Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Haikal

Bab 2 Haikal

Gawai yang berada dalam jas Emir berdering, percakapan dalam rapat itu terinterupsi. Beberapa orang memandangi Emir. Emir membenahi jasnya dan mengambil gawainya.

“Silahkan diangkat dulu, Pak.” Seseorang menyilakan dengan ramah. Emir salah satu pion penting dalam perkumpulan itu, bertindak seenaknya hanya akan menghancurkan citra mereka.

Emir tersenyum canggung dan mengangkat gawai itu setelah pergi beberapa langkah dari bangkunya.

“Halo?!” seru Emir lirih dengan nada tak suka. Bisa-bisanya Nadya menghubunginya. Padahal dia tahu dirinya sedang mengadakan rapat penting hari ini.

“Halo, Pi.” Tidak ada kesombongan pada nadanya, meski ini aneh Emir tak menghiraukannya.

“Mami tahukan Papi lagi rapat, kenapa telepon?” desis Emir kesal dengan Nadya yang meneleponnya tak tahu waktu.

“Papi!” Nadya berseru di seberang sana. Suaranya terdengar kacau dan panik. Emir mengerutkan keningnya, dia meredam emosinya dan penasaran dengan apa yang terjadi di rumahnya. Nadya tak begitu sering menyapa dan menelepon.

“Apa?” tanya Emir.

“Zizi hilang! Mami mau ke sekolahnya sekarang, Papi harus nyusul!” Jantungnya seakan berhenti saat itu juga, dia melirik rekannya yang sedang duduk menunggu. Emir menelan salivanya cepat, rasa khawatir mulai menyelimuti dirinya. Jantungnya berpacu cepat.

Emir mematikan gawainya dan bergerak pamit pada semua orang. “Ada apa Pak?”

“Ada masalah besar yang men[mpa anak saya, mohon izin mendahului.

Setelah semuanya setuju, Emir pergi tergesa-gesa bersama asistennya Satya. Dia melempar jasnya pada Satya. “Kuncinya, Sat!”

“Bapak terlalu terburu-buru. Jangan gegabah, saya saja yang menyetir.” Satya berujar dengan tenang penuh perhitungan. Dirinya tahu pasti kekhawatiran Emir.

Emir hanya diam, dia memandang Satya dan langsung memasuki mobil dengan cepat. “Pastikan sampai di sana secepat mungkin.”

“Baik, Pak!” ujar Satya menyanggupi.

Sampai di sekolah ia mendengar suaranya nyaring istrinya yang terus membentak Lula dan petugas keamanan. Makin dekat dirinya melangkah, makin nyaring suara Nadya.

“Kenapa bisa hilang?” Nadya menatap tajam Lula, dia berpaling menyembunyikan matanya yang berkaca. Nadya berkedip beberapa kali agar matanya tak mengalirkan air mata. “Pokoknya kalau saya tidak bisa menemukan Zizi, Anda saya tuntut!” ancam Nadya pada petugas keamanan.

Nadya kesal, sudah dua jam dicari oleh petugas itu dan dia sama sekali tidak menemukan Zizi. Nadya juga marah dengan Lula. Zizi berdiri di depan matanya dan bisa hilang dalam hitungan menit.

“Kamu juga Lula, kenapa bisa hilang di depanmu? Otak pintarmu tidak berguna! Useless!”

“Maaf, Bu.” Hanya itu kata yang dapat keluar dari bibir Lula.

“Mami!” Emir berteriak, dia berusaha menenangkan istrinya. Tangannya mengulur seraya melingkar ke bahu Nadya. “Tenang dulu, oke.”

“Lula!” Emir memanggil pengasuh putrinya itu. Meski belum lama tinggal, Lula termasuk anak yang cekatan dan bertanggung jawab. Bagaimana mungkin Zizi hilang.

“Sudah melaporkan ke polisi?”

“Sudah, Pak. Zizi sudah hilang sedari dua jam yang lalu. Saya langsung telepon begitu selesai menghubungi ibu.”

“Kamu beri tahu nama saya?” tanya Emir memastikan sesuatu.

Lula menggeleng, Emir langsung membuka gawainya dan menelepon ulang. Ia tidak mau menunda mencari Zizi, para polisi bisa saja menunggu sampai sehari semalam baru mencari. Tentu mengikuti protokol peraturan anak hilang tidaklah salah, tetapi Emir tidak bisa menunggu selama itu. “Lain kali kalau ada hal penting berkaitan dengan Zizi dan Haikal, sebut nama saya. Mengerti?”

“Saya mengerti, Pak.”

“Jangan marah-marah terus,” kata Emir membisiki Nadya.

Nadya mulai menormalkan emosinya, ia tekan sedalam mungkin. Emosi yang tertekan terus menerus inilah yang tanpa sadar ia keluarkan ke beberapa orang termasuk putrinya sendiri beberapa kali.

Pihak polisi langsung datang begitu Emir yang meneleponnya, dia menanyai kronologi kejadian dari petugas keamanan dan juga Lula. Lula menceritakan dari awal dia melihat Zizi keluar gedung sampai bagaimana dia kembali ke dalam sekolah, lama waktu yang ditunggu membuat Lula masuk ke dalam dan tak menemukan Zizi di sana.

Dua jam sudah dilakukan pencarian, tetapi hasilnya nihil. Polisi itu mengangguk dan meminta diantar ke hadapan wali kelas atau guru Zizi. Pak Satpam menyetujui, mereka pergi bersama ke ruang Guru Zizi.

Petugas keamanan masuk ke ruang guru. Semua guru yang sudah mendengar berita itu sejak Lula melaporkannya pada petugas keamanan dan polisi. Guru Zizi pun kompak menyetujui permintaannya. Guru Zizi mempersilahkan polisi itu datang ke ruangannya.

Sikapnya sedikit canggung dengan kedua orang tua Zizi. Mereka orang yang sangat penting saat ini.

“Bagaimana putri saya bisa hilang Bu?”

“Mohon maaf Bu Nadya. Saya sedang menuju ke kantor saat anak-anak pulang. Jika yang diceritakan kepada kami beberapa jam lalu itu benar, maka sepenuhnya saya tidak tahu.”

Polisi memberikan kode pada Emir untuk membuat istrinya tenang. “Bu, apakah ada yang aneh dengan Zizi saat di kelas atau lingkungan kelas selama sekolah tadi?”

Wanita bertubuh mungil yang kira-kira di awal 30-an itu berpikir, dia mengingat tingkah anak berusia enam tahu yang biasanya aktif itu. Pagi tadi Zizi terlihat berbeda. Dia menggeleng ragu. “Tidak ada yang aneh, Pak. Zizi hanya sedikit terlihat murung dan sembab. Dia masih aktif saat jam istirahat.”

“Matanya sembab?” tanya Polisi mengulang pernyataan guru itu.

“Iya, Pak.”

“Sedari kapan matanya terlihat sembab?”

“Sejak pagi hari.” Sang guru berkata dengan jujur sembari mengingat semua hal tentang Zizi.

Polisi itu berbalik menghadap Emir. “Pak Emir, apakah Zizi mendapatkan banyak masalah sewaktu di rumah tadi pagi?”

Emir menatap sang polisi dengan wajah seriusnya. “Dia bertengkar dengan Haikal, ini wajar saja, Zizi memang sering bertengkar dengan kakaknya.”

“Nah iya, Pak!” Sang guru menginterupsi dengan tanggapannya itu. “Mungkin ini sudah biasa di rumah bapak, tetapi berbeda hari ini. Zizi dan Haikal juga bertengkar di sekolah. Biasanya mereka melempar ejekan atau diam saat keduanya kesal.”

“Pak!” panggil Polisi pada salah satu petugas keamanan. “Tolong beri tahu Haikal untuk ke mari.”

“Apa?” Nadya sedikit impulsif, dia tidak ingin putranya bingung dan khawatir.

“Cepat atau lambat Haikal pasti tahu, Mi.” Ini keputusan yang terbaik bagi Haikal. Menyembunyikannya terlalu lama hanya membuat anak lelaki itu bertambah marah nantinya.

“Pak! Mereka bertengkar cukup lama tadi.” Guru itu memberi tahu sang polisi pertengkaran antara Zizi dengan Haikal.

Di kelas Haikal, dia bingung menatap petugas itu memanggilnya. Sang guru yang sedang mengajar pelajaran terakhir hari ini, mengijinkan Haikal untuk keluar.

“Ada apa?” Tanya bocah berusia sembilan tahun itu. Namun ia tidak mendapatkan jawaban. Dia hanya menggaruk kepalanya bingung saat dibawa ke ruangan guru kelas satu. Ini ruang guru Zizi. Ada apa dengan adiknya? Dia mengadu yang tidak-tidak?

Tatapannya berubah bingung dan kesal saat melihat Nadya dan Emir di sini. “Ada apa?”

“Adik ini Haikal?” tanya Polisi yang sedari tadi lebih banyak bertanya. Haikal menatap lekat polisi tersebut. Bocah itu masih dalam kondisi kebingungan. Haikal mengangguk pasti. “Adikmu dikabarkan hilang beberapa jam yang lalu.”

Haikal menatap tak percaya pada polisi, bocah itu diam beberapa waktu mencoba memahami situasi. Dia melihat sekelilingnya, Maminya yang terlihat panik, Papinya yang kata dia ada rapat tetapi datang ke mari, Lula yang sangat khawatir hingga beberapa kali kedapatan sedang menggigit kuku jarinya.

Haikal mencoba menyangkalnya, dia menggeleng. “Ngga mungkin, pasti Zizi lagi main petak umpet. Cari aja! Aku ngga yakin dia bisa hilang.”

“Haikal! Bisa kamu peduli sedikit dengan Zizi?” Nada tinggi Ayahnya membuat Haikal sadar.

Perasaan bersalah menjalari hati dan pikiran Haikal. Dia tak menyangka adiknya benar-benar hilang. Mereka bertengkar terus sedari paagi.

“Haikal!” Lula mendekati bocah lelaki itu, dia mensejajarkan dirinya dengan Haikal. Tatapan Haikal menyorot sendu, dia menghindari tatapan semua orang sekarang. Raut bersalah kentara ditunjukan Haikal.

“Haikal dengerin kakak.” Lula memeluk Haikal saat itu juga. “Haikal boleh nangis sekarang, semua orang tidak akan peduli, mereka sibuk dengan fikiran masing-masing.”

Isak tangis bocah lelaki yang belum pernah dilihat Lula menangis selama dia mengasuh mereka, terdengar lirih dan menyayat. Polisi akhirnya menunda pertanyaannya pada Haikal.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel