12
"Sayang, kamu beneran udah mau masuk sekolah? Kamu beneran udah sehat?" Ujar Bunda yang udah kesekian kalinya gue denger.
Gue yang lagi memakai sepatu pun cuma bisa berdeham untuk mengiyakan ucapan Bunda. Setelah selesai gue baru berdiri dan menghampiri Bunda yang berdiri di depan pintu.
"Aku udah sehat kok Bun. Tenang aja, Kenta kan anak laki. Masa cuma demam dikit langsung nggak sekolah." Ujar gue lalu tersenyum yang sama sekali nggak di balas oleh Bunda.
Bunda malah menatap gue dengan pandangan khawatir seperti sebelumnya.
"Bukan masalah demam yang Bunda khawatirin. Tapi masalah yang waktu itu. Bunda takut itu kejadian lagi. Bunda nggak mau anak Bunda mengalami hal mengerikan kayak gitu lagi. Kamu tau kan Bunda sayang banget sama kamu?" Ujar Bunda yang langsung ngebuat hati gue tersentuh, lalu tanpa basa-basi gue memeluk Bunda erat.
"Iya aku tau. Aku juga sayang banget sama Bunda. Tapi, Bunda nggak perlu khawatir soal itu. Kenta bakal lebih hati-hati sama orang yang belum Kenta kenal. Dan juga-"
"Ada aku yang bakal jagain Kenta." ujar Zeno tiba-tiba.
Gue dan Bunda yang mendengar itu langsung melepaskan pelukan kami dan menghadap menatap Zeno.
Gue heran, kok bisa sih Zeno selalu muncul di saat-saat gue mengalami momen yang mendesak. Bukan itu aja, dimana ada gue pasti ada dia di situ. Gue baru sadar sekarang. Entah apa tujuannya gue nggak tau. Tapi yang jelas, ini ngebuat gue bingung sekaligus penasaran.
"Aku bakal jagain Kenta mulai dari sekarang, Bun. Jadi Bunda nggak perlu khawatir lagi. Aku akan selalu ada di samping dimana pun dia berada. Termasuk waktu dia tidur." Ujarnya yang bikin gue berkerut dan bertambah bingung.
"Maksud kamu?" Tanya Bunda yang juga mewakili diri gue.
Zeno nggak langsung menjawab, dia menggaruk tengkuknya pelan lalu tersenyum kikuk menatap Bunda.
"Mulai hari ini aku bakal tidur di kamar Kenta, Bun. Boleh nggak?" Ujarnya.
Gue melotot menatapnya, "Nggak! Nggak boleh. Enak aja mau tidur di kamar gue. Gue nggak suka tidur berdua. Kasur gue juga nggak muat kali kalo lo numpang di situ." Ujar gue yang menolaknya sebelum Bunda berkata terlebih dahulu.
Zeno tersenyum ke arah Bunda, lalu melangkah maju dan bersandar di pintu kamar.
"Muat kok, semalem kan gue tidur di samping lo." Ujarnya, lalu sedetik kemudian dia mengalihkan kepalanya ke arah luar dengan tangan yang memukul kepalanya sendiri.
Gue mengerinyit bingung, maksudnya dia apa? Tidur di kamar gue. SEMALEM!?
"Kamu beneran mau nginep di kamar Kenta buat jagain dia?" tanya Bunda duluan sebelum gue mengeluarkan suara marah gue.
Gue mendesis kesal dan menatap Zeno dengan mata memicing. Zeno cuma menatap gue sebentar lalu beralih menatap Bunda. Dia mengangguk dua kali.
"Iya, Bun. Bunda ngijinin aku, kan?" Ujarnya, memegang kedua tangan Bunda untuk merayunya. Gue yang melihat itu memutar bola mata gue malas.
Bunda mengangguk yang ngebuat gue menganga melihatnya.
"Bunda sih ijinin, tapi nggak tau deh sama Kenta. Kamu minta sama dia aja, ya. Udah, bahasnya jangan di sini. Kita sarapan aja dulu, yuk. Baru kalian berangkat sekolah, ini udah siang loh." Ujar Bunda, lalu beralih menatap gue tersenyum. Dan setelah itu Bunda berjalan keluar dari kamar gue meninggalkan Zeno dan gue berdua.
Melihat itu, gue gunakan kesempatan untuk menatap Zeno kesal.
