19
"Nggak usah masang muka gitu. Gue nggak bakal jahatin lo kok. Disini gue malah mau ngebantuin lo." ujar Riko. Dia berjalan mendekati gue lalu berdiri tepat di samping gue dengan tangan yang di lipat di dadanya.
Mendengar itu, gue langsung mengubah air muka gue jadi biasa dan menatap Riko bingung. Perasaan takut udah hilang entah kemana saat dia tersenyum ke arah gue.
"Lo tau sesuatu tentang Zeno?" tanya gue akhirnya, memilih untuk memandang danau dan membiarkan Riko yang menatap gue yang entah dengan pandangan seperti apa.
"Hmm...Zeno ya? Gue nggak tau banyak tentang dia. Gue aja baru pertama kali ngomong sama dia waktu kerja kelompok waktu itu." ucapnya. Gue mengangguk mengerti.
"Lo waktu di bioskop kenapa tiba-tiba menghilang. Dan juga, kenapa gue nggak boleh percaya sama Zeno. Gue butuh penjelasan sekaligus alasannya." ujar gue yang langsung teringat kejadian yang dulu sempet ngebuat gue bertanya-tanya kenapa Riko bisa ngomong kayak gitu ke gue.
Nggak ada reaksi langsung yang di lakukan oleh Riko. Dia hanya menghembuskan napasnya lalu mengalihkan pandangannya dari gue menatap lurus ke depan tepat ada danau di sana.
"Gue nggak bisa ngomong langsung soal itu. Tapi gue bakal kasih petunjuk buat lo. Gue nggak mau terlibat apapun sama masalah ini. Ini gue lakuin karena gue merasa bersalah sama elo." ujar Riko.
"Maksud lo? Petunjuk apa?"
Dia nggak langsung jawab, dan malah memperhatikan sekitar secara perlahan. Lalu setelah itu dia beralih menatap gue dengan pandangan was-was.
"Sebaiknya jangan ngomong disini. Kita cari tempat lain dulu." ujarnya.
"Nggak. Disini aja. Gue tau lo bilang nggak bakal jahatin gue, tapi nggak ada salahnya kan gue waspada. Gue takut lo malah melakukan hal yang sama kalo lo bawa gue ke tempat lain." ucap gue mundur satu langkah darinya.
"Tapi....arghh yaudahlah..denger"
"Lo udah kenal sama Zeno lama kan?" tanyanya. Matanya masih melihat sekitar seperti orang yang mencemaskan sesuatu.
Gue yang mendengar itu berpikir sebentar lalu mengangguk setelahnya.
"Lo merasa ada yang beda dari Zeno sekarang? Misalnya...sikapnya gitu?" tanyanya lagi yang kini udah natap gue intens. Gue bingung, tapi gue malah mengangguk karena memang gue merasa ada yang aneh dengan sikap Zeno.
"Emang ada yang aneh sih. Tapi...apa hubungannya sama yang lo bilang waktu di bioskop itu?" tanya gue.
Riko nggak langsung jawab, dia malah melirik jam tangannya lalu menghembuskan napasnya gusar.
"Gue nggak bisa banyak ngomong sama lo. Tapi gue saranin. Lo cari tahu tentang sosok Zeno yang sekarang. Lo bisa mulai dari rumahnya. Lo anak yang pinter kan? Gue yakin lo bakal bisa mencari kebenarannya. Gue cuma bisa bantu lo segini. Dan inget, jangan pernah percaya apapun yang di katakan Zeno. Dan jangan pernah mau melakukan apapun yang dia suruh." ucapnya dengan tempo lumayan cepat. Gue berkedip mencerna ucapannya. Namun tetap aja tanda tanya yang muncul di otak gue.
"Gue harus pergi. DIA lagi nungguin gue." ujarnya, lalu tanpa sempat gue tahan kepergiannya, dia udah berlalu dengan berlari cepat menuju keluar area danau dan menghilang seiring menjauhnya sosok Riko dari pandangan gue.
Gue sendiri masih terbengong menatap hampa jalur yang di ambil Riko tadi. Otak gue berputar lebih cepat untuk memikirkan setiap kata yang di ucapkan olehnya. Setelah itu gue mendumel sendiri karena nggak ada satu kata pun yang gue mengerti.
"Sialan! Kenapa dia selalu ngomong yang bikin otak gue nggak ngerti dan selalu bertanda tanya? Ada apa sih sebenarnya!" ujar gue kesal. Setelah itu gue memutuskan untuk pulang dan memilih memikirkannya nanti di rumah.
***
Sesampainya gue di depan gerbang rumah. Gue nggak sengaja berpapasan dengan Papa--Ayah Zeno yang lagi jalan menuju rumahnya. Beliau mengenakan pakaian santai yang sering gue liat kalo dia lagi libur di rumahnya.
Gue sempet tersenyum namun segera gue lunturkan senyum gue setelah melihat Papa nggak melihat gue dan malah lanjut jalan sampai akhirnya Beliau masuk ke dalam gerbang rumahnya dengan raut wajah yang bener-bener kayak orang banyak pikiran.
"Papa kenapa?" gumam gue pelan sambil bertanya-tanya dalem hati. Tapi gue memilih untuk positif thinking. Mungkin Papa nggak ngeliat gue atau mungkin beliau emang lagi banyak yang di pikirin. Tentang pekerjaan mungkin.
Nggak mau ambil pusing. Gue memutuskan untuk ikut masuk ke dalam setelah membuka pintu gerbang sebelumnya. Gue berjalan ke arah pintu rumah sampai akhirnya kaki gue berhenti melangkah setelah melihat motor yang terparkir di depan rumah gue. Gue tau itu motor siapa, makanya gue langsung melanjutkan langkah gue lebih cepat dan segera masuk ke dalam rumah.
"Kak Wira." panggil gue setelah sampai di ruang tamu dan menemukan sosok yang udah gue ketahui setelah melihat motor di depan tadi.
Wira yang tadinya lagi memainkan ponselnya, langsung menoleh ke arah gue dengan senyum lebar yang biasa ia keluarkan. Gue yang melihat itu ikut tersenyum lalu duduk di sampingnya.
"Ada apa Kak kerumah gue?" tanya gue sambil memperhatikan sosok Wira yang sudah mengenakan baju olahraga dengan setelan pemain basket.
"Jangan bilang kita mau latihan sekarang?" ujar gue yang langsung kepikiran tentang bimbingan yang selalu gue dan Wira lakukan setiap sore.
Wira terkekeh, lalu tanpa seijin gue, dia mengusak rambut gue sebentar. Gue sempet terkejut, namun gue segera menepiskannya dengan tersenyum.
"Nggak, bukan tentang latihan. Ya kali siang-siang gini mau latihan olahraga. Sayang tuh kulit lo kalo kena panas kayak begini." ujarnya.
"Terus ada apa?" tanya gue lagi.
Wira berdeham sebentar, "Kebalikannya sih. Hari ini gue nggak bisa bimbing lo latihan. Gue ada pertandingan sejam lagi. Dan mungkin selesainya maghrib. Gue kesini mau bilang itu. Maunya sih lewat hp, tapi nomor lo nggak aktif." jelasnya.
"Nggak aktif?" Wira mengangguk.
Melihat itu gue segera merogoh saku celana gue dan mengeluarkan ponsel gue dari sana. Setelah itu gue mencoba menyalakan ponsel gue yang hanya memunculkan gambar baterai dengan tulisan matikan daya.
"Pantesan." ujar Wira yang turut menatap ponsel gue barusan. Gue menoleh ke arahnya lalu tersenyum minta maaf.
Wira ikut tersenyum, setelah itu ia meraih tasnya yang ia taruh di lantai dan melampirkannya di bahunya. Wira bangkit dari duduknya yang langsung gue ikuti.
"Yaudah kalo gitu gue duluan ya? Sejam lagi pertandingannya mulai. Kalo gue sampai lebih cepat kan masih bisa pemasanan. Maaf, hari ini gue nggak bisa ngajarin lo." ujarnya dengan suara yang entah kenapa kedengaran lembut.
Gue menggeleng, "Nggak apa kok, Kak. Santai aja. Kalo besok lo masih kecapekan kita undur aja. Latihannya minggu ini. Dan....semoga menang ya!" ujar gue. Wira tersenyum, dan lagi-lagi dia tanpa ragu mengusak rambut gue.
"Loh, nak Wira udah mau pulang?" suara Bunda tiba-tiba menginstrupsi gue dan Wira yang sedang berpandangan. Wira yang mendengar itu dengan sigap menjauhkan tangannya dari kepala gue lalu berbalik menatap Bunda.
"Iya Tante, Wira ada pertandingan sebentar lagi. Lagipula, Wira udah ketemu sama Kenta. Wira pamit dulu ya, Tan. Makasih minumannya." ucap Wira lalu menggamit tangan Bunda dan menyaliminya.
Bunda tersenyum dan menepuk bahu Wira pelan saat Wira menyalami tangan Bunda.
"Hati-hati di jalan ya, Nak. Kalo mau dateng kesini lagi, kabarin dulu ya. Biar Tante bisa bikin cemilan yang enak buat kamu." ujar Bunda.
"Pasti Tante. Kalo gitu Wira duluan ya Tan." ujar Wira kembali berpamitan dengan Bunda. Setelah mendapatkan anggukan dari Bunda, Wira berbalik dan menatap gue dengan mulut yang bergerak seperti berkata "Gue berangkat ya."
Gue yang mengerti pun langsung mengangguk. Lalu tanpa perintah, gue beranjak dari sana dan berdiri di sampingnya. Wira yang melihat gue mengerinyitkan dahinya.
"Gue anterin sampe depan." jelas gue dan mendahului dia berjalan ke arah pintu rumah.
"Nanti kalo tim gue menang. Gue bakal ngasih lo sesuatu." ucap Wira setelah dirinya sudah menaiki motornya lengkap dengan helm di kepalanya.
"Apa?" tanya gue.
"Ada deh. Lo doain aja supaya tim gue menang, ok?" ujarnya dengan jempol yang ia arahkan ke gue.
"Kan udah tadi di dalem. Tapi ya udah deh. Gue doain tim lo menang, Kak!" ucap gue akhirnya.
Wira tersenyum, lalu setelah itu dia menghidupkan mesin motornya.
"Gue berangkat ya." pamitnya. Gue mengangguk. Dan nggak lama setelahnya Wira menjalankan motornya keluar dari pekarangan rumah gue sampai akhirnya sosoknya menghilang setelah melewati gerbang rumah gue.
Menyadari hal itu, gue pun berbalik dan kembali masuk ke dalam rumah menuju ruang tamu. Mengambil tas gue yang masih tergeletak di sana, setelah itu gue pun beranjak dari sana dan berjalan ke arah kamar gue yang terletak di lantai dua.
Gue merebahkan tubuh gue dengan menghembuskan napas lega merasakan nyaman di tubuh gue saat menyentuh kasur yang baru gue sadari ternyata sangat empuk. Gue memejamkan mata gue sebentar, namun segera gue buka kembali setelah ponsel yang lagi gue cas berbunyi.
Gue bangkit dan menuju meja belajar gue dan duduk di sana sambil meraih ponsel gue yang masih tersambung dengan charger.
Zeno
Malam ini kita jalan, mau? 14.10
14.11 Jalan kemana?
Zeno
Ada lah. Lo mau kan? 14.13
14.14 Mau. Btw, lo dimana? Kenapa di sekolah lo nggak keliatan? Lo masih marah sama gue?
Zeno
Gue ada urusan. Udah ya, ntar lanjut malem aja. 14.16
Membaca itu pun gue hanya membalas dengan iya. Setelah itu nggak balasan lainnya dari Zeno. Gue yang menyadari itu pun memilih untuk meletakkan kembali ponsel gue dan melanjutkan proses pengisian baterai yang memang baru terisi beberapa persen.
Gue bangkit dari duduk gue dan berniat untuk kembali merebahkan tubuh gue di atas kasur. Namun niat gue segera terhenti setelah otak gue tiba-tiba memiliki ide saat menatap balkon dan mendapati pintu kamar Zeno yang terbuka.
Gue berjalan mendekat ke arah balkon dan memperhatikan baik-baik ke arah kamar Zeno untuk memastikan apa ada sosok sang empunya kamar atau nggak. Gue yang lagi fokus memperhatikan pun tiba-tiba teringat kata-kata Riko di danau tadi.
"Mencari tau tentang Zeno ya? Dan di mulai dari rumahnya?" gumam gue bertanya pada diri sendiri.
Namun saat gue sedang asik berpikir untuk melakukan tindakan itu atau nggak. Tiba-tiba sosok wanita muncul dari pintu balkon kamar Zeno dan melambai ke arah gue.
"Mama?" ucap gue pelan. Lalu tanpa membuang-buang waktu gue segera berjalan mendekat ke arah sana dan mendapati sosok Mama yang nggak kalah kacau raut wajahnya seperti yang di tunjukin oleh Papa tadi. Gue mengerinyit bingung melihatnya.
"Mama kenapa? Kenapa muka Mama kayak orang putus asa?" tanya gue setelah sampai tepat di hadapannya.
Beliau menggeleng lalu dengan suara tertahan dia berbicara.
"M-mama nggak b-bisa ngomong banyak. Ini." ujar Mama lalu memberikan gue sebuah buku harian dengan sampul Transformers di depannya. Gue kembali mengerinyitkan dahi gue, tapi dengan perlahan gue tetep mengulurkan tangan gue untuk meraih buku harian itu dari Mama.
Gue ingin membuka itu, namun segera di larang oleh Mama dengan meletakan tangannya di atas tangan gue.
"Bacanya jangan di sini. Ada CCTV"
"Jangan nyari cctvnya." ucap Mama segera saat gue baru ingin menoleh mencari letak cctvnya berada.
Gue yang hendak bertanya kenapa pun nggak jadi, karena beliau langsung berbalik dan masuk ke dalam kamar menutup pintunya rapat. Gue cengo dan terbengong menatapnya.
"Lagi-lagi gue di buat bingung dengan ucapan orang yang bener-bener nggak jelas. Mama kenapa sih sebenernya? Dan buku ini, ini buku apa?" ujar gue, lalu tanpa basa-basi gue langsung membuka buku itu dan mendapatkan sepotong kertas yang terlipat.
Gue mengambil kertas tersebut dan membuka lipatannya.
TOLONG ZENO, NAK.
Begitulah isi kertas yang di lipat itu. Gue yang sudah membacanya pun langsung mendongak dan menatap ke depan melihat pintu yang masih tertutup rapat di sana. Namun tanpa sengaja gue melihat jendela dan mendapati sosok Mama yang menganggukkan kepalanya menatap gue.
Dan lagi-lagi gue nggak ngerti apa yang terjadi.
