10
"Tunggu di kamar gue aja, gue mandi dulu soalnya." Ujar Riko saat gue dan Zeno memasuki rumahnya.
Gue melihat-lihat rumahnya yang nggak terlalu besar dengan desain yang menurut gue lumayan. Dan saat sudah sampai depan pintu kamarnya, gue baru sadar satu hal.
"Sepi banget, Kak. Yang lain pada kemana?" Tanya gue, namun bukannya dapet jawaban dari Riko. Malah Zeno yang sewot menjawab pertanyaan gue.
"Kepo banget sih lo cong." Ujarnya. Gue cuma menatapnya geram lalu tersenyum canggung ke Riko.
Riko terkekeh, lalu membuka pintu kamarnya dan menampilkan sebuah pandangan yang sangat membuat mata gue sakit. Ntah gue harus menyebutnya kamar atau bukan.
Sumpah deh ya, harus banget ya laki-laki di cap memiliki kamar buruk seperti ini? Gue aja yang laki nggak pernah berantakan kayak begini. Gatau kalo Zeno. Seinget gue dia juga rapi.
Tapi ini, ugh!
Kapal pecah. Semua berantakan. Mulai dari seprai yang udah nggak pada tempatnya. Baju ada dimana-mana, dan yang lebih parah. Celana dalam tepat tergeletak di atas meja belajar.
Dan saat gue ingin melihat lebih dalam. Tiba-tiba pandangan gue menjadi gelap.
"Lo nggak boleh liat. Ayo keluar dulu." Suara Zeno, lalu nggak lama gue merasakan tubuh gue di seret beberapa langkah hingga suara pintu tertutup terdengar baru pandangan gue kembali.
Gue berbalik menatap Zeno marah.
"Apa-apaan sih lo, seenaknya aja nutup-nutup mata gue!" Ujar gue. Zeno cuma tersenyum miring lalu mendahului gue duduk di atas sofa.
"Kak Riko nya mana?" tanya gue sambil menyusulnya duduk di sampingnya.
"Gue suruh rapihin kamarnya dulu. Ada sesuatu yang nggak boleh lo liat disitu." Ujarnya santai, lalu menopang kakinya menjadi posisi silang.
Gue mengirinyit, "Apa? Kenapa gue nggak boleh liat sedangkan lo sendiri udah liat?" Tanya gue sambil mendekatkan wajah gue ke arahnya.
"Namanya juga nggak boleh. Masa gue harus kasih tau. Udah sana jangan deket-deket. Lo bau!" Ujarnya lalu mengusir gue dengan gerakan tangannya.
Gue mendengus lalu menggeser duduk gue menjauh darinya.
Setelah percakapan nggak penting sama Zeno. Pintu kamar kembali terbuka dan menunjukkan sosok Riko dengan hanya menggunakan handuk di pinggang. Dan lagi-lagi pandangan gue gelap.
Gue menjerit, lalu dengan sigap menyingkirkan tangan Zeno dari mata gue.
"Apa-apaan sih lo! Ganggu rezeki gue aja. Ngapain lo nutup-nutup mata gue segala? Tuh kan, Kak Riko nya udah nggak ada!" Ujar gue kesal yang lagi-lagi cuma di tanggepin senyuman miringnya.
Gue murka, lalu dengan gerakan kesal gue berdiri dan hendak masuk ke dalam kamar Riko, tapi langkah gue terhenti karena tertahan oleh tangan Zeno yang kini lagi menggenggam tangan gue.
"Tunggu, biar gue cek dulu." Ujarnya, lalu mendahului gue masuk ke dalam kamar.
"Oke, lo boleh masuk sekarang." Lanjutnya.
Gue yang mendengar itu langsung saja nyosor masuk ke dalam kamar tersebut. Dan apa? Nggak ada yang beda sedikitpun kecuali baju-baju dan celana dalam yang udah nggak ada di tempat awal gue melihatnya.
"Apa yang dia bersihin coba? Masih berantakan gini!" Dumel gue, yang langsung mendapat toyoran dari Zeno.
"Cerewet lo. Tinggal duduk diem terus nunggu Kak Rikonya selesai mandi aja ribet. Udah sore nih, gue nggak mau selesai malem. Ngerti?" Ujarnya nunjuk gue dengan telunjuknya. Lalu dengan nggak sopannya dia memegang kedua bahu gue dan memaksa gue untuk duduk di atas kasur Riko.
"Udah lo duduk disini aja dulu. Gue mau nelfon seseorang dulu di luar. Sebentar doang, jangan kemana-mana, ini rumah orang." Ujarnya, lalu dengan seenak jidatnya meninggalkan gue sendirian di dalem kamar Riko.
Gue berdecih, "Nggak tau kenapa gue nggak pernah menang sama dia. Dasar cowok aneh!" Gumam gue pada diri sendiri.
Membuang rasa bosan yang mulai datang. Gue memilih untuk membuka ponsel gue dan memainkan game orang missqueen untuk sekedar menunggu Riko ataupun Zeno datang.
Dan nggak berapa lama sosok Riko muncul dengan pakaian lengkap dan handuk yang ia sandarkan di bahunya. Dia tersenyum ke arah gue lalu melempar handuknya ke sembarang tempat.