"Maksud lo apaan sih?" Ujar gue sambil menaruh kedua tangan gue di pinggang.
Zeno membalas gue dengan tatapan polos seakan-akan dia nggak tau maksud dari ucapan gue. "Maksudnya?" ujarnya.
"Kenapa lo ngomong gitu ke Bunda? Gue bisa jaga diri gue sendiri kok. Gue kuat. Kan lo sendiri yang bilang kalo gue nggak lemah. Terus apaan tadi pake mau nginep di kamar gue segala." Ujar gue.
"Gue itu tulus loh ngomongnya. Jarang-jarang orang ganteng kayak gue mau ngelindungin bencong kayak lo gini. Udah terima aja, daripada gue berubah pikiran nanti." Ujar Zeno lalu berbalik dan hendak meninggalkan gue. Namun langkahnya berhenti setelah gue mengajukan pertanyaan.
"Semalem lo tidur di kamar gue ya?" tanya gue setelah sempat lupa menanyakannya ke Zeno tadi.
Zeno nggak jawab dan masih diam di tempat, namun nggak lama, karena setelah itu dia berlari meninggalkan gue ke bawah untuk sarapan.
Gue yang melihat itu cuma bisa menggeram dan memakinya dalam hati.
***
Gue yang sedari tadi duduk diam di belakang seketika langsung melotot melihat Zeno memutar balik motornya dari jalan yang harusnya menuju ke sekolah.
Gue menepuk bahunya keras.
"Woy lo mau kemana!? Kenapa muter balik?" Ujar gue setengah teriak.
"Hari ini gue mau bolos. Lo temenin gue ya?" Ujarnya yang langsung buat gue melotot.
"Nggak! Gue nggak mau. Gue mau sekolah Zeno! Kalo lo mau bolos, ya bolos sendiri, jangan ngajak gue. Turunin gue di sini, gue mau sekolah!" Ujar gue dan kembali menepuk bahunya lebih kuat.
"Nggak mau. Lo harus ikut gue bolos."
"Kenapa gue harus ikut?"
"Karena ada sesuatu yang mau omongin ke elo. Jadi lo ikut aja, nggak usah ngamuk-ngamuk kayak gini. Ntar kita berdua jatoh!" Ujarnya, lalu mempercepat laju motornya. Gue yang melihat itu nggak peduli dan makin mempercepat gebukan gue di bahunya.
"Gue nggak mau. Turunin gue Zeno! Gue mau sekolah!!"
"Kenta! Jangan gitu, gue lagi nyetir nih!" Balasnya sedikit teriak.
Gue tetep nggak peduli dan malah memperkuat gebukan gue. Namun nggak lama setelah itu tangan gue langsung reflek memeluk Zeno karena tiba-tiba aja motor Zeno oleng dan hilang kendali. Gue mengeratkan pelukan gue dan menempelkan muka gue di pundaknya.
"Tuh kan, udah gue bilang jangan macem-macem. Gue tuh lagi nyetir motor." Ujarnya setelah motor memelan dan minggir dari pertengahan jalan.
Gue nggak berniat untuk membalas ucapan Zeno, dan masih setia memeluknya seakan-akan kalo gue lepas bakal ada sesuatu yang buruk terjadi pada gue.
"Udah lepasin pelukannya. Bentar lagi udah sampe." Ujarnya. Gue menggeleng di pundaknya tanpa menjawab.
Zeno berdecih, "Gue tau badan gue itu wangi dan hangat. Tapi gue nggak mau di peluk lama-lama sama lo. Jadi.... Lepasin ya Kenta cantik." Ujarnya, lalu dia melepaskan tangan gue yang melingkar di perutnya.
Gue yang melihat itu cuma bisa pasrah dan memeluk diri gue sendiri yang masih bergetar karena kejadian oleng tadi. Gue tiba-tiba inget kejadian 3 tahun yang lalu karena oleng tadi.
Huft. Untung aja nggak kenapa-kenapa.
Kalo aja tadi kejadian seperti 3 tahun yang lalu, mungkin gue bakalan mengalami trauma untuk waktu yang lebih lama. Gue cukup heran melihat Zeno dari belakang. Apa dia lupa sama trauma gue dulu ya?
Bukannya dia juga ada di kejadian saat gue mengalami kecelakaan motor 3 tahun yang lalu. Dan itu karena gue mencoba untuk belajar naik motor. Dan untunglah nggak ada yang serius dengan diri gue. Gue cuma mengalami trauma dan ogah untuk belajar motor lagi.
Tapi tadi, hahhh... Ntahlah, mungkin Zeno emang lupa. Makanya dia terlihat santai dan masih sempet-sempetnya jijik sama pelukan gue.
"Kita udah sampai. Turun gih." Ujar Zeno tiba-tiba yang langsung menyadarkan gue dari pikiran gue yang melabuh ke 3 tahun silam.
Gue mengerjap dan langsung turun dari motor Zeno. Gue menatap sekitar lalu beralih menatap Zeno penasaran. Rasa kesal gue udah hilang setelah kejadian oleng itu.
"Kita ada dima-Danau?" Ujar gue mengerinyit setelah mata gue menatap sebuah danau terhampar indah di depan gue.
Gue seketika melangkah berjalan mendekat ke arah danau dan menghiraukan Zeno yang meneriaki gue untuk menunggunya. Setelah sampai tepat di bibir danau gue tersenyum lebar dan menghirup udara dalam-dalam untuk menikmati suasana saat ini.
Tiba-tiba hati gue merasa sejuk dan tenang. Pikiran tentang trauma pun hilang begitu aja, dan di gantikan dengan tubuh gue yang merileks dengan tangan gue rentangkan seakan-akan gue sangat menikmati ciptaan Tuhan pagi ini.
"Gue sengaja bawa lo kesini. Karena gue merasa ini tepat yang cocok untuk ngomong sama lo." Ujar Zeno tiba-tiba di samping gue.
Gue nggak menanggapi ucapannya dan setia memejamkan mata menikmati udara segar yang gue hirup saat ini.
"Ngomongnya ntar aja, gue mau menikmati udara tanpa polusi ini dulu. Mumpung masih pagi, belum banyak pengunjung." Ujar gue untuk memberitahu Zeno.
"Justru karena masih sepi gue mau ngomongin ini sama elo." Ujarnya lalu menepuk bahu gue.
Gue yang mendengar itu pun merasa risih, lalu dengan sangat terpaksa gue membuka mata gue dan menatapnya kesal.
"Apa sih yang mau lo omongin? Sampe ngajak bolos gue segala. Kita nggak sedekat itu buat bolos bareng dan dateng kesini berdua!" Ujar gue yang terlanjur kesal karena di ganggu kenyamanan gue.
Zeno terlihat menghela napasnya. Lalu menatap gue serius dengan tangan memegang kedua bahu gue.
"Justru karena itu. Gue kesini bareng lo karena mau memperbaiki hubungan di antara kita. Gue nggak mau lagi denger lo bilang 'kita nggak sedeket itu buat ngelakuin ini'. Cukup tadi aja yang terakhir kalinya lo ngomong gitu. Mulai sekarang gue nggak mau denger itu lagi. Karena mulai dari sekarang, gue bakal ada di sisi lo dimana pun lo berada. Gue serius saat gue ngomong sama Bunda tadi." Ujar Zeno panjang lebar.
Gue cuma bisa menatapnya mengerinyit.
"Terus maksud dari semua ucapan lo itu apa?" Tanya gue karena belum menangkap satu maksud dari yang dia ucapin barusan.
Dia terlihat kembali menghela nafasnya, lalu melepaskan tangannya dari bahu gue dan di gantikan dengan jari kelingking yang di arah di depan wajah gue.
"Gue mau baikan sama elo. Gue nggak mau lagi jadi musuh bagi lo. Gue mau jadi sesuatu yang elo anggap penting di hidup elo. Lo mau kan?" Ujarnya dengan nada penuh keseriusan.
Gue yang mendengar itu cuma terdiam menatapnya. Otak gue berjalan lambat untuk mencerna kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Zeno. Tadi dia barusan ngomong apa?
Mau baikan sama gue? Nggak mau jadi musuh gue lagi? Dan mau jadi orang yang gue anggep penting di hidup gue?
What the fuck!
Dia bercanda kan? Itu nggak mungkin kan di ucapin oleh seorang Zeno yang selama gue ketemu dia selalu ada percekcokan mulut diantara kita?
Gue salah denger kan? Ini semua nggak nyata, kan?
Arghhh..
