seseorang seperti makhluk aneh di depan mereka itu.

Wanita itu segera keluar ketika pintu lift yang menuju lantai sembilan itu terbuka, ia merasa bisa bernapas lega setelah beberapa saat yang lalu terkurung di dalam lift yang berisikan orang-orang yang menurutnya memandang dirinya seperti memandang seekor ayam yang mempunyai kaki empat.

Ia bertanya pada seorang paruh baya yang berseragam biru muda yang sedang mendorong troli yang berisikan berbagai macam alat kebersihan itu.

"Permisi, bisa tunjukan saya dimana itu ruang interview?" tanya wanita itu dengan tergesa.

Wanita paruh baya itu menunjukan letak ruangan HRD, dan ia segera menuju ke ruangan itu setengah berlari.

Wanita itu mengetuk pintu, setelah ada seseorang dari dalam yang menyuruhnya untuk masuk, ia segera masuk.

Dua orang di ruangan itu yang bertugas mewawancarai calon karyawan melihat dari atas sampai bawah persis seperti semua karyawan yang berpapadan dengannya ketika di lobi dan di lift.

Merasa mendapat pandangan yang aneh dari kedua orang di depannya itu, wanita itu segera memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud dan tujuannya datang ke perusahaan tersebut.

"Baik, Ibu Aneta, anda tau kesalahan anda apa?" tanya salah satu orang yang duduk di depan Aneta.

"Sangat tahu Pak, tapi tolong beri saya satu kesempatan, Bapak lihat kan saya tidak diragukan lagi kemampuannya, saya sudah lampirkan beberapa prestasi saya di perusahaan sebelumnya, dan di situ juga terdapat nilai yang sangat bagus ketika saya menempuh pendidikan,'' jelas Aneta panjang lebar.

Ya, Aneta merasa harus mendapatkan pekerjaan ini, karena disinilah ia akan mendapat gaji yang sangat fantastis untuk kehidupannya bersama Bryan, untuk biaya sehari-harinya dan untuk biaya masa depan Bryan.

"Tapi maaf Bu, disini peraturan adalah peraturan, belum menjadi karyawan saja anda sudah terlambat, apalagi nanti setelah anda resmi jadi karyawan disini.''

Aneta menunduk, memilin rok span bawah lututnya itu dengan sangat gelisah, ia tahu kalau interview ini sangat penting untuk masa depannya, tapi di sisi lain mengantar Bryan ke rumah sakit juga tak kalah penting.

"Dengan sangat menyesal kami menyatakan anda tidak dapat bekerja di perusahaan ini.''

Pundak Aneta melemas, ia merasa sangat menyesal berada di keadaan serba terjepit di pagi hari tadi, ia lalu pamit undur diri dan keluar dari ruangan tersebut.

Sedangkan di lobby perusahaan, para karyawan wanita sedang berebut mengintip kedatangan seorang pria tampan yang baru diangkat satu minggu yang lalu menjadi CEO baru diperusahaan tersebut.

Reksa Anderson, pria muda berusia dua puluh delapan tahun yang terpaksa mengikuti kemauan sang ayah, Hendarto Anderson untuk meneruskan perusahaan yang telah dirintisnya bersama sahabat karibnya yang telah tiada.

tok...tok...tok…

"Pak, saya membawa berkas yang perlu anda tanda tangani,'' ujar Alex sambil menyerahkan beberapa berkas penting untuk Reksa.

"Dan ini beberapa data dari calon karyawan yang interview hari ini."

"Bawa pergi saja, Lex … dan katakan pada HRD untuk memilih karyawan yang berbobot untuk perusahaan ini,'' pinta Reksa pada sekretarisnya itu.

Alex mengangguk mengiyakan ucapan sang bos, menerima berkas yang sudah ditandatangani dan segera keluar dari ruangan itu.

Reksa menghela napas, bukan ini yang ia inginkan, jabatan sebagai CEO dan mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap perusahaan yang bergantung pada dirinya.

Sesungguhnya ia lebih nyaman menjadi dokter di Singapura, berinteraksi dengan pasien anak-anak, menurutnya lebih menyenangkan daripada harus mengurus perusahaan besar seperti sekarang ini.

Ya, dua minggu yang lalu Reksa masih berstatus sebagai dokter anak di negara Singapura, namun karena sang ayah yang terus menerus meminta Reksa pulang, akhirnya dengan berat hati Reksa melepaskan jas putih kebanggaannya demi permintaan sang ayah.

Bukan tanpa alasan Reksa memilih menjadi dokter di Singapura, ia awalnya mencari seorang gadis yang ia pikir sedang mengandung anaknya ke Singapura, dan sampai pada akhirnya ia memilih untuk melanjutkan kuliahnya di sana dan bekerja di sana pula sebagai dokter anak karena ia pikir pada saat lulus kuliah nanti, mungkin anaknya sudah lahir dan sedang tumbuh.

Ia pikir, ia akan dengan mudah menemukan keberadaan sang anak karena pekerjaannya sebagai dokter akan mempertemukannya dengan anak kecil yang berbeda setiap harinya.

Tapi semua tak semudah yang ia bayangkan, selama enam tahun tinggal di Singapura, ia tak pernah mendapat titik terang dimana wanita yang ia cari bersama dengan anaknya berada.

Sampai pada akhirnya Hendarto menyuruh anaknya pulang karena ia sudah tidak bisa mentolerir lagi alasan sang anak tetap tinggal di sana.

Di saat sedang memikirkan masa lalunya yang belum ia temukan, Reksa dihadapkan pada kenyataan kalau sang ayah ternyata mempunyai penyakit yang lumayan menyita perhatiannya, karena menurut dokter keluarga, Hendarto sering sekali kumat, ketika sedang mempunyai beban pikiran yang cukup menguras hati dan pikirannya.

Dering ponsel Reksa berbunyi, meminta supaya sang pemilik untuk segera mengangkatnya, dilihatnya sebuah nama yang sebenarnya ia sendiri malas untuk berbicara dengan si pemilik nama itu, namun ia malas berdebat jika telepon tersebut tidak segera diangkat, dan dengan terpaksa ia harus mengangkat telepon itu.

(Ada apa?)

(...)

(Aku sedang sibuk, cepat katakan ada apa kau menelponku)

(...)

(Terserah kau saja)

Setelah berbicara seperti itu, Reksa langsung mematikan teleponnya.

Ia lebih memilih ke pantry daripada harus memikirkan Calista, anak pemilik rumah sakit sekaligus dokter muda rekan Reksa sewaktu masih bekerja di Singapura.

Ya, selama ini Reksa memilih membuat kopi sendiri ke pantry, daripada menyuruh sekretarisnya membuatkan kopi, karena hanya Reksa sendiri yang tau takaran kopi yang pas menurutnya.

Ketika baru akan berdiri, tanpa sengaja matanya menangkap kertas sebuah kertas formulir berisi data diri dari calon karyawannya, mungkin tidak sengaja dijatuhkan Alex ketika keruangannya tadi.

Reksa mengambil kertas itu dan berniat untuk mengembalikan pada Alex yang mempunyai meja kerja di depan ruangan CEO.

Namun ketika Reksa membalikkan kertas itu, ia begitu terkejut melihat foto yang ada di lampiran formulir tersebut.