"Lama ya nunggunya?" Tanyanya, gue menggeleng.
"Zeno mana?" Tanyanya lagi.
"Katanya lagi nelfon orang. Nggak tau dimana. Tunggu aja, dia bilang sebentar doang." Ujar gue yang di tanggapi dengan anggukan kepalanya.
Setelah itu dia berbalik, dan menutup pintu tanpa menguncinya. Gue yang melihat itu mengerinyit.
"Kenapa di tutup pintunya, Kak? Ntar Zeno dateng gimana?" Tanya gue.
Riko berbalik lalu tersenyum miring.
"Tanpa menunggu Zeno kita bisa kok ngelakuinnya sekarang." Ujarnya yang seketika membuat kerutan di dahi gue bertambah.
"Maksudnya? Kan ini tugas kelompok, Zeno juga harus ikut ngerjainnya." Ujar gue.
Dia nggak menggubris ucapan gue, lalu dengan senyuman yang sama, dia berjalan perlahan mendekati gue.
Melihat adegan yang nggak asing menurut gue. Gue meraih ponsel gue dan langsung menghubungi nomor Zeno. Tapi suara operator segera terdengar di sana. Dan gue baru inget kalo Zeno juga sedang telfonan dengan seseorang.
"Kenapa, nggak di angkat? Bagus, nggak ada gangguan untuk nyobain lo." Ujarnya yang kini udah berada di depan gue.
Gue menatap dia nyalang. "Denger ya, Kak. Kalo lo macem-macem sama gue. Gue nggak akan tinggal diam!" Ancam gue yang entah kenapa bernada gugup.
Gue tau, walaupun ucapan gue mengancam namun posisi gue saat ini lagi ketakutan.
"Apa yang bakal lo lakuin? Nonjok gue?" Ujarnya menantang. Gue yang melihat itu langsung sigap memukulnya tepat di pipi.
Tapi apa? Tangan gue terasa sakit. Dan baru kali ini gue menyesali kenapa gue nggak ikut olahraga bela diri yang sempat di anjurkan oleh Bunda. Dan inilah akibatnya, gue cuma bisa meringis kesakitan karena pukulan gue sendiri.
"Pukulan lo kok malah bikin gue tambah bernapsu. Gue jadi nggak sabar buat-"
"ZEN--" Gue yang berniat teriak langsung urung setelah tangan Riko sukses membekap mulut gue.
Lalu dengan sekali dorongan, gue terjatuh di atas kasur dengan Riko yang menindih gue.
"Lo manis banget kalo di liat dari deket begini." Ujarnya, lalu dengan kurang ajarnya dia menjilat pipi gue dan bergeser ke telinga gue.
Dan saat itu terjadi, air mata gue menetes begitu aja. Gue udah menjerit dengan suara tertahan. Menggerak-gerakkan tubuh gue berharap bisa lepas dari kungkungannya. Tapi semua itu sia-sia, gue cuma bisa mengeluarkan air mata tanpa suara tangis yang biasa gue lakukan.
Permainan Riko sudah menyebar kemana-mana. Mulai dari mata gue, jidat, leher. Dan sekarang dia berusaha untuk membuka kemeja sekolah yang saat ini gue pakai. Gue meronta, namun lagi-lagi nggak ada perlawanan untuk gue baginya.
Dan suara robekan berhasil terdengar di telinga gue. Baju seragam gue sukses robek dan menampilkan sebagian tubuh gue di hadapannya.
Nggak sampai disitu, gue juga sudah merasakan kalo puting gue sudah di hisap dan di gigitnya habis-habis. Gue cuma bisa menjerit tertahan dan meronta sejadi-jadinya.
Dan entah kenapa, di saat-saat seperti ini, sosok Zeno sangat gue harapkan hadir sekarang. Suara berat Zeno yang selalu mengolok gue dengan kata-katanya yang menyakitkan. Gue nggak tau kenapa, yang jelas saat ini, gue sangat berharap Zeno datang dan menyelamatkan gue dari orang gila ini.
"Lo bener-bener bikin gue bernapsu." Ujarnya lalu beralih ke leher gue, dan bisa gue rasakan gigitannya di sana. Lagi-lagi gue cuma bisa menjerit dengan mulut yang terbungkam.
"Kenta ayo pulang, Bunda nyuruh kita buat.....WOY! LO APAIN KENTA GUE ANJING!"
Suara teriakan Zeno sukses membuat bungkaman di mulut gue terlepas. Tindihan diatas gue pun turut bangkit dan datang menghampiri Zeno. Gue yang sadar kalo diri gue sudah terlepas dari kungkungan Riko langsung bersiap berdiri dan berlari menduhului Riko menuju Zeno.
Setelah sampai di depan Zeno. Gue langsung memeluknya erat dan menangis sejadi-jadinya di dadanya. Gue nggak tau gue lagi ngapain. Tapi yang jelas, saat ini gue hanya terpikir untuk melakukan ini terhadapnya.
"M...hughh..mma..kasihh" ujar gue di pelukannya yang tercampur dengan suara tangisan gue.
Dan setelah itu gue cuma merasakan balasan dari pelukan Zeno yang erat lalu disusul dengan usapan tangannya di kepala gue berserta dagunya.
