Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 Masa Lalu part 2

Rasa sakit di dada Munding mulai mereda. Suara teriakan lantang yang bersahut-sahutan di kepala Munding pun mulai menghilang, seolah-olah seperti suara kereta api yang makin menjauh.

Airmata mulai menetes dari mata Munding.

Karto yang sudah kembali memakai pakaiannya di dalam kamar Wage, berjalan keluar tanpa merasa curiga kalau ada seorang anak yang sudah melihat apa yang barusan Sutinah dan Karto lakukan.

Munding menangis terisak-isak di dalam lemari.

Setengah jam kemudian, tangisan Munding mulai mereda. Munding keluar dari lemari dengan cepat, kemudian dia berlari sekuat tenaga dengan menggenggam kelereng di tangannya.

Munding tanpa sadar berlari menuju sawah milik Bapaknya. Munding masih menangis pelan sepanjang perjalanan itu.

Wage mendekati Munding yang terisak-isak di pematang sawah.

“Kamu kenapa nangis Le?” tanya Wage sambil tersenyum dan menepuk-nepuk kepala Munding.

Tangis Munding kembali menjadi setelah ditanya oleh Bapaknya. Munding kecil yang sama sekali tidak tahu perbuatan apa yang telah dilakukan Karto dan Ibunya dengan terisak-isak bercerita kepada Wage.

“Munding tadi cari kelereng di dalam lemari Bapak. Tiba-tiba Munding melihat ...”

Wage yang mendengar cerita Munding menggenggam erat gagang sabit yang tadi dipakainya untuk menyiangi rumput. Setelah mukanya berubah merah padam beberapa saat, Wage kembali tersenyum ke arah Munding.

“Le, jadi lelaki itu nggak boleh cengeng. Jangan gampang nangis. Kamu hanya boleh nangis untuk sesuatu yang bener-bener penting buat kamu,” kata Wage sambil mengusap-ngusap kepala Munding.

“Sudah, kelerengnya ketemu to? Sana maen kelereng sama kawanmu. Bapak mau cari rumput dulu. Nanti kamu pulang sendiri ya?” kata Wage sambil tersenyum.

Munding menganggukkan kepalanya dan tangisannya mulai reda. Dia melihat Bapaknya tersenyum dan membalikkan badannya. Wage berjalan sambil memegang sabit di tangannya.

Munding kecil belum sadar kalau saat itu Wage berangkat mencari rumput tanpa membawa keranjang rumputnya. Dan Munding juga belum sadar kalau itu adalah senyuman terakhir Bapaknya.

“Bapaaaaaaaaakkkkkkkkk,” Munding terbangun dari mimpinya dan napasnya terengah-engah.

Mimpi buruk yang selalu menghantui Munding selama 2 tahun ini. Semenjak dia kelas 4 SD hingga sekarang Munding kecil kelas 6 SD.

Munding berubah sejak hari itu. Dia menjadi pendiam. Dia tidak suka bergaul dengan kawannya. Dan tidak berbicara sama sekali kepada Sutinah, ibunya.

Munding selalu menyalahkan dirinya sendiri atas kematian Bapaknya.

Munding sekarang sudah mengerti apa yang terjadi pada hari itu. Ibunya berselingkuh dengan Karto. Bapaknya pasti mencari perhitungan dengan Karto sang Kepala Desa. Tapi entah bagaimana ceritanya, Bapaknya justru ditemukan tewas di sungai keesokan harinya.

Munding menangis sejadi-jadinya saat pemakaman Wage. Sutinah dan Sri, kakak Munding, juga menangis saat itu.

Tapi beberapa hari setelah itu, Karto datang ke rumah Munding. Dan Munding pun mengambil pisau dapur dan mencoba menyerang Karto.

Seorang anak kecil kelas 4 SD melawan seorang lelaki dewasa, meskipun si anak kecil bersenjatakan pisau, dengan mudah Karto bisa melumpuhkan Munding. Sutinah kemudian habis menghajar Munding.

Sejak itu, Munding tak pernah berbicara sepatah katapun dengan Ibunya. Munding lebih sering menghabiskan waktu di sawah Bapaknya. Sawah yang sekarang digarap oleh orang garapan karena Wage sudah tiada.

Bagi Munding, dia tidak pernah mempunyai seorang Ibu, dia hanya mempunyai seorang ayah dan namanya Wage.

Kelakuan Sutinah semenjak menjadi janda juga semakin menjadi. Banyak lelaki yang terang-terangan datang ke rumah Munding. Tentu saja untuk menyetubuhi Sutinah.

Wage dulu pernah bercerita kepada Munding betapa bangganya dia. Seorang petani desa yang sederhana sepertinya bisa menyunting si Kembang Desa yang menjadi rebutan banyak laki-laki di kampungnya.

Dan Munding akan selalu tersenyum dan meminta Bapaknya bercerita tentang cerita masa muda Bapaknya saat mendekati Sutinah. Yang biasanya akan dituruti oleh Wage, yang akan selalu bercerita dengan penuh rasa bangga.

Baru sekaranglah Munding tahu. Bahwa selama ini, Wage, Bapaknya, cuma menjadi kambing congek Sutinah yang dijadikan nama pelengkap pengisi kolom Nama Ayah untuk kakaknya, Sri Rahayu.

Sutinah si Kembang Desa, jauh sebelum menikah dengan Wage, sudah menjadi piala bergilir lelaki yang punya pengaruh di Desa Sukorejo. Mulai dari Karto Sentono sang kepala desa, Kokoh sang saudagar keturunan Cina, Uda pemilik toko kelontong saingan Kokoh, Pak Modin, Pak Carik dan entah berapa pemuda lainnya yang sudah merasakan kehangatan tubuh Sutinah.

Sutinah sudah hamil 3 bulan saat menikah dengan Wage. Dan ketika Sri lahir, Wage bertengkar hebat dengan Sutinah. Bagaimana mungkin Sutinah sudah melahirkan sedangkan mereka baru menikah 6 bulan?

Sutinah akhirnya berjanji kalau dia akan berubah dan Wage bersedia memaafkan kebohongan istrinya. Keluarga Wage pun kembali harmonis dan lahirlah Munding. Munding yang benar-benar merupakan darah daging Wage.

Munding tak pernah marah ketika dia dipanggil ‘anak lonte’ oleh kawan-kawannya. Karena memang Sutinah itu lonte. Lonte yang akan melayani siapa saja asalkan ada uang yang tersedia di dompetnya. Meskipun sekarang Munding tak pernah menganggap Sutinah itu ibunya lagi.

“Pagi bener kamu bangunnya Le?” sebuah suara tiba-tiba membuyarkan lamunan Munding.

Pak Yai berdiri di pintu mushola sudah lengkap dengan sarung dan pecinya, dia memegang bungkusan plastik hitam di tangannya. Munding melirih ke arah jam dinding. 04.30. Waktunya Subuh.

“Mandi sana! Terus pake baju ini. Habis itu wudhu terus adzan Subuh,” perintah Pak Yai.

Munding hanya terdiam sambil melihat ke arah Pak Yai.

“Munding nggak bisa adzan Pak Yai,” jawab Munding lirih.

Muka Pak Yai merah padam mendengar jawaban Munding, “Kamu tu udah kelas 6 SD, tapi nggak bisa adzan?” hardiknya.

Munding menggelengkan kepalanya sambil tertunduk.

Pak Yai menarik napas dalam-dalam, “Kamu pasti juga nggak bisa baca Al-Quran?”

Munding kembali menggelengkan kepalanya yang masih tertunduk.

“Sudah kalau gitu. Untuk sementara kamu disini aja dulu sambil nunggu badanmu itu sembuh. Nggak usah sekolah dulu. Nanti Bapak minta Nurul ngajarin kamu. Dah sana mandi!!” Pak Yai berteriak dengan nada setengah marah.

Munding bangkit perlahan-lahan dan menuju kamar mandi yang cuma ada satu saja di samping mushola, dekat dengan bak air. Munding membersihkan dirinya pelan-pelan. Tak lama kemudian terdengar suara adzan Subuh dari mushola.

Munding kenal suara itu, suara Pak Yai.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel