Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 6 [Baikan]

Setelah kejadian kemarin, sebenarnya Mozza malas untuk masuk sekolah tapi Kiki sudah mewanti-wanti karena hari ini ada ulangan harian di pelajarannya. Perempuan itu di antar oleh Sheryl karena kemarin ia minta jemput Kiki.

Setibanya di sekolah, ia berjalan melewati lapangan yang mana area parkir terlihat dan ia menatap mobilnya sudah terparkir di sana. Kemungkinan besar Deva sudah datang, alasan selanjutnya karena ia malas bertemu dengannya.

Benar saja, saat ia memasuki kelas tatapan Deva sudah mengekorinya dari luar. Mozza mengehela nafasnya pelan lalu menghampiri Deva yang sedang menunggunya. Sampai akhirnya ia berhenti di mejanya dan membalas tatapannya itu.

"Pergi dari tempat gue." Ucapnya dengan nada dingin.

Hal itu tentu saja membuat seluruh siswa yang berada di kelas menghentikan aktifitasnya saat mendengar pengusiran Deva. Tak lupa juga beberapa orang berbondong-bondong mengeluarkan ponselnya untuk merekam kejadian ini. Baru saja menjadi topik hangat satu sekolah, hari ini menambah kehangatan bahan topik untuk mereka.

"Pindah dari tempat gue, sekarang!" Ucapnya sekali lagi dengan penuh penekanan.

Deva menutup matanya sebentar lalu bangkit dari tempatnya untuk pindah ke tempat sebelumnya tanpa sepatah kata. Setelah itu Mozza duduk sambil meraih kunci mobilnya yang berada di meja dan dimasukkan ke dalam tas.

"Good morning all."

Kiki baru saja masuk menyapa seluruh kelas dengan wajah ceria sambil membawa beberapa lembar soal yang sudah dipersiapkannya. Sebenarnya Fathin dan Tania ingin bertanya apa yang sedang terjadi di antara keduanya, dan apa ada hubungannya dengan Mozza tidak menyusul ke rumah Tania.

"On this sunny morning, I'll give practice questions that I have prepared and I informed last week. So, I hope for you, use your time as best as possible and do your best. Please help me share this paper to your friends, thank you." Ujar Kiki sembari memberikan beberapa kertas berisikan soal-soal ke siswa paling depan.

"I can see it from the faces of each of you. some are happy, some are sleepy, some are lazy, sad and some are disappointed?... " Ujarnya yang berhenti saat menatap wajah Mozza. "I hope this time nothing will disappoint me with the results later. Time starts now, good luck."

Selama pelajaran, lelaki itu tidak fokus dengan apa yang dikerjakan, hanya menatap Mozza dari kejauhan dan tidak memperdulikan yang lain. Gadis itu pun sadar jika sedari tadi sedang diperhatikan, tapi ia sengaja tidak balas menatapnya.

Dilihatnya semua isi lembar jawaban, Mozza tersenyum lalu berdiri dari kursi dan berjalan ke depan untuk memberikan lembar jawaban kepada Kiki.

"Good job, girl." Puji Kiki dengan senyuman manisnya.

"Thank you, kak. Saya sudah boleh keluar kan?"

"Sure."

Mozza tersenyum lalu pergi meninggalkan kelas, tak lupa ia melambaikan tangan kepada dua sahabatnya. Tujuannya saat ini adalah perpustakaan, ia ada tugas dari Sheryl untuk mencari beberapa materi yang ada di sana, lumayan untuk tambahan uang jajan sehari-hari pikir Mozza.

"Mozza, tunggu."

Gadis itu menoleh lalu melanjutkan jalannya lagi. Deva baru saja berlari keluar menghampirinya, ia menggenggam tangan Mozza dengan lembut.

"Za, gue mau bicara dulu sama lo."

Mozza tetap berjalan saja dan tidak berniat melepaskan genggamannya, menurutnya itu adalah hal yang manis untuknya. Walaupun banyak mata yang memandang, tetapi tetap saja kedua orang itu tidak ada malunya.

Setibanya di perpustakaan, Deva cukup terkejut karena dibawa oleh gadis itu ke tempat ini. Kemudian Mozza berjalan dari rak A hingga ke rak D, di mana buku yang ingin ia baca ada di tempat itu.

"Tolong ambilkan buku itu." Pinta Mozza kepada lelaki yang masih setia mengikutinya sambil menunjuk ke salah satu buku.

Deva mengambil buku yang dimaksud karena tubuh gadis itu tidak setinggi dirinya.

"Yang itu juga."

"Yang itu."

Hingga sampai 10 buku sudah ia ambil, lalu menaruhnya di salah satu meja baca yang berada di ujung ruangan. Mozza melihat ke kanan dan ke kiri, ia sadar bahwa hanya terdapat siswa yang bisa dihitung oleh jari. Lalu ia duduk untuk mulai membaca daftar pustaka satu persatu dari buku yang diambilnya. Sedangkan Deva hanya terdiam sambil terus menatap gadis itu yang sangat sibuk membaca.

"Za, lo bakal baca semuanya?"

"Tolong mintain note dong sama kakak perpusnya."

Mozza tidak menjawabnya, malah ia menyuruh lelaki itu untuk meminta catatan kepada penjaga perpus. Dan sangat terkejutnya adalah Deva mau mengambilnya tanpa beralasan. Ia kembali dan memberikan buku catatan kosong yang disediakan perpustakaan.

"Kalau udah selesai semua, lo mau dengerin gue kan?"

"Liat aja nanti."

Deva mengusapkan wajahnya kasar lalu menatap kembali wajah gadis itu hingga ia tertidur sangking lamanya menunggu. Sedangkan Mozza terfokus kepada buku yang hampir setengah di baca dan di catat, tidak sadar jika Deva tertidur pulas.

"Ah selesai juga." Ucapnya pelan lalu melihat jam di pergelangan tangannya.

Kemudian ia menoleh dan menatap Deva sebentar, sangat tenang melihatnya tertidur seperti itu.

Cukup lama Mozza memperhatikan setiap detail bagian wajah Deva, hingga ia membuka matanya perlahan dan tersenyum. Kemudian menegakkan kepalanya serta merapikan rambutnya yang sudah hampir gondrong. Lalu duduk berhadapan dengan Mozza yang terdiam memperhatikan.

"Udah selesai?"

Mozza mengangguk pelan.

"Gue minta maaf sama apa yang gue lakukan kemarin, gue sadar sama kesalahan yang gue lakukan."

Mozza meraih kedua tangan Deva. "Lo bisa kan memperlakukan perempuan dengan sebaik mungkin?"

Ia mengangguk sambil mengusap lembut pergelangan tangan gadis itu yang kemarin ia cengkram dengan kuat.

"Walaupun suasana hati lo lagi hancur-hancurnya, jangan sampai menyakiti perempuan. Mau siapapun itu, asal dia perempuan, jangan sampai lo buat sakit."

"Maaf, Za."

"Ada apa sama lo kemarin?"

Deva menatap mata Mozza dengan tatapan dinginnya. "Jangan dekat dengan Dylan. Lo gak tau seperti apa dia dan gue gak mau lo jadi target selanjutnya."

Mozza tersenyum lalu terkekeh sebentar. "Lo cemburu atau mengkhawatirkan gue?"

"Za, gue serius."

"Deva, for your information. Gue dan Dylan tidak ada apa-apa. Kita adalah saudara. Selama gue pindah di sini, gue belom pernah sekalipun bertemu dia. Dan baru kemarin ketemu sama dia, jadi sedikit excited karena emang dari dulu gue dekat dengan dia."

"Saudara? Jadi lo salah satu..."

Sebelum melanjutkan kalimatnya, Mozza sudah lebih dulu memberi peringatan di bibirnya dengan jari telunjuk. Ia mengangguk paham.

"Kita udah baikan?"

"Asal lo inget kalimat gue sebelumnya, Dev. Women are not to be hurt."

Deva mengangguk dan tersenyum.

"Minggu ini mau ikut gue ke acara keluarga? Ada Dylano juga kok, dia datang."

《•••》

Hari demi hari telah berganti, tidak ada sesuatu yang spesial untuk diceritakan. Hanya saja pertemanan Mozza dan Deva semakin baik dan sudah terbiasa terdengar di seluruh angkatan. Kiki juga sudah menyelesaikan PPL-nya di sekolah ini dan mulai menyusun skripsi.

