Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Pak Yai

Munding pingsan di tengah jalan saat bapak tadi membopong tubuh kecilnya. Dia tidak sadarkan diri dalam perjalanan tersebut.

Setelah berjalan lebih dari satu jam, bapak tadi beserta putrinya sampai ke sebuah Mushola di pinggiran desa. Tapi desa ini bukan lagi desa Sukorejo, desa asal Munding. Mushola tersebut berbatasan dengan sawah di bagian belakangnya dan sungai kecil yang digunakan untuk pengairan sawah di sampingnya.

Bapak tadi membawa Munding ke bagian samping mushola. Di sebelah samping mushola tedapat bak air luas yang digunakan untuk air wudhu sebelum melakukan sholat.

Bapak itu meletakkan Munding di lantai plester yang dingin kemudian mengambil gayung air dan menyirami tubuh Munding dengan air yang ada di bak air Mushola. Munding langsung tersadar seketika.

Munding kecil yang kebingungan, kaget melihat seorang laki-laki sedang menyirami tubuhnya dengan air dingin. Munding pun berteriak-teriak. Dia berusaha menghindari siraman air dengan mencoba menggulingkan tubuhnya namun usahanya sia-sia.

Bapak itu dengan sigap menangkap badannya dengan satu tangan dan terus menyirami tubuhnya dengan tangan yang lain. Apalagi ketika Munding merasakan sekujur tubuhnya ngilu dan memar. Pergelangan tangan kanannya juga terasa sakit sekali.

Lambat laun, Munding menyerah dan pasrah. Dia membiarkan air dingin membasahi seluruh tubuhnya. Siraman air dingin lama kelamaan membuatnya kembali teringat kejadian yang menimpanya barusan.

Dia dikeroyok oleh geng si Joko di lapangan pinggir desa dan bapak ini yang menolongnya.

“Bau badanmu itu lho Le, pesing sekali.” gumam si Bapak sambil terus menyirami tubuh Munding dengan air dingin.

Tak lama kemudian, si gadis kecil yang sempat dilihat Munding di tanah lapang tadi muncul kembali. Kali ini, gadis kecil itu membawa sabun mandi, shampoo handuk dan sarung kecil.

“Ni pake shampoo sama sabun sendiri.” kata si Bapak sambil mengambil sabun dan shampoo dari tangan anaknya dan memberikannya ke Munding.

Munding menerimanya kemudian mulai memakainya. Tapi karena seluruh badan Munding terasa sakit semua, Munding hanya bisa menyabuninya pelan sekali. Si Bapak masih berdiri di sebelah Munding dan memegang handuk yang tadi diantar oleh putrinya.

Setengah jam kemudian.

Badan Munding yang tadinya terasa ngilu dan memar terasa agak mendingan. Dia kini duduk di depan bapak yang telah menolongnya. Si anak perempuan kecil tadi telah menghilang entah kemana. Munding dan si Bapak duduk di teras rumah yang kecil tapi bersih di sebelah Mushola.

Munding hanya memakai sarung layaknya orang memakai sarung biasa, tapi dia sama sekali tidak memakai celana dalam atau kaos di tubuhnya.

“Ini rumahku Le, nama Bapak Ahmad Hanbali, orang kampung sini biasa manggil Bapak dengan Pak Ahmad atau Pak Yai.” si bapak yang telah menolong Munding memperkenalkan dirinya.

Munding terdiam dan hanya menunduk.

“Kamu bisu to Le? Tadi Bapak mendengar kamu misuh-misuh ‘asu’ to di lapangan?” tanya Pak Yai lagi, kali ini dengan nada yang mulai meninggi

“Maaf Pak Yai, nama saya Munding.” jawah Munding.

“Nah gitu!! Ngomong. Jangan diem saja. Kamu habis dikeroyok kawan-kawanmu ya?” tanya Pak Yai lagi.

“Iya Pak Yai.” jawab Munding pelan.

“Kenapa?” tanya Pak Yai.

“........” Munding hanya diam dan tidak menjawab.

Pak Yai cuma geleng-geleng kepala. Tak lama kemudian dia berteriak memanggil putrinya.

“Ndukkkkkk.”

Gadis kecil tadi berlari keluar dari dalam rumah dan berdiri di dekat Bapaknya.

“Dalem Pak.”

“Ke warung bentar, belikan es batu sama daun seledri ya? Minta duit sama Ibumu.” kata Pak Yai.

“Nggih Pak.” dan gadis kecil itu sudah menghilang lagi ke dalam rumah.

Tak lama kemudian, dari dalam rumah keluar seorang wanita berjilbab dan berbaju lebar. Munding kecil yang baru duduk di kelas 6 SD tahu kalau benda yang menutupi muka dan kepala wanita itu disebut jilbab. Tapi dia nggak pernah melihat baju seperti yang dipakai oleh wanita tersebut.

Wanita itu membawa dua cangkir teh hangat dan sepiring tempe mendoan yang baru selesai digoreng. Dia meletakkannya di depan Pak Yai. Kemudian dia duduk di belakang Pak Yai.

“Napa Le?” tanya Pak Yai ke Munding.

“Munding belum pernah lihat baju seperti yang dipakai Bu Nyai.” jawab Munding jujur.

“Hahahahahahahahahahahaha.” Pak Yai pun ketawa, Bu Nyai pun ikut tersenyum di belakang suaminya.

“Kamu dari Sukorejo to?” tanya Pak Yai.

“Iya Pak Yai.” jawab Munding.

Pak Yai menghela napas panjang sambil terlihat agak menerawang.

“Desamu itu desa abangan. Pengaruhnya kuat sekali. Dari dulu susah mau dimasuki. Sudah beberapa kali santri dikirim kesana tapi selalu gagal.” gumam Pak Yai.

Munding kecil yang baru kelas 6 SD tentu nggak mengerti maksud perkataan Pak Yai di depannya. Bu Nyai pun berbisik ke telinga suaminya sambil menunjuk ke arah Munding dengan dagunya.

“Hahahahahahahahahaha.” tawa Pak Yai.

“Kamu belum mudeng Le. Nanti kalau sudah besar, kamu mudeng sendiri.” lanjutnya.

Munding cuma terdiam sambil melihat ke arah lantai rumah yang cuma diplester tanpa dikeramik. Sama dengan rumah Munding sendiri. Tapi keliatannya rumah Pak Yai lebih sering dipel, lantainya mengkilat bersih.

“Ini istriku, Siti Aisah. Yang tadi putriku, Nurul Islam.” kata Pak Yai.

“Dimakan tempenya Le. Esnya baru dibeli Nurul, nanti kalau sudah sampai rumah baru dikompress memar-memarnya.” tambah Bu Nyai, yang kemudian berdiri dan masuk ke dalam rumah.

Munding kemudian mengambil tempe dan makan dengan lahap. Terus terang dia sebenarnya kelaparan dan sudah ingin melahap tempe itu dari tadi, tapi karena belum dipersilahkan, Munding nggak enak sama Pak Yai dan Bu Nyai.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel