Pustaka
Bahasa Indonesia

My Brownies (Berondong Manis)

104.0K · Tamat
Romansa Universe
85
Bab
840
View
7.0
Rating

Ringkasan

Micha, mahasiswi yang jatuh cinta pada seorang siswa SMA –Justin-. Kedekatan mereka berujung pada hubungan pacaran dan membuat keduanya sering disebut ‘budak cinta’. Dibalik manisnya hubungan Micha dengan berondong-nya, ia dihadapkan dengan perjodohan yang telah disepakati oleh keluarganya. Micha harus bertunangan dengan seorang guru muda yang sangat tampan –Juna-. Micha berhasil menutupi hubungannya dengan Juna dihadapan Justin. Namun suatu hari Justin tiba-tiba saja menjauh dan bahkan menghilang dari Micha. Itu membuat Micha panik. Kemanakah hilangnya Justi, apakah ia mengetahui pertunangan kekasihnya?

RomansaCinta Pada Pandangan PertamaKampusSweet

Bab 1 Micha, Mama dan Papa

Bab 1 Micha, Mama dan Papa

Matahari pagi yang bersinar dan kicauan burung gereja yang saling bersahutan, berhasil mengangkat sudut-sudut bibir seorang gadis cantik yang kini nampak terpejam di pinggiran jendela dekat meja makan, merasakan betapa damai dan hangatnya suasana pagi hari ini.

"Cha.. Makanannya sudah siap."

Suara lembut ini membawa Micha kembali lagi ke bumi, setelah sedari tadi pikirannya melayang-layang membayangkan berbagai macam keindahan. Micha membalikkan tubuhnya lalu berjalan menghampiri seseorang yang kini nampak sibuk menata mangkuk sayur dan piring-piring di atas meja makan.

"Selamat pagi, Ma," ucap Micha sambil memeluk hangat tubuh seorang berperawakan mungil dan berwajah hangat ini, Ibunya.

"Pagi, sayang," balas Sang Ibunda sembari mengusap lembut lengan Micha lalu mengecup sayang pipi halus anak gadisnya ini.

"Di mana Papa? Mengapa belum turun dan bergabung dengan kita?" tanya Micha sesaat setelah ia melepas dekapannya.

Mama Micha tersenyum, "Kamu tahu kan kebiasaan Papa?"

Micha yang sangat paham dengan sifat Papanya itu hanya bisa memutar bola matanya sambil menepuk keningnya.

"Astaga! Mengapa Papa masih saja seperti itu sih?! Ternyata Mama sabar sekali menghadapi Papa, ya?" omel Micha dengan sarkas.

Mama Micha tersenyum lebar, "Ya mau bagaimana lagi? Cinta itu buta, Cha."

Mendengar jawaban Mamanya, Micha seolah kehabisan kata-kata.

"Aduuhh.. Menggelikan sekali! Ya sudah, biar aku saja yang memanggil Papa. Dasar Papa! Aku bisa terlambat ini."

Suara omelan Micha lambat laun mulai menghilang seiring dengan menghilangnya gadis itu, yang sudah berjalan menaiki anak tangga untuk memanggil Sang Ayah. Mama Micha malah tertawa gemas setiap kali mendapati anak gadisnya itu merasa geli dengan kemesraan Papa dan Mamanya. Padahal harusnya Micha bahagia jika kedua orang tuanya tetap mesra di usia pernikahan yang sudah berpuluh tahun ini, kan?

Semakin Micha geli, Mama dan Papanya malah akan semakin menggodanya. Bahkan Bibi di rumah Micha pun kadang ikut berkomplot dengan kedua majikannya itu untuk menggoda Micha.

Ya, beginilah nasib anak tunggal.

Selang beberapa menit muncul Micha bersama Papanya. Papa Micha nampak sedang memeluk erat-erat bahu anak gadisnya itu dengan sangat posesif. Sedangkan Micha berdiri di samping Papanya sambil menutup hidungnya rapat-rapat.

Mama Micha yang melihat ini lagi-lagi tertawa, "Hahahaha.. Kamu ada apa, Cha? Kamu selalu seperti itu kepada Papa. Kasihan Papa kan, Naakk..."

Micha yang sudah mengambil duduk tampak mengibaskan tangannya di depan wajah beberapa kali.

"Huufftt! Pa! Untuk apa Papa memakai parfum sebanyak itu saat pergi ke kantor? Aromanya benar-benar membuat pusing."

Papa melirik Micha setelah sibuk memperbaiki tatanan rambutnya sekali lagi.

"Papa harus tetap tampan menawan walau sudah tua, sayang."

Micha menghela napas, "Jika Papa terus seperti itu. Wanita-wanita diluar sana akan berusaha merebut perhatian Papa. Tsk! Papa sengaja, ya? "

Papa mendelik, "Heiii.. Walau Papamu ini populer sebagai pria paling tampan di usia senja seperti ini. Tapi yang Papa cintai tetap Mamamu, tahu! Bagi Papa, tidak ada lagi wanita sesempurna Mamamu," omel Papa lalu menatap Mama dan mengusap sayang pipi istri tercintanya itu dan selanjutnya saling melempar senyum manis.

Micha menutup bibir dengan punggung tangannya sambil tersenyum. Entah mengapa, setiap melihat Papanya 'bucin' seperti ini pada Mamanya. Micha tak pernah bisa menyembunyikan senyumnya. Micha merasa kedua orang tuanya ini sangat lucu dan menggemaskan. Walau terkadang jika berlebihan, tak jarang juga membuat Micha merasa sangat geli.

"Baiklah.. Baiklah. Asal Papa tidak bermaksud tebar pesona pada wanita lain, aku tidak masalah," ucap Micha sembari membalik piring lalu mulai mengambil nasi.

"Tsk! Jika wanita-wanita diluar sana terpesona, itu bukan salah Papa. Itu salah mereka sendiri! Untuk apa terpesona dengan Papa yang sudah renta dan beristri serta memiliki anak ini?!" ucap Papa sesaat setelah menelan sesuap nasi goreng.

Micha menatap Mamanya lalu saling melempar senyum. Mama dan Micha tidak pernah meragukan Papanya soal kesetiaannya kepada keluarga. Meski dari luar Papa Micha nampak seperti pria casanova. Tapi di dalam hatinya, hanyalah terisi oleh istri dan anaknya saja. Pihak lain tidak akan pernah Papa Micha ijinkan untuk coba-coba mengganggu ketenteraman rumah tangganya. Jika ada pihak lain yang berani melakukan itu, Papa Micha tidak akan segan-segan untuk menghardiknya dengan keras.

Ketiganya lantas mulai sibuk dengan sarapan masing-masing. Dan hening untuk beberapa saat.

"Cha."

"Iya, Ma?" Micha menatap Mamanya ketika namanya dipanggil.

"Bagaimana dengan Sabtu besok?"

Micha menghela napas lalu kembali menunduk menatap nasi gorengnya.

"Ada pertemuan apalagi? Toh, aku sudah menyetujuinya, kan?"

"Tante Ruby merindukanmu, Cha. Beliau bilang, kamu tidak pernah sekalipun mengunjunginya."

Micha meraih gelas berisi air putih di sampingnya lalu meneguknya sekali.

"Iya, besok aku akan mengunjungi Tante Ruby."

"Besok Sabtu saja kita ke sana bersama-sama. Papa juga ada perlu dengan Om Matias."

Micha menatap Papanya, "Tapi Micha tidak bisa, Pa."

"Mengapa? Kamu ada acara? Tidak bisa dibatalkan?"

Micha menggeleng dengan ekspresi menyesal.

"Acara kampus?" tanya Mama.

"Iya, Ma."

Papa dan Mama kompak menghela napas.

"Ya sudah kalau begitu. Nanti Mama akan ke sana bersama Papa saja dan bicara pada Tante Ruby. Hmmm.. Sayang sekali. Ruby pasti sedih."

Micha tersenyum tipis, "Sampaikan salamku saja. Katakan, jika aku juga merindukan Tante, Ma."

"Iya nanti Mama sampaikan."

"Pada anaknya, kamu tidak menitip salam juga?" goda Papa sambil melirik jahil pada Micha.

Micha tersenyum, "Tidak perlu. Aku bisa mengucapkan soal itu sendiri padanya."

Papa lantas tersenyum sumringah lalu meraih jemari istri tercintanya, "Hmmmm.. Coba lihat itu, Ma. Menggemaskan sekali, kan?"

Mama Micha turut tersenyum sumringah, "Iya, Pa. Kyaaaaa!! Seperti kita jaman masih muda, kan?"

Melihat sikap kedua orang tuanya ini, lagi-lagi berhasil membuat Micha tertawa.

Haaa.. Sungguh ajaib kedua orang tuanya ini.

"Ma, Pa. Micha berangkat terlebih dahulu, ya? Anna dan Arumi sudah menelpon terus menerus," ucap Micha sambil bangkit berdiri.

"Kamu tidak berangkat dengan Papa?" tanya Papa sambil mendongak menatap Micha yang kini telah berdiri di dekatnya untuk mengecup punggung tangan serta pipinya.

Micha tersenyum dan menggeleng, "Tidak, Pa. Hari ini aku ingin membawa mobil sendiri."

"Hati-hati, sayang," ucap Mama Micha sambil mengecup kening anak gadisnya itu.

"Ya sudah hati-hati, Cha."

Micha tersenyum dan mengangguk, "Iya, Ma, Pa. Micha berangkat, ya? Sampai jumpa lagi."

Micha langsung berlari kecil ke arah pintu depan rumahnya sambil sesekali melambaikan tangannya pada Papa dan Mamanya.

"Pagi, Pak Kuat," sapa Micha pada sopir pribadi Papanya itu sambil membuka pintu mobilnya.

"Pagi, Non. Nona tidak berangkat dengan Bapak?" tanya Pak Kuat yang kini nampak mengusap mobil sedan yang biasa digunakan Papa Micha pergi ke kantor.

Micha tersenyum ramah, "Untuk hari ini tidak, Pak."

Pak Kuat mengangguk-angguk, "Haa.. Begitu. Baiklah. Hati-hati di jalan, Non."

Micha tersenyum sambil mengangguk lalu masuk ke dalam mobilnya, menarik presnelling dan menghilang dari pandangan Pak Kuat.

***

"Michaaa, di sini!"

Micha tersenyum lalu berlari kecil menghampiri kedua sahabatnya yang kini sudah nampak mengambil duduk di kursi kantin.

"Astaga.. Ini sudah pukul berapa, Cha? Mengapa jam di rumahmu karet sekali?!" omel Anna ketika Micha telah mengambil duduk di dekatnya.

"Alasan apalagi kali ini, Cha? Papamu lagi?" tanya Arumi seraya tersenyum dan memperbaiki letak kacamatanya.

Micha melirik kedua sahabatnya ini lalu menghela napas. Ia masih sibuk meletakkan tas ransel dan memperbaiki tatanan rambutnya yang berantakan karena angin.

"Ya. Dengan alasan yang sama."

Anna dan Arumi sontak saling bertatapan lalu tersenyum lebar. Terlebih setelah melihat betapa frustasinya ekspresi Micha saat ini.

"Papamu memang luar biasa, Cha!" pekik Arumi yang malah mengagumi Papa Micha itu.

"Iya. Om adalah Papa paling mempesona di dunia!"

Micha mendelik ketika kedua sahabatnya ini malah memuja dan memuji Papanya.

"Apa maksud kalian?! Sungguh merepotkan sekali memiliki Papa yang masih suka berdandan di usia senja seperti itu!"

"Hahahaha.. Aku malah ingin memiliki Papa seperti Om! Papamu itu sangat populer dan tampan, Cha!" pekik Anna dengan sangat heboh.

"Iya. Rasanya seperti menjadi anak seorang aktor tampan!" sahut Arumi.

Micha menghela napas lalu menempelkan kepalanya di atas meja kantin dengan lemas.

"Ahh.. Tidak ada yang seperti itu. Itu benar-benar merepotkan, kawan. Serius!"

Anna dan Arumi malah kompak tertawa.

"Cha, bagaimana besok sabtu?" tanya Anna ketika tawanya telah reda.

Micha menegakkan kepala dan menatap kedua sahabatnya ini.

"Aku ikut."

Arumi mengeryit, "Bukankah tempo hari kamu bilang ada acara?"

Micha mengangguk-angguk lemah, "Iya. Tapi aku memutuskan untuk pergi dengan kalian saja."

"Mengapa begitu? Acara itu penting?"

Micha mengangkat kedua bahunya, "Entahlah. Bagiku tidak begitu penting. Tapi untuk kedua orang tuaku sepertinya iya."

"Haaa.. Aku tahu. Acara pertemuan itu lagi kan?" tanya Anna.

Micha beralih menatap Anna.

"Heum. Kamu benar. Sungguh membosankan sekali, kan?"

Anna mengangguk-angguk setuju.

"Ya. Terlebih jika nanti kamu terlibat suasana canggung lagi dengannya."

"Ya itu yang aku takutkan. Aku selalu tidak bisa mengimbangi pembahasannya."

"Jika kamu tidak nyaman dan tidak menyukainya. Mengapa kamu menyetujui?" kali ini Arumi membuka suara.

Micha menatap Arumi, "Aku nyaman dan menyukainya. Hanya saja.. Rasanya agak hampa."

Arumi mengangguk-angguk, "Haa.. Seperti itu. Memang kalian harus sering bertemu agar kalian saling mengisi dan tidak terasa hampa lagi."

Micha menghela napas, "Ya itu benar. Tapi kamu tahu sendiri. Kami berdua sama-sama sibuk."

"Kalian berdua itu bukan sibuk. Tapi menyibukkan diri."

Micha tersenyum lebar. Kedua sahabatnya ini memang orang yang paling tahu tentang keadaan Micha.

Bersambung.