Saat ini Mozza sedang bersama kedua temannya di kantin sekolah. Seperti biasa, ia akan asyik mengobrol segala macam topik pembicaraan.

"Kenapa ya, sekarang tuh masih banyak perempuan yang sifatnya kayak Rista itu?" Tanya Fathin membuka obrolan baru.

"Gak ngerti gue, emaknya dulu ngidam apa coba." Jawab Mozza tidak tahu.

"Gue dengar-dengar nih ya dari anak atas, bisnis keluarganya sebentar lagi bangkrut karena harus bayar ganti rugi." Kali ini Tania yang berbicara.

"Kenapa?"

"Project gagal gitu, Thin."

"Ohh pantes aja, bapak gue ketar-ketir sama perusahaan bapaknya Rista."

"Lo gak dengar kabar dari keluarga lo atau siapa gitu? Bukannya bisnis keluarga Alexa masih ada sangkut pautnya sama masalah itu. Dan yang gue dengar, keluarga Alexa memutuskan kontraknya secara sepihak karena tau masalah ini."

Mozza menggelengkan kepalanya. "Lo tau sendiri kan, gue buta bisnis. Gak mikirin juga sih, tapi kalau emang benar begitu, gue khawatir sama Alexa. Dylan lagi ada di Australia, sedangkan nggak ada yang jaga Alexa. Dan Rista orangnya nekat. Gue telpon Alexa dulu deh."

Ia meraih ponselnya dan menghubungkan sambungan kepada Alexa. Alexa adalah adik Dylano, yang sifatnya masih manja dan harus dilindungi oleh sang kakak. Dylano sendiri sedang ada pertukaran pelajar selama 1 bulan penuh di Australia.

"Halo, Alexa. Kamu di mana?"

"Wah pas sekali, Mozzazura Azali. Yang masih satu aliran sama cewek manja ini. Kalo mau cewek ini selamat, datang sendiri untuk negosiasi. Gue tunggu sekarang. 10 menit gak datang, nanti sore lo akan dengar berita mengenaskan."

"KAKAK TOLONG ALEXA...."

Sebelum memutuskan sambungan secara sepihak, Mozza sempat mendengar teriakan Alexa dengan suara seraknya. Setelah itu, ia mendapat pesan berisikan alamat yang harus ia datangi.

"Kenapa, Za?" Tanya Tania sambil meraih ponselnya yang sebelumnya berbunyi.

"Alexa diculik, gue akan kesana. Izinnin ke guru ya."

"Za, lo gak bisa sendirian kesana."

"Gue akan menghubungi orang-orang eyang. Gue pergi sekarang ya."

"Hati-hati, Za!"

Mozza mengangguk lalu mengambil ponselnya dan pergi begitu saja meninggalkan kedua sahabatnya. Tentu saja mereka mengkhawatirkan Mozza, walaupun ia bisa bertarung, tetap saja ia adalah seorang perempuan.

"Kita harus gimana, Tan?" Tanya Fathin sangat panik.

"Sorry, kalian tau dimana Mozza?"

"Deva!"

"Syukurlah lo tepat sekali. Tolongin Mozza ..."

"Kenapa dia?"

"Dia... "

Tania membungkam mulut Fathin agar memberitahunya dengan tenang.

"Alexa diculik Rista, mozza sedang menuju kesana. Gue tau alamatnya."

Sementara itu, Mozza sudah berada di bangunan tua yang sesuai dengan tempat yang dimaksud Rista. Tanpa ragu, ia masuk ke dalam bangunan tersebut lalu melihat dua orang pria bertubuh besar memberi petunjuk arah kepadanya. Ia mengikuti kedua orang itu menuju salah satu ruangan, di mana Alexa sudah terikat serta Rista yang tersenyum licik.

"Akhirnya, pahlawan datang ya dek Alexa.." Ucapnya sambil tertawa.

"Apa yang lo mau, Rista?" Tanya Mozza singkat.

"Gue mau tanda tangan dari Alexa, tapi dia tidak mau menandatangani. Gue minta lo bujuk ini bocah tengil buat tanda tangan." Jawab Rista lalu menoyor kepala Alexa.

"Jangan kak, aku gak mau mananda tangani berkas itu. Bair aja dia bangkrut dan mati kelaparan.."

PLAKKK

Alexa terdiam dalam tangisan yang sudah mengalir akibat tamparan Rista yang cukup keras.

"Cukup, Rista. Alexa hanya seorang anak yang gak tau apa-apa. Dia gak tau masalah ini..."

"No, Mozza. Tentu aja dia tau, kalaupun tidak tau akan gue buat tau. Gue hanya perlu tanda tangan dia."

"Gue akan tanda tangan. Gue masih bagian dari keluarga Azali, tanda tangan gue valid di semua perusahaan. Biar gue tanda tangan."

"NGGAK KAK. JANGAN TANDA TANGAN. JANGAN BUAT JALANG ITU MANFAATIN KAKAK."

PLAKK

Sekali lagi Alexa ditampar olehnya, membuat Mozza tidak tega melihat wajah polos Alexa saat ini. Dengan cepat ia berjalan menghampirinya untuk tanda tangan.

"Lo salah berurusan dengan keluarga Azali, Rista!"

BUGHH

Mozza berhasil menendang perut Rista hingga terpental dan terjatuh. Kemudian ia mengecek keadaan Alexa lalu membukakan pengikat di tubuhnya.

"SIALAANNN!"

Rista menepuk tangannya beberapa kali, dan saat itu juga beberapa orang datang mengepung keberadaan Mozza serta Alexa. Gadis itu menghela nafasnya perlahan lalu menatap Alexa yang sudah sangat lemah.

"Bisa tahan beberapa menit lagi? Pengawal eyang sedang di jalan." Tanya Mozza pelan kepada Alexa.

"Bisa kak."

"Oke, selalu di belakang kakak ya."

Alexa mengangguk pelan.

"Maju lo satu-satu."

Seperti perintah Mozza, satu persatu preman yang disuruh Rista maju untuk memukulinya. Untung saja, Mozza sudah dibekali ilmu bela diri sejak kecil, menjadikan dia perempuan tangguh dan bisa menjaga dirinya.

"MOZZA..."

Teriakan seseorang menghentikan gerakan Mozza dan saat itu adalah kesempatan salah satu preman untuk memukulnya dengan sebalok kayu.

BUGHH

Ia terjatuh dan merasakan sakit yang luar biasa pada tubuhnya.

"Sialan!"

Umpat Deva lalu berlari kepada preman yang telah memukulnya. Satu per satu preman bertarung dengan Deva menggantikan gadis itu.

"KAKAK!"

Mozza menoleh setelah teriakan Alexa terdengar olehnya. Di depannya, Alexa sudah di sandera oleh Rista dengan pisau lipat berada di leher Alexa.

Ia bangkit dan berjalan menghampiri Rista perlahan, namun ia malah di todongkan pisau olehnya.

"Jangan mendekat kalau mau Alexa beneran mati."

"Lo gila ya, Ris. Bukan gini caranya."

"Cara? Gue harus bagaimana lagi, Mozza?! Lo gak tau apa-apa tentang keluarga gue. Lo gak tau rasanya jadi gue bagaimana. Lo gak pernah ngerasain rasanya menjadi beban mereka. Mereka menuntut gue! Mereka menyesal melahirkan gue! Apa lo tau?!"

Mozza terdiam mendengar teriakan putus asa Rista. Memang ia tidak tau apa-apa tentang Rista, tapi ia tau kalau saat itu gadis itu sedang tidak baik-baik saja.

"Aargghhhhh.."

Setelah mendapat kode dari Mozza, Alexa segera menggigit lengan Rista dengan kencang dan berhasil melepaskannya. Setelah itu giliran Mozza yang maju, namun sialnya ia mengenai ujung pisau itu di lengannya.

DOORRR

Dengan cepat Mozza memelintir lengan Rista saat ia terkejut setelah mendengar suara tembakan.

"Perbaiki sifat lo, Ris. Gue yakin semua akan baik-baik aja dalam hidup lo."

Beberapa pengawal eyang sudah datang dan segera mengambil alih preman-preman itu.

Deva segera menghampiri gadis yang sejak tadi ia khawatirkan, ia sedang memberikan Rista kepada salah satu pengawalnya dan menghampiri Alexa serta Deva. Saat itu juga Deva memeluknya dengan sangat erat lalu melepaskannya untuk melihat tangan Mozza yang sudah penuh dengan darah.

"Dev, kenapa bisa di sini?"

"Lo benar-benar gila, Mozza. Kenapa gak kabarin gue?"

Deva mengikat luka gadis itu dengan seragamnya yang sudah dibuka.

"ALEXA!"

《•••》

Saat ini Mozza sedang berada di ruang UGD untuk di beri jahitan atas luka yang didapatnya. Sedangkan Alexa yang sebelumnya pingsan sudah dipindahkan di ruang VIP karena shock yang dideritanya. Dan Rista tentu saja sedang dibereskan oleh eyang langsung.

Mozza keluar dari ruangan tersebut setelah selesai di beri jahitan, ia menemui Deva yang terus mengkhawatirkannya.

"Deva."

Lelaki yang di panggil itu menoleh dan menghampirinya. "Sakit?"

"Iya. Ke kantin yuk, gue laper."

"Ayo."

Keduanya tampak bingung harus bicara apa hingga sampailah mereka di kantin rumah sakit. Deva memesankan makanan lebih dulu, lalu duduk di sebelah Mozza.

"Maaf gue gak ngabarin lo sebelumnya, keadaanya begitu cepat, Deva."

Deva mengangguk. "Lain kali kabarin gue kalau terjadi apapun."

"Iya."

"Lo tau kan gue khawatir banget kalau lo sampai diapa-apain sama preman itu."

"Iya. As you see, gue gak apa-apa."

"Punggung lo?"

"Masih sakit sih, tapi gak ada yang retak kok tulangnya. Nanti tinggal ambil obat aja sebelum pulang."

"Ya udah iya.

Pesanan yang di pesan datang, dua porsi nasi goreng serta minum disajikan oleh penjualnya. Lalu mereka mulai makan bersama-sama.

"Kok lu bisa berantem?"

"Bisa dong. As you know, gue pernah tawuran pas SMP."

"Terus, menang?"

"Menang. Pemimpin gue waktu itu jago tawuran, jadi menang terus hahaha.."

Deva tertawa mendengarnya. Syukurlah jika Mozza baik-baik saja, pikirnya.

"Sejak kecil, anak cucu cicit keluarga Azali sudah diajarkan ilmu bela diri. Entah jenis apapun, yang penting punya bekal untuk nanti ada suatu hal yang tak diinginkan. Kebetulan Alexa tidak belajar bela diri, karena sejak kecil dia sudah dibawa ibunya ke Australia sampai SMA kelas 1 dia baru kembali ke Indonesia."

"Kenapa bukan Dylano saja yang berada di sana?"

"Dylano sedang di Australia, ikut program pertukaran pelajar. Kalau dia sampai tau adiknya seperti ini, gue yakin pasti dia akan murka dan membalas dendam ke Rista."

Deva hanya mengangguk. Lalu setelah itu ponsel Mozza berdering panggilan masuk. Ia segera menghubungkannya.

"Halo, Dyl."

"..."

"Iya, gue gak apa-apa kok. Alexa lagi istirahat, dia shock dan pingsan."

"..."

"Iya, udah gak usah terlalu khawatir. Udah diselesaikan semua kok."

"..."

"Oke. Bye."

Mozza menaruh ponselnya di meja lalu melanjutkan makannya.

"Besok mau bolos?"

Gadis itu menoleh. "Udah kelas 3, Deva."

"Sesekali gitu. Pas banget lo habis terluka, bisa lah izin sehari."

"Mau kemana?"

"Terserah lo. Lo mau melakukan apa besok?"

Mozza menutup matanya sebentar sambil memikirkan sesuatu.

"Piknik?"

"Kebun raya Cibodas, gimana? Di sana bagus untuk piknik."

"Tapi bukannya ada acara keluarga, besok?"

"Di undur sampai masalah ini selesai."

"Oke, kita berangkat."